Posted by andi telaumbanua on Jul 24, 2018 in
Praktikum
Daftar Pustaka
Akmal, D. 2010. Perhitungan Curah Hujan wilayah. Dalam eprints .undip.ac.id/34625/5/2072 _chapter _II.pdf. Diakses pada tanggal Sabtu, 28 April 2018.
Asdak, C., 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.
Balany, F. 2011. Different Ways of Calculating Catchment Reinfall: Case in Indonesia. Jurnal Teknik Sipil 20(1): 1175 – 1181.
Pandu, K. 2016. Faktor yang Mempengaruhi Curah Hujan. Dalam http://www.ebiologi.net. Diakses pada tanggal Sabtu, 28 April 2018.
Prawaka, F., Ahmad Z., dan Subuh T. 2016. Analisis Data Curah Hujan yang Hilang Dengan Menggunakan Metode Normal Ratio, Inversed Square Distance, dan Rata-Rata Aljabar (Studi Kasus Curah Hujan Beberapa Stasiun Hujan Daerah Bandar Lampung). Jurnal rekayasa sipil dan desain 4(3): 397 – 398.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
Soemarto, C. D. 1995. Hidrologi Teknik. Penerbit Erlangga: Jakarta.
Suripin. 2004. Pelestarian Sumber Daya Tanah Dan Air. ANDI: Yogyakarta.
Triatmodjo, Bambang. 2008. Hidrologi Terapan. Beta Offset: Yogyakarta.
.
Posted by andi telaumbanua on Jul 24, 2018 in
Praktikum
Daftar Pustaka
Ardhitama, A., Sholihah, dan Rias. 2013. Model simulasi prakiraan CH bulanan pada wilayah riau dengan menggunakan input data SOI, SST, NINO 3.4, dan IOD. Jurnal Sains dan Teknologi Modifikasi Cuaca 14(2): 97-104.
Djazim, S. 2010. Kajian sea surface temperature (sst), southern oscillation index (soi) dan dipole mode pada kegiatan penerapan teknologi modifikasi cuaca di propinsi riau dan sumatera barat. Jurnal Sains dan Teknologi Modifikasi Cuaca 11(1): 3-5.
Erianto, I. P. Dan Erekso H. Pengaruh Anomali sea Surface Temperature dan Curah Hujan terhadap Potensi Kebakaran Hutan dan lahan di Provinsi Riau. Jurnal Silvikultur 3(2):121-124.
Estiningtyas, W., Rahmadhani F., dan Aldrian E. 2007. Analisis korelasi curah hujan dan suhu permukaan laut wilayah indonesia, serta implikasinya untuk prakiraan curah hujan (studi kasus kabupaten cilacap). Jurnal Agromet Indonesia 21(2) : 46-50.
Fakbri , B. and wim S. 1996. Global Climate Change and Agriculture Production. Wiley FAO. Italia. Pp;232-233.
Glantz, M. 2001. Current of change Impact of el nino and la nina on climate and society. Cambridge University Press: London. P:16.
Rahman, A. 2012. Pola Spasial Hubungan Curah Hujan dengan ENSO dan IOD di Indonesia. Dalam https://www.researchgate.net/publication/303458242 . Diakses pada tanggal Rabu, 02 mei 2018.
Yayan,H. Dan Laksmi R. 2014. Mitigasi dan adaptasi perubahan iklimmenuju tata kelola hutan dan lahan lestari.Kementrian Kehutanan: Jakarta.Halaman: 123-129.
Posted by andi telaumbanua on Jul 24, 2018 in
Praktikum
BAB 3
METODOLOGI
3.1. Alat dan Bahan
- Alat
Alat yang digunakan pada praktikum ini antara lain: Pulpen, kertas, penggaris, sebagai perlengkapan untuk mencatat analisis data dan penjelasan yang disampaikan oleh assisten serta laptop untuk mengetik, menganalisa dan memplot grafik dari data curah hujan dan indeks iklim SST yang diberi assisten.
- Bahan
Bahan yang digunakan pada praktikum ini antara lain : data curah hujan dari pos hujan Maguwoharjo dan indeks iklim SST-Nino 3 dari tahun 2003 hingga 2014, buku panduan praktikum, dan ms.excel.
3.2. Cara Kerja
Cara kerja yang dilakukan pada praktikum ini yaitu:
- Input data CH dan IG kedalam Excel
- Membuat grafik CH dan IG Vs waktu
Cara menggabungkan dua grafik
- Blok semua data yang akan dimasukkan
- Pilih Insert → charts → 2D columns
- Setelah keluar grafik klik kanan pada data kedua pilih format data series → secondary index
- Klik kanan pada data kedua, pilih insert → charts → 2D line
Gambar 3.1 Grafik CH dan IG vs waktu
- Mencari nilai korelasi
- Dibuat tabel tahun, , dan
Tabel 3.1 Nilai Korelasi dan tahunan
Tahun |
IG/n |
CH rerata |
2003 |
…. |
…. |
2004 |
….. |
…. |
… |
…. |
…. |
Koefisien Korelasi |
…. |
- Diplot grafik dengan → sumbu y dan → sumbu X
Gambar 3.2 Grafik vs tahunan
- Kemudian ditampilkan persamaannya (trendline)
Gambar 3.2 Grafik vs tahunan dengan persamaannya
3.3. Cara Analisa Data
Analisa data yang dilakukan adalah
- Memplot grafik CH dan IG vs waktu, lalu menganalisis hubungan antara CH dengan IG
- Mencari Nilai rata-rata CH dan IG setiap tahun dan membuatkannya kedalam tabel seperti pada tabel 3.1
- Mencari nilai Korelasi dan tahunan dengan menggunakan Excel.
- Mencocokkan nilai korelasi yang diperoleh dengan kriteria berikut;
- Nilai koefisien korelasi sama dengan -1 menunjukkan berbanding terbalik,
hubungan sangat kuat
- Nilai koefisien korelasi sama dengan 1 menunjukkan berbanding lurus, hubungan sangat kuat
- Nilai koefisien korelasi yang menunjukkan angka 0,5 – 1, menujukkan kuatnya hubungan linier dan hubungannya kuat
- Nilai koefisien < 0,5 hubungan dari variabel data tidak cukup kuat atau tidak ada hubungan
- p (x,y) = + 1, hubungan antara x dan y sempurna dan positif (mendekati +1), berarti hubungan keduanya sangat kuat dan bersamaan fase atau berbanding lurus.
- P (x,y) = – 1, hubungan antara x dan y sempurna dan negatif (mendekati -1), berarti hubungan sangat kuat dan berlawanan fase atau berbanding terbalik.
- Apabila nilai P (x,y) = + 0,5 atau p (x,y) = – 0,5 ,berarti hubungan antara x dan y dianggap cukup kuat.
- Apabila nilai P (x,y) < + 0,5 atau nilai P(x,y) > – 0,5 berarti hubungan antara x dan y dianggap lemah.
Dengan → sumbu y dan → sumbu X
- Memplot grafik dengan → sumbu y dan → sumbu X di excel
- Mencari Nilai R2 dan persamaan garisnya (addtrenline)
- Kemudian menyimpulkan apakah terjadi El Nino, berdasarkan hasil yang diperoleh.
Posted by andi telaumbanua on Jul 24, 2018 in
Praktikum
BAB 2
DASAR TEORI
Curah hujan merupakan salah satu unsur iklim yang sangat berpengaruh terhadap sektor pertanian. Pola distribusi hujan serta besarnya curah hujan sangat menentukan tipikal aktifitas pertanian. Keteraturan pola dan distribusi curah hujan di suatu wilayah merupakan jaminan berlangsungnya aktifitas pertanian. Namun kondisi ini akan mengalami kekacauan manakala terjadi fenomena iklim ekstrim seperti El Nino, La Nina maupun Dipole Mode (Estiningtyas dkk., 2007).
El Nino dan La Nina merupakan salah satu fenomena global yang kemunculannya dapat diprakirakan berdasarkan indikasi-indikasi dari beberapa parameter global seperti suhu permukaan laut (SPL). Jumlah penerimaan curah hujan yang turun pada jangka waktu tertentu di suatu wilayah diduga berhubungan dengan perubahan SPL.
Fenomena El Nino Southern Oscillation (ENSO) merupakan salah satu contoh nyata bahwa perubahan SPL berpengaruh terhadap curah hujan. Pada saat terjadi El Nino yang merupakan fase hangat dari ENSO, terjadi kenaikan SPL dari normalnya di bagian tengah dan timur Samudera Pasifik tropik sehingga menyebabkan meningkatnya penerimaan curah hujan di wilayah Peru, Chili dan Ekuador. Sebaliknya di wilayah Indonesia, Papua Nugini dan sebagian Filipina mengalami penurunan penerimaan curah hujan dengan SPL yang mengalami penurunan dari kondisi normalnya (Estiningtyas dkk., 2007).
Perubahan SPL diketahui memiliki pengaruh yang besar terhadap variabilitas curah hujan dan diduga hal ini terkait dengan perubahan pola anomali SPL tersebut baik secara spasial maupun temporal. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ada keterkaitan yang cukup jelas antara fenomena SPL dengan kejadian hujan di suatu wilayah.Variabilitas SPL Nino 3.4 mempengaruhi 50% variasi curah hujan seluruh Indonesia sedangkan variabilitas SPL di Laut India 10-15% (Glantz, 2001).
Keeratan hubungan antara curah hujan dengan indikator iklim global dilihat berdasarkan nilai koefisien keragaman (R`2 ) dan nilai peluangnya. Nilai R2 dikelompokkan atas empat yaitu : 0-25%, 25-50%, 50-75%, dan 75- 100%, dan koefisien keragaman dinyatakan signifikan apabila nilai p < 0,05. Plot antara anomali curah hujan dengan indikator iklim global yang terpilih bertujuan untuk mengetahui slope persamaan secara statistik besar.
Apabila nilai slope lebih besar dari 0, artinya anomali hujan bulanan di wilayah tersebut berkorelasi nyata dengan anomali suhu muka laut. Berdasarkan nilai slope dan plot tersebut diketahui besarnya perubahan curah hujan dengan peningkatan / penurunan indikator iklim global yang terpilih. Apabila hanya SST yang berpengaruh terhadap curah hujan maka pengelompokkan skenario iklim berdasarkan nilai anomali SST sebagai berikut : a) Normal : nilai anomali SST -1 sampai +1o C, b) ElNiño : nilai anomali SST > +1o C, c) La-Niña : nilai anomali SST < -1o C Dampak kejadian iklim ekstrim dianalisis secara deskriptif dengan melihat luas pertanaman padi pada lahan sawah di Indonesia pada tahun-tahun kejadian iklim ekstrim (Yayan dan Laksmi, 2014).
El Nino-Southern Oscillation (ENSO) merupakan fenomena yang mempengaruhi aktivitas hidroklimat global di antaranya adalah curah hujan, temperatur dan evaporasi. ENSO merupakan fenomena yang terdiri atas dua fase yaitu fase panas (El Nino) serta fase dingin (La Nina); adapun Southern Oscillation (SO) merupakan jungkat-jungkit perbedaan tekanan atmosfer antara Australia Indonesia dengan Samudera Pasifik bagian Timur. Curah hujan di Indonesia juga dipengaruhi oleh aktivitas ENSO karena terletak pada Inter-Tropical Convergence Zone (ITCZ). Pengaruh ENSO berbeda-beda antarwilayah bergantung pada lokasi dan topografi (Yayan dan Laksmi, 2014).
Wilayah beriklim monsun di Indonesia merupakan wilayah yang terkena dampak ENSO terbesar karena terkait dengan sirkulasi angin di belahan bumi Utara (Asia) dan angin dari belahan bumi Selatan (Australia). El nino merupakan fenomena global dari sistem interaksi laut dan atmosfer yang ditandai dengan memanasnya suhu permukaan laut di Pasifik Ekuator (Equatorial Pasific) atau anomali suhu permukaan laut di wilayah perairan tersebut positif atau lebih tinggi dari rata–rata suhu permukaan laut yang seharusnya.
Sedangkan la nina merupakan kebalikan dari el nino yaitu ditandai dengan mendinginnya suhu permukaan laut di Pasifik Ekuator atau anomali suhu permukaan laut di wilayah perairan tersebut negatif atau lebih rendah dari rata-rata suhu permukaan laut yang seharusnya. Berdasarkan intensitasnya, el nino dapat dikategorikan sebagai berikut;
- a)El nino lemah (Weak El Nino) yaitu jika anomali suhu permukaan laut di Pasifik Ekuator bernilai positif antara (+0,5ºC) sampai dengan (+1,0ºC) dan berlangsung selama 3 bulan berturut-turut atau lebih.
- b)El nino sedang (Moderate El Nino) yaitu jika anomali suhu permukaan laut di Pasifik Ekuator bernilai positif antara (+1,1ºC) sampai dengan (+1,5ºC) dan berlangsung selama 3 bulan berturut-turut atau lebih.
- c)El nino kuat (Strong El Nino) yaitu jika anomali suhu permukaan laut di Pasifik Ekuator bernilai positif antara >1,5ºC dan berlangsung selama 3 bulan berturut-turut atau lebih
(Djazim, 2010).
Fenomena el nino umumnya berdampak terhadap curah hujan di sebagian wilayah Indonesia akan berkurang. Berkurangnya curah hujan tersebut sangat tergantung dari intensitas el nino yang sedang berlangsung. Mengingat luasnya wilayah Indonesia dan posisi geografis Indonesia yang merupakan benua maritim, maka tidak seluruh wilayah Indonesia dipengaruhi oleh el nino.
Sebaliknya, fenomena la nina umumnya akan berdampak curah hujan di Indonesia yang pengaruhnya juga tergantung dari intensitas la nina yang sedang berlangsung. Gambar 2.1. pada halaman 4 menunjukkan titik pengukuran untuk memperoleh nilai Oceanic Nino Index (ONI) yang terletak di wilayah Samudera Pasifik pada 1200BB – 1700 BB dan 50 LU – 50 LS.
Gambar 2.1 Titik Pengukuran ONI
Indikator untuk menentukan terjadinya El Nino maupun La Nina adalah SST (Sea SurfaceTemperature), SOI ((Southern Oscillation Index) dan MEI (Multivariate ENSO Index). Indikator MEI merupakan indikator gabungan antara SOI dan SST sehingga menghasilkan klasifikasi waktu ENSO yang relevan untuk berbagai tempat di dunia. Suatu tahun dinyatakan terjadi El Nino (La Nina) apabila nilai MEI > 0,5 ( < 0,5) untuk 5 bulan berturut-turut atau lebih antara April tahun (0) sampai Maret tahun berikutnya (+) serta puncak MEI >1 (< -1). Indikator MEI jarang digunakan untuk analisis terjadinya ENSO di Indonesia, biasanya menggunakan SST Nino 3.4. Tahun ENSO menurut indikator Nino 3.4 Adalah tahun El Nino (La Nina) adalah tahun dengan nilai tertinggi > 1+standar deviasi ( < 1-standar deviasi) (Yayan dan Laksmi, 2014).
SOI atau Indeks Osilasi Selatan Seorang ilmuan Inggris, Sir Gilbert Walker, pada tahun 1904 tiba di India dengan maksud mencari metode untuk memperkirakan fluktuasi monsun, kemudian dia mencari titik-titik peramalan pada kawasan samudera India dan Pasifik. Melalui berbagai perilaku parameter atmosfer, Walker menemukan suatu gelombang tekanan udara berperioda panjang antara kawasan IndiaAustralia dengan kawasan Amerika Selatan. Adapun titik pengukurun untuk mendapatkan nilai IOS seperti ditunjukkan dalam gambar 2.2.
Untuk memantau keberadaan Osilasi Selatan ini dicari harga index dari selisih tekanan udara permukaan Tahiti, sebagai wakil dari kawasan Amerika Selatan, dengan Darwin sebagai wakil dari kawasan India-Australia. Setelah dinormalisasikan, indeks ini diplot dari waktu ke waktu, maka terlihatlah wujud Osilasi Selatan itu. Bila harga indeks negatif, berarti tekanan di kawasan Amerika Selatan lebih rendah daripada kawasan India-Australia, dan demikian pula sebaliknya.
Dari osilasi ini bisa di baca ada dua sel tekanan udara, yaitu tinggi dan rendah yang saling berkejaran mengelilingi khatulistiwa bumi Sedangkan untuk memantau El-Nino digunakan indeks El-Nino yang di plot bersamaan dengan SOI dan didapat hubungan antara keduanya, yaitu jika indeks El-Nino positif, maka SOI negatif, dan demikian pula sebaliknya. Jika periode el nino bertepatan dengan turunnya nilai IOS maka periode tersebut disebut dengan ENSO (el nino southern oscillation). Adapun rumus untuk menentukan SOI adalah
SOI = 10
Keterangan: SOI = Southern Oscillation Index
Pdiff = rerata tekanan udara di atas permukaan laut dikawasan Tahiti pada bulan x dikuraangi rerata tekanan udara di atas suhu permukaan laut di kawasan Darwin pada bulan x
Pdiffav = rerata jangka panjang Pdiff pada bulan x
SD [Pdiff] = rerata jangka panjang standar deviasi pdiff pada bulan x
(Ardhitama dkk., 2013).
Gambar 2.2 Titik Pengukuran Indeks OsilasiSelatan
Suhu muka laut (Sea surface Temperature ~ SST) di perairan Indonesia sebagai indeks banyaknya uap air pembentuk awan di atmosfer. Jika suhu muka laut dingin uap air di atmosfer menjadi berkurang, sebaliknya jika suhu muka laut panas uap air di atmosfer banyak.
Pola suhu muka laut di Indonesia secara umum mengikuti gerak tahunan matahari. Suhu muka laut di Samudera Hindia mempunyai rentang perubahan yang cukup lebar yaitu minimum berkisar 26.0° C pada bulan Agustus hingga maksimum berkisar 31.5° C pada bulan Febrauari – Maret. Wilayah perairan lainnya umumnya mempunyai rentang perubahan lebih sempit yaitu berkisar 29.0° C hingga 31.5° C dan waktu terjadinya minimum dan maksimumnya tidak sama disetiap perairan (Ardhitama dkk., 2013).
Hal yang menarik dari fenomena IOD adalah periodisitasnya yang berosilasi sekitar 15 bulanan yang pada waktuwaktu tertentu juga muncul antara selang waktu 3-4 tahun. Periodisitas ini penting diketahui agar dapat ditentukan sifat-sifat pengulangan akumulasi curab bujan pada periode tertentu. Indian Ocean Dipole (IOD) adalah laut digabungkan dan fenomena atmosfer di Samudra Hindia khatulistiwa yang mempengaruhi iklim Australia dan negara – negara lain yang mengelilingi cekungan Samudra Hindia (Besar variabilitas SST di Samudera Hindia telah dikaitkan dengan Indian Ocean Dipole (IOD), juga disebut sebagai Samudera Hindia zonal Mode.
Pola ini mewujud melalui gradien zonal SST tropis, yang pada satu tahap ekstrem di musim gugur boreal menunjukkan cooling off Sumatra dan pemanasan lepas pantai Somalia di sebelah barat, dikombinasikan dengan anomali timuran di sepanjang khatulistiwa. Besarnya curah hujan maksimum sekunder dari Oktober sampai Desember di Afrika Timur angat berkorelasi dengan kejadian IOD positif (Rahman, 2012).
Gejala penyimpangan iklim yang dihasilkan oleh interaksi laut dan atmosfer di Samudera Hindia di sekitar khatulistiwa yang disebut dengan IOD (Indian Ocean Dipole). Interaksi tersebut menghasilkan tekanan tinggi di Samudera Hindia bagian Timur (bagian Selatan Jawa dan Barat Sumatra) yang menimbulkan aliran massa udara yang berhembus ke Barat. Hembusan angin ini akan mendorong massa air di depannya dan mengangkat massa air dari bawah ke permukaan.
Akibatnya, SPL di sekitar pantai Selatan Jawa dan pantai Barat Sumatera akan penurunan yang cukup drastis, sementara di dekat pantai timur Afrika tejadi kenaikan suhu permukaan laut Indian Ocean Dipole (IOD) adalah kondisi interaksi laut-atmosfer yang terjadi di samudera hindia tropis. Selama fenomena IOD positif (Gambar 2.3), suhu permukaan laut secara anomali menghangat di Samudera Hindia barat, sedangkan di bagian timur lebih dingin dari normalnya.
Gambar 2.3 Skema positif (kiri) dan negatif (kanan) IOD
(Ardhitama dkk., 2013).
Nilai koefisien korelasi berguna untuk mengetahui hubungan linier antara nilai curah hujan dengan nilai suhu, tekanan udara, kelembaban, kecepatan angin. Kelompok data sampel yang di maksud. Semakin tinggi nilai koefisien korelasi
dengan nilai positif menunjukkan kuatnya hubungan linier dari masing-masing kelompok data sampel,
- Nilai koefisien korelasi sama dengan -1 menunjukkan berbanding terbalik,
hubungan sangat kuat
- Nilai koefisien korelasi sama dengan 1 menunjukkan berbanding lurus, hubungan sangat kuat
- Nilai koefisien korelasi yang menunjukkan angka 0,5 – 1, menujukkan kuatnya hubungan linier dan hubungannya kuat
- Nilai koefisien < 0,5 hubungan darivariabel data tidak cukup kuat atau tidak ada hubungan
Besarnya nilai koefisien korelasi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
Dimana :
p(x,y) = nilai koefisien korelasi antara variabel
x = nilai curah hujan rata -rata
y = nilai suhu udara, tekanan udara, kelembaban udara dan kecepatan angin.
Nilai p adalah nilai yang menyatakan kuat tidaknya hubungan antara nilai x dan nilai y, nilai p ini berada diantara – 1 sampai dengan 1 .
- p (x,y) = + 1, hubungan antara x dan y sempurna dan positif (mendekati +1), berarti hubungan keduanya sangat kuat dan bersamaan fase atau berbanding lurus.
- P (x,y) = – 1, hubungan antara x dan y sempurna dan negatif (mendekati -1), berarti hubungan sangat kuat dan berlawanan fase atau berbanding terbalik.
- Apabila nilai P (x,y) = + 0,5 atau p (x,y) = – 0,5 ,berarti hubungan antara x dan y dianggap cukup kuat.
- Apabila nilai P (x,y) < + 0,5 atau nilai P(x,y) > – 0,5 berarti hubungan antara x dan y dianggap lemah.
(Fakbri dan Wim, 1996).
Posted by andi telaumbanua on Jul 23, 2018 in
Praktikum
Daftar Pustaka
Arsyad, S. dan Ernan R. 2012. Penyelamatan Tanah, Air, dan Lingkungan. Cetakan kedua. Yayasan Pustaka Obor Indonesia: Bogor.
Budiyanto, G. 2010. Tingkatkan Produktivitas aLahan Pasir Pantai Selatan Kulon Progo. Dalam http://www.umy.ac.id . Diakses pada tanggal Kamis, 17 Mei 2018.
Gunadi, S. 2002. Teknologi Pemanfaatan Lahan Marginal Kawasan Pesisir. Jurnal Teknologi Lingkungan 3(3) : 232-236.
Ikhwanuddin, M. dan Sudaryono. 2008. Pengaruh Irigasi dan Naungan terhadap Produksi Tanaman Cabe (Capsicum annum) Pada Lahan Berpasir, Yogyakarta. Jurnal Hidrosfir Indonesia 3(1): 41- 49
Kastono, D. 2007. Aplikasi Model Rekayasa Lahan Terpadu Guna Meningkatkan Produksi Hortikultura Secara Berkelanjutan di Lahan Pasir Pantai. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian. 3(2): 112-123.
Martono. 2006. Pengaruh perubahan penutup lahan terhadap iklim mikro. Jurnal Lapan 76 : 5-7.
Nugroho, A. S., Bambang H., dan Lis N. 2015. Sistem Pengelolaan Lahan Pasir Pantai untuk pengembangan Pertanian. Dalam http://repository.umy.ac.id . Diakses pada tanggal Kamis, 17 Mei 2018.
Yuwono, N.W. 2009. Membangun Kesuburan Tanah Di Lahan Marginal. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 9(2) : 137.
Rajiman , Endang S., dan Eko H. 2008. pengaruh pembenah tanah terhadap sifat fisika tanah dan hasil bawang merah pada lahan pasir pantai bugel kabupaten kulon progo. Jurnal Agrin 12(1) : 68-69
Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik : Pemasyarakatan dan Pengembangannya. Kanisius: Yogyakarta.