Posted by andi telaumbanua on Feb 11, 2018 in
Esai |
Apa Untungnya Indonesia Satu Agama Semua?
Oleh : Andi Telaumbanua
Indonesia terlahir dengan dianugerahi suku bangsa, bahasa, budaya, golongan, dan agama serta aliran kepercayaan yang sangat beragam. Hal itu merupakan kekayaan negara yang harus disyukuri, dilindungi dan dilestarikan turun-temurun.
Namun, apa jadinya jika sebagian masyarakatnya menjadikan itu alat untuk memunculkan konflik dan pertikaian yang ujung-ujungnya akan memecah kesatuan bangsa Indonesia yang tercinta ini.
Terutama kemajemukan dalam hidup beragama di Indonesia, sangat sering terjadi konflik. Padahal agama selalu mengajarkan kebaikan dan kasih kepada umatnya, sehingga sudah seharusnya setiap pemeluk- pemeluk agama menjadi agen untuk menyebarkan kebaikan kepada sesama.
Akan tetapi , yang ada malah sebaliknya mereka menjadi pemicu bahkan penggerak berbagai konflik yang ada. Hal itu karena kebanyakan dari mereka menjadikan ibadahnya hanya sebagai simbolitas saja agar dilihat oleh orang banyak bahwa mereka orang alim dan saleh.
Bahkan tak jarang pula ada dari mereka yang menfsirkan ajaran agamanya sendiri yang lebih anarkis dan menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal inilah yang menyebabkan naiknya jumlah konflik agama yang ada di Indonesia dari tahun ke tahun.
Bahkan dalam laporan tahunan 2017, Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat menyampaikan adanya peningkatan kasus intoleransi atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sepanjang 2016, berdasarkan pengaduan yang diterima Komnas HAM, tercatat ada 97 kasus. Data ini meningkat, karena pada 2014 tercatat ada 76 kasus dan 87 kasus pada 2015.
Bentuk-bentuk pelanggaran yang sering terjadi adalah melarang aktivitas keagamaan, merusak rumah ibadah, diskriminasi atas dasar keyakinan atau agama, intimidasi, pemaksaan keyakinan, dan penyampaian ujaran kebencian di media sosial.
Hal ini seolah-olah menunjukkan bahwa ada agama tertentu yang tidak mengingini keberadaan agama lain. Bahkan mereka gencar-gencar menghambat penyebaran agama tersebut dalam berbagai cara.
Seperti pada kasus di Yogyakarta beberapa bulan yang lalu mengenai Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) yang dibawakan oleh Pdt. Stephen Tong, yang akan digelar di Stadion Kridosono pada tanggal 20 Oktober 2017 dibatalkan secara sepihak oleh pengelola stadion PT Anindya Mitra Internasional atas desakan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan organisasi massa Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI).
Pihak Stadion Kridosono membatalkan sepihak pada tanggal 12 Oktober atau delapan hari sebelum pelaksanaan dengan alasan keamanan Yogyakarta sedang tidak kondusif.
Kasus tersebut hanyalah salah satu contoh dari kekerasaan yang harus dialami oleh salah satu agama yang diakui oleh Negara Indonesia. Belum lagi kepada pemeluk agama yang lainnya. Keberadaan ekstremis memang meresahkan karena mereka memang tidak segan untuk berbuat sesuatu yang destruktif dengan memandang kaum lain secara tidak proporsional.
Bahkan parahnya lagi jika ada sebagian dari mereka menghendaki bahwa Indonesia satu agama saja dari Sabang sampai Merauke. Tentu keinginan ini akan memecah belah persatuan yang telah ada.
Apalagi jika mereka memaksa pihak lain untuk menganut agamanya, dengan menghalalkan berbagai cara, tentu yang terjadi bukan hanya konflik seperti yang sebelum-sebelumnya. Melainkan perang saudara sampai titik darah penghabisan pun akan terjadi.
Untungnya tidaklah ada, jika pun ada tidak akan sebanding dengan pengorbanan dan jumlah korban. Bahkan tindakan itu, akan menyakiti hati orang lain dan sewaktu-waktu orang itu akan membalaskannya, sehingga kerusuhan akan berlanjut terus-menerus.
Untuk itu, masyarakat harus memahami dan melaksanakan ketiga hal ini yaitu: kontitusi yang ada, pancasila, dan ajaran agamanya masing-masing. Dengan memahami ketiga hal ini, maka mereka akan mengerti bahwa agama seseorang adalah haknya yang dilindungi oleh negara. Sehingga mereka tidak perlu memaksakan agamanya kepada orang lain.
Dalam Pasal 29 ayat (2) UUD RI 1945 berbunyi:“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Hal tersebut ditegaskan kembali pada Pasal 4 UU no. 39 tahun 1999 tentang HAM yang berbunyi: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.”
Kedua ayat ini sangatlah jelas mengatakan bahwa agama dan keyakinan seseorang itu adalah haknya yang dilindungi oleh hukum. Masyarakat harus paham betul makna dan konsekuensi kedua ayat ini, sehingga tidak seenaknya memaksa, menyindir, menghambat, dan mengintimidasi agama lain.
Juga dalam butir sila ke satu pancasila:
-
Percaya dan Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
-
Hormat menghormati dan bekerjasama antar pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.
-
Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
-
Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
Keempat butir sila ke satu sangatlah tegas sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, mengajak masyarakatnya untuk saling menghormati antar pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan.
Juga ajaran dalam agama masing-masing, haruslah dipahami secara betul agar tidak muncul tafsiran yang lebih anarkis. Masyarakat juga harus menjadi agen utama yang menolak segala isu-isu yang mengarah kepada intoleransi, dengan menerapkan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, menjadikan Indonesia menjadi satu agama bukanlah hal dapat diterima. Para pendiri bangsa ini, telah membuat konstitusi dan pancasila dengan penuh perjuangan juga mempunyai salah satu tujuan yaitu mencegah hal seperti ini agar tidak terjadi.
Sehingga semboyang bangsa kita : “Bhineka Tunggal Ika “, tetap ada selamanya.