Acara 5 Konsistensi Tanah Dan Angka Atterberg : Bab 2 Tinjauan Pustaka

Posted by andi telaumbanua on Jan 14, 2019 in TAnah |

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsistensi Tanah

Konsistensi tanah merupakan sifat fisik tanah yang menunjukan derajat adhesi dan kohesi dari zarah-zarah tanah pada berbagai tingkat kelengasan. Sifat fisik yang ditunjukan pada konsistensi adalah keteguhan (friability), keliatan (plasticity), dan kelekatan (stickyness). Penentuan nilai konsistensi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kualitatif dan kuantitatif, dengan pendekatan angka Atterberg yaitu batas cair (BC), batas gulung (BG), batas lekat (BL), dan batas berubah warna (BBW). Angka-angka Atterberg mempunyai hubungan antara kadar lengas (%) dan konsistensi tanah (Handayani, 2009).

Konsistensi tanah dapat ditetapkan secara langsung di laboratorium berdasarkan angka-angka Atterberg. Angka Atterberg adalah persentase berat lengas tanah yang diukur pada saat tanah mengalami perubahan konsistensi.

Tabel 2.2. Evaluasi Angka-Angka Atterberg

JenisPlastisitas (BC-BG) (%)Jangka olah (BL-BG) (%)Batas mengalir (BC-BBW) (%)
Sangat rendah0-51-3< 20
Rendah6-104-821-30
Sedang11-179-1531-45
Tinggi18-3016-2546-70
Sangat tinggi31-4326-4071-100
Ekstrim tinggi> 43>40>100

(Hardjowigeno, 2007)

Konsistensi tanah merupakan kekuatan daya kohesi butir – butir tanah atau daya adhesi butir – butir tanah dengan benda lain. Hal ini ditunjukan oleh daya tahan tanah terhadap gaya yang akan mengubah bentuk. Tanah yang memilki konsistensi yang baik umumnya mudah diolah dan tidak melekat pada alat pengolah tanah. Oleh karena tanah dapat ditemukan dalam keadaan lembab, basah atau kering maka penyifatan konsistensi tanah harus disesuaikan dengan keadaan tanah tersebut (Rahayu dkk., 2014).

Dalam keadaan lembab, tanah dibedakan ke dalam konsistensi gembur ( mudah diolah ) sampai teguh ( agak sulit dicangkul). Dalam keadaan kering tanah dibedakan kedalam konsistensi lunak sampai keras. Dalam keadaan basa dibedakan plastisitasnya yaitu dari plastis sampai tidak plastis atau kelekatannya yaitu dari tidak lekat sampai lekat. Dalam keadaan lembab atau kering konsistensi tanah ditentukan dengan meremas segumpal tanah. Bila gumpalan tersebut mudah hancur, maka tanah dikatakan berkonsistensi gembur bila lembab atau lunak bila kering. Bila gumpalan tanah sukar hancur dengan remasan tersebut tanah dikatakan berkonsistensi teguh (lembab) atau keras (kering).

Dalam keadaan basah ditentukan mudah tidaknya melekat pada jari (melekat atau tidak melekat) atau mudah tidaknya membentuk bulatan dan kemampuannya mempertahankan bentuk tersebut (plastis atau tidak plastis). Konsistensi merupakan bagian dari rheologi. Rheologi adalah ilmu yang mempelajari perubahan–perubahan bentuk (deformasi) dan aliran (flow) suatu benda (Baver, 1959). Sifat–sifat rheologi tanah di pelajari dengan menentukan angka–angka Atterbarg yaitu angka–angka kadar air tanah pada beberapa macam keadaan. Angka–angka ini penting dalam menentukan tindakan pengolahan tanah, karena pengolahan tanah akan sulit dilakukan kalau tanah terlalu kering ataupun terlalu basah. Sifat–sifat tanah yang berhubungan dengan angka Atterberg tersebut adalah:

Batas mengalir adalah jumlah air terbanyak yang dapat ditahan tanah. Kalau air lebuh banyak tanah bersama air akan mengalir. Dalam hal ini tanah diaduk dulu dengan air sehingga tanah bukan dalam keadaan alami. Hal ini berbeda dengan istilah kapasitas lapang (field capacity) yang menunjukan jumlah air terbanyak yang dapat ditahan dalam keadaan alami atau undisturbed. Batas melekat adalah kadar air di mana tanah mulai tidak dapat melekat pada benda lain. Bila kadar air lebih rendah dari batas melekat , maka tanah tidak dapat melekat, tetapi bila kadar air lebih tinggi dari batas melekat, maka tanah akan mudah melekat pada benda lain. Bila tanah yang telah mencapai batas mengalir atau batas melekat tersebut dapat membentuk gulungan atau pita yang tidak mudah patah bila digolek–golekkan maka dikatakan bahwa tanah itu plastis. Bila tanah tidak dapat dibentukpita atau gulungan (selalu patah–patah) maka disebut tidak palsti.

Batas menggolek. Batas menggolek adalahn kadar air dimana gulungan tanah mulai tidak dapat digolek–golekkan lagi. Kalau digolek–golekkan tanah akan pecah–pecah ke segala jurusan. Pada kadar air lebih kecil dari batas menggolek tanah sukar diolah. Indeks Plastisitas (plasticity index). Indeks plastisitas menunjukan perbedaan kadar air pada batas mengalir dengan batas menggolek. Tanah–tanah liat umumnya mempunyai indeks plastisitas yang tinggi sedang tanah–tanah pasir mempunyai indeks plastisitas yang rendah. Jangka olah menunjukan besarnya perbedaan kandungan air pada batas menggolek dengan melekat. Tanah dengan jangka olah yang rendah merupakan tanah yang lebih sukar diolah daripada tanah yang memilki jangka olah yang tinggi. Bila jangka olahnya sama, tanah lebih sukar diolah bila indeks plastisitasnya rendah (Hendro, 2014).

Tingkat plastisitasyaitu menunjukan kemampuan tanah membentuk gulungan, ini dibagi 4 kategori berikut:

(1)    Tidak plastis (Nilai 0): yaitu dicirikan tidak dapat membentuk gulungan tanah

(2)    Agak plastis (Nilai 1): yaitu dicirikan hanya dapat dibentuk gulungan tanah kurang dari 1 cm

(3)    Plastis (Nilai 2): yaitu dicirikan dapat membentuk gulungan tanah lebih dari 1 cm dan diperlukan sedikit tekanan untuk merusak gulungan tersebut

(4)    Sangat plastis (Nilai 3): yaitu icirikan dapat membentuk gulungan tanah lebih dari 1 cm dan diperlukan tekanan besar untuk merusak gulungan tersebut

Pada kondisi kadar air tanah sekitar kapasitas lapang, konsistensi dibagi 6 kategori sebagai berikut:

(1)   Lepas (Nilai 0): yaitu dicirikan tanah tidak melekat satu sama lain atau antar butir tanah mudah terpisah (contoh: tanah bertekstur pasir)

(2)   Sangat gembur (Nilai 1): yaitu dicirikan gumpalan tanah mudah sekali hancur bila diremas

(3)   Gembur (Nilai 2): yaitu dicirikan dengan hanya sedikit tekanan saat meremas dapat menghancurkan gumpalan tanah

(4)   Teguh/Kokoh (Nilai 3): yaitu dicirikan dengan dperlukan tenaga agak kuat saat meremas tanah tersebut agar dapat menghancurkan gumpalan tanah

(5)   Sangat teguh/kokoh (Nilai 4): yaitu dicirikan dengan diperlukannya tekanan berkali-kali saat meremas tanah agar dapat menghancurkan gumpalan tersebut

(6)   Sangat teguh sekali (Nilai 5): yaitu dicirikan dengan tidak hancurnya gumpalan tanah meskipun sudah ditekan berkali-kali saat meremas tanah dan bahkan diperlukan alat bantu agar dapat menghancurkan gumpalan tanah tersebut

Penetapan konsistensi tanah pada kondisi kadar air tanah kering udara, ini dibagi 6 kategori sebagai berikut:

(1)               Lepas (Nilai 0): yaitu dicirikan butir-butir tanah mudah dipisah-pisah atau tanah tidak melekat satu sama lain (misalnya tanah bertekstur tanah)

(2)               Lunak (Nilai 1): yaitu dicirikan gumpalan tanah mudah hancur bila diremas atau tanah berkohesi lemah dan rapuh, sehingga jika ditekan sedikit saja atau mudah hancur

(3)               Agak keras (Nilai 2): yaitu dicirikan gumpalan tanah baru akan hancur jika diberi tekanan pada remasan atau jika hanya mendapat tekanan jari-jari tangan saja belum mampu menghancurkan gumpalan tanah

(4)               Keras (Nilai 3): yaitu dengan makin susah untuk menekan gumpalan tanah dan makin sulitnya gumpalan untuk hancur atau makin diperlukannya ekanan yang lebih kuat untuk dapat menghancurkan gumpalan tanah

(5)               Sangat keras (Nili 4): yaitu dicirikan dengan diperlukan tekanan yang lebih kuat lagi untuk dapat menghancurkan gumpalan tanah atau gumpalan tanah makin sangat sulit ditekan dan sangat sulit untuk hancur

(6)               Sangat keras sekali (Nilai 5): yaitu dicirikan dengan di pelukannya tekanan yang sangat besar sekali agar dapat menghancurkn gumpalan tanah atau gumpalan tanah baru bisa hancur dengan menggunaka alat bantu (pemukul)

2.2. Batas Plastis

Plastisitas adalah kemampuan butir-butir tanah halus untuk mengalami  perubahan  bentuk  tanpa  terjadi  perubahan  volume  atau pecah. Tidak semua jenis tanah mempunyai sifat plastis. Tanah yang didominasi oleh mineral pasir kuarsa dan pasir lainnya tidak mempunyai sifat plastis walaupun ukuran partikelnya halus dan berapapun banyaknya air ditambahkan. Semua mineral liat, mempunyai sifat plastis dan dapat digulung mejadi benang/ulir tipis pada kadar air tertentu tanpa menjadi hancur. Pada kenyataannya, semua tanah berbutir halus mengandung sejumlah liat, maka kebanyakan tanah tersebut adalah plastis. Dalam hal ini, tingkat plastisitas dapat juga dikatakan sebagai suatu indeks umum untuk menggambarkan kandungan liat dari suatu tanah (Sutono dkk., 2006).

Batas plastis (Bp) adalah kadar air saat perubahan kondisi tanah dari plastis menjadi semiplastis. Batas ini dicapai ketika tanah tidak lagi lentur dan menjadi hancur di bawah tekanan. Antara batas cair dan batas plastis disebut range of plasticity. Perbedaan kuantitatif kadar air antara dua batas ini disebut indeks plastisitas (IP). Ini menggambarkan cakupan kadar air ketika tanah dalam kondisi plastis.

Tanah mengandung sedikit liat dikatakan agak plastis, sedangkan tanah banyak mengandung liat disebut sangat plastis. Dalam praktek, perbedaan plastisitas ditentukan oleh keadaan fisik tanah melalui perubahan kadar air. Batas antara perbedaan kondisi plastis berdasarkan kadar air tersebut disebut batas konsistensi atau batas atterberg. Jadi, konsistensi tanah diartikan sebagai kondisi fisik dari butiran halus tanah pada kondisi kadar air tertentu (Sutono dkk., 2006).

Penetapan plastisitas tanah khususnya diarahkan untuk mengetahui berat atau ringannya pengolahan tanah, terutama jika dilakukan menggunakan mesin pengolah tanah, seperti traktor. Prinsip analisis apabila kumpulan butiran tanah halus dalam kondisi kering diperlakukan dengan penambahan kadar air, maka air akan menyelimuti butiran tersebut,  dan  secara berurutan  kondisinya  akan  berubah dari padat menjadi semiplastis, kemudian menjadi plastis, dan selanjutnya menjadi cair. Dengan mengamati secara visual terhadap contoh tanah yang mengandung butiran halus tersebut diperlakukan, akan dapat disimpulkan bahwa tanah tersebut plastis atau tidak. Jadi, sebenarnya tujuan dari penentuan plastisitas tanah adalah untuk menentukan dua kondisi sifat tanah utama, yaitu batas cair dan batas plastis (Sutono dkk., 2006).

Pada awal abad 19, seorang ahli tanah asal Swedia, yaitu atterberg melakukan satu pengujian untuk menentukan konsistensi butir- butir  tanah  halus,  yang  membagi butir  tanah  halus  ke  dalam  empat kondisi, yaitu padat, semiplastis, plastis, dan cair. Atterberg juga mengelompokkan sifat kondisi tanah yang dipengaruhi oleh kadar air ke dalam tiga kategori yaitu batas cair, batas plastis, dan batas mengkerut. Indeks yang berubah-ubah ini telah disepakati untuk mendefinisikan plastisitas tanah, yaitu batas cair (Bc), batas plastis (Bp), dan indeks plastisitas (IP). Batas ini menyatakan secara kuantitatif pengaruh perbedaan kadar air terhadap konsistensi dari butiran tanah halus, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.1. Pengelompokan tanah berdasarkan pada grafik plastisitas ini dikembangkan oleh casagrande.

Gambar 2.1. Hubungan antara kondisi tanah dan angka atterberg (Hardiyatmo, 1999)

Gambar 2.2. Batas-batas atterberg

Batas plastis dari gaya kohesif tanah adalah kandungan air tanah minimum yang ditetapkan secara gravimetrik, dinyatakan dalam persen, merupakan  kadar  air  tanah  pada  batas  perubahan  dari  agak  padat menjadi plastis pada tanah dalam bentuk benang remah setebal 3,2 mm. Ketika benang tanah dilengkungkan menjadi patah, menunjukkan tanda- tanda tanah dalam keadaan remah. Tanah tanpa drainase mempunyai gaya kohesif tanah dengan konsistensi setara 170 kPa. Batas plastis ditetapkan dengan metode casagrande. Prosedurnya sebagai berikut;

1.        Contoh  tanah  kering  udara  berukuran  <2  mm,  sebanyak  15  g diletakkan di atas lempeng kaca, kemudian dicampur dengan air dan diaduk secara merata.

2.        Setelah air dan tanah tercampur rata, gosok tanah menggunakan telapak tangan untuk membentuk benang tanah setebal 3,2 mm sampai menunjukkan tanda-tanda remah.

3.        Benang  tanah  sebanyak  8  g  dipotong-potong  menjadi  beberapa bagian,  dimasukkan ke  dalam  cawan  aluminium  untuk  ditetapkan kadar airnya.

4.        Ulangi pekerjaan 1 – 3 sebanyak tiga kali, agar diperoleh nilai rata- rata kadar air tanah, sehingga diperoleh nilai batas plastis (Bp).

(Sutono dkk., 2006).

Tabel 2.1. Kelas indeks plastisitas

2.3. Batas Cair

Batas cair (Bc) adalah kadar air saat tanah berubah dari kondisi cair menjadi bahan yang plastis, atau kadar air yang sesuai dengan batas yang disepakati antara kondisi cair dan plastis dari kekentalan atau konsistensi suatu tanah. Di atas nilai tersebut, tanah dianggap menjadi cairan dan bersifat seperti mengalir dengan bebas di bawah pengaruh beratnya sendiri. Di bawah nilai ini, tanah berubah bentuk karena pengaruh  tekanan  tanpa  menjadi  hancur,  dan  tanah  memperlihatkan suatu keadaan plasti (Sutono dkk., 2006).

Sejak awal dikembangkannya pada tahun 1950-an dan 1960-an oleh Drucker dan Prager, teori plastisitas telah menjadi suatu kerangka kerja  untuk  modeling  sifat  ketidak  elastisan  tanah.  Saat  ini,  telah mendapat perhatian dan dukungan yang lebih luas. Angka  atterberg  oleh  American  Society  for  Testing  Material (ASTM) juga telah dijadikan dasar dalam pembuatan gaya kohesif tanah untuk pengembangan mesin-mesin pengolah tanah. Di sisi lain, angka atterberg telah digunakan sebagai dasar pembuatan klasifikasi gaya kohesif tanah untuk mekanisasi pertanian, dan juga banyak dimanfaatkan untuk interpretasi ketahanan geser tanah, bearing capacity, pemampatan, dan potensi mengembang (Drucker et al., 1957).

Jika kadar air tanah melampau batas plastis, maka tanah akan mencapai batas cair. Batas cair dapat ditetapkan menggunakan metode casagrande atau drop cone penetrometer. Prosedurnya sebagai berikut.

1.         Butiran tanah kering udara berukuran < 2 mm ditimbang kira-kira sebanyak 100 g, kemudian dicampur dengan air destilasi 15-20 ml, diaduk merata sehingga berbentuk pasta.

2.         Masukkan pasta tanah ke dalam mangkuk pada perangkat ketuk, permukaan tanah  diratakan agar  ketebalan pasta  sekitar 13  mm, kemudian buatlah alur tegak lurus dengan permukaan mangkuk menggunakan alat pembuat alur agar pasta tanah terbagi dua sama besar.

3.         Putar engkol perangkat ketuk dengan kecepatan 2 ketuk per detik sampai alur tertutup menjadi selebar 13 mm. Catat jumlah putaran (N) untuk mencapai penutupan alur menjadi 13 mm.

4.         Ambil pasta tanah  yang  telah diketuk, kemudian ditimbang 10  g, masukan  ke  dalam  cawan  aluminium,  selanjutnya  masukkan  ke dalam oven dengan suhu 105 oC untuk mengetahui kandungan airnya

5.         Bersihkan mangkuk pada perangkat ketuk  dan keringkan, setelah kering pekerjaan selanjutnya dapat diteruskan untuk contoh tanah berikutnya.

6.         Ulangi pekerjaan 1 – 5, sehingga diperoleh jumlah N yang sama. Perbedaan jumlah N disebabkan tidak sempurnanya dalam pembuatan adonan (pencampuran air dengan tanah). Jumlah ketukan (N) sekitar 25, sebaiknya jumlah ketukan tidak lebih dari 35 dan tidak kurang dari 15.

(Sutono dkk., 2006).

2.4. Batas Kerut (Bk)

Untuk mengetahui kemampuan mengembang dan mengkerutnya suatu tanah perlu ditetapkan batas kerut (Bk). Prosedurnya  sebagai berikut:

1.       Tanah kering yang berada di dalam desikator dikeluarkan dan segera ditimbang.

2.       Masukkan air raksa ke dalam bejana sampai penuh dan meluap, bagian dinding luarnya dibersihkan dari sisa-sisa air raksa, kemudian tempatkan di atas bejana lainnya yang ukurannya lebih besar.

3.       Siapkan gumpalan  tanah  di  atas  lempeng kaca  yang  terikat  erat dengan garpu agar tidak jatuh ketika diletakkan ke dalam bejana berisi air raksa.

4.       Tutup bejana air raksa dengan lempeng kaca bertanah, permukaan bejana rapat dengan permukaan kaca bertanah sampai tidak ada udara dapat masuk ke dalam bejana air raksa. Tempatkan bagian yang ada tanahnya di sebelah bawah. Air raksa yang meluap akan ditampung dalam bejana yang lebih besar.

5.       Air raksa yang meluap dan masuk ke dalam bejana yang lebih besar ditimbang untuk diketahui bobotnya (Sutono dkk., 2006).

2.5.Tanah Lempung

Tanah lempung merupakan agregat partikel-partikel berukuran mikroskopik dan submikroskopik yang berasal dari pembusukan kimiawi unsur-unsur penyusun batuan, dan bersifat plastis dalam selang kadar air sedang sampai luas. Dalam keadaan kering sangat keras, dan tak mudah terkelupas hanya dengan jari tangan. Selain itu, permeabilitas lempung sangat rendah. Sifat khas yang dimiliki oleh tanah lempung adalah dalam keadaan kering akan bersifat keras, dan jika basah akan bersifat lunak plastis, dan kohesif, mengembang dan menyusut dengan cepat, sehingga mempunyai perubahan volume yang besar dan itu terjadi karena pengaruh air (Markus dkk., 2015).

Tanah lempung lunak mempunyai karakteristik yang khusus diantaranya kemampatan yang tinggi, indeks plastisitas yang tinggi, kadar air yang relatif tinggi, dan mempunyai gaya geser yang kecil. Sifat-sifat yang dimiliki tanah lempung adalah sebagai berikut :

a. Ukuran butir halus, kurang dari 0,002 mm.

b. Permeabilitas rendah.

c. Kenaikan air kapiler tinggi.

d. Bersifat sangat kohesif.

e. Kadar kembang susut yang tinggi.

Konsistensi dari tanah lempung dan tanah kohesif lainnya sangat dipengaruhi oleh kadar air. Indeks plastisitas dan batas cair dapat digunakan untuk menentukan karateristik  pengembangan.  Karakteristik  pengembangan  hanya dapat diperkirakan dengan menggunakan indeks plastisitas. Dikarenakan  sifat  plastis  dari suatu  tanah  adalah  disebabkan  oleh  air  yang terserap disekeliling permukaan partikel lempung, maka dapat diharapkan bahwa tipe dan   jumlah   mineral   lempung   yang   dikandung   didalam   suatu   tanah   akan mempengaruhi batas plastis dan  batas cair  tanah yang bersangkutan.

Menurut  Bowles  (1989),  mineral-mineral  pada  tanah  lempung  umumnya memiliki sifat-sifat:

1.  Hidrasi.

Partikel mineral lempung   biasanya bermuatan negatif sehingga partikel lempung  hampir  selalu  mengalami  hidrasi,  yaitu  dikelilingi  oleh  lapisan- lapisan  molekul  air yang disebut  sebagai  air teradsorbsi.  Lapisan  ini pada umumnya mempunyai tebal dua molekul karena itu disebut sebagai lapisan difusi ganda atau lapisan ganda. Lapisan difusi ganda adalah lapisan  yang dapat menarik molekul air atau kation disekitarnya. Lapisan ini akan hilang

pada   temperatur   yang   lebih   tinggi   dari   600    sampai   1000C   dan   aka n mengurangi  plasitisitas  alamiah, tetapi sebagian  air juga dapat menghilang cukup dengan pengeringan udara saja.

2.   Aktivitas.

Hasil  pengujian  index  properties  dapat  digunakan  untuk  mengidentifikasi tanah ekspansif. Aktivitas tanah lempung sebagai perbandingan antara Indeks Plastisitas (IP) dengan prosentase   butiran yang lebih kecil dari 0,002 mm Untuk   nilai   A>1,25   digolongkan   aktif   dan   sifatnya   ekspansif.   Nilai   A 1,25<A<A<0,75  digolongkan  normal  sedangkan  nilai  A<0,75  digolongkan tidak aktif. Aktivitas juga berhubungan dengan kadar air potensial relatif. Nilai- nilai khas dari aktivitas dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.2. Aktivitas tanah lempung

3.      Flokulasi dan Dispersi.

Apabila   mineral   lempung   terkontaminasi   dengan   substansi   yang   tidak mempunyai  bentuk  tertentu   atau  tidak  berkristal  maka  daya  negatif  netto, ion- ion  H+ dari  air gaya  Van der Waals  dan  partikel  berukuran  kecil   akan bersama-sama  tertarik dan bersinggungan  atau  bertabrakan  di dalam larutan tanah dan air. Beberapa  partikel  yang tertarik akan membentuk  flok (flock) yang berorientasi secara acak atau struktur yang berukuran lebih besar akan turun  dari  larutan  itu  dengan  cepatnya  membentuk  sedimen  yang  lepas. Flokulasi adalah peristiwa   penggumpalan   partikel lempung di dalam larutan air  akibat  mineral  lempung  umumnya  mempunyai  pH>7.  Flokulasi  larutan dapat dinetralisir dengan menambahkan bahan-bahan yang mengandung asam (ion  H+),    sedangkan   penambahan   bahan-bahan  alkali  akan   mempercepat flokulasi.  Untuk  menghindari  flokulasi  larutan  air  dapat  ditambahkan  zat asam.

4.   Pengaruh Zat cair

Fase air yang berada di dalam struktur tanah lempung adalah air yang tidak murni secara kimiawi. Pada pengujian di laboratorium untuk batas Atterberg, ASTM menentukan bahwa air suling ditambahkan sesuai dengan keperluan. Pemakaian air suling yang relatif bebas ion dapat membuat hasil yang cukup berbeda dari apa yang didapatkan dari tanah di lapangan dengan air yang telah terkontaminasi.

Air  yang  berfungsi  sebagai  penentu  sifat  plastisitas  dari  lempung.  Satu molekul air memiliki muatan positif dan muatan negative pada ujung yang berbeda (dipolar). Fenomena hanya terjadi pada air yang molekulnya dipolar dan tidak terjadi pada cairan yang tidak dipolar seperti karbon tetrakolrida (Ccl4) yang jika dicampur lempung tidak akan terjadi apapun.

5.   Sifat kembang susut (swelling potensial)

Plastisitas yang tinggi terjadi akibat adanya perubahan syistem tanah dengan air yang mengakibatkan terganggunya keseimbangan gaya-gaya didalam struktur tanah. Gaya tarik yang bekerja pada partikel yang berdekatan yang terdiri dari gaya elektrostatis yang bergantung pada komposisi mineral, serta gaya van der Walls yang bergantung pada jarak antar permukaan  partikel. Partikel  lempung pada umumnya berbentuk  pelat pipih dengan  permukaan bermuatan likstik  negatif  dan  ujung-ujungnya  bermuatan   posistif.  

Muatan negatif ini diseimbangkan oleh kation air tanah yang terikat pada permukaan pelat oleh suatu gaya listrik. Sistem gaya internal kimia-listrik ini harus dalam keadaan seimbang  antara  gaya  luar  dan  hisapan  matrik.  Apabila  susunan  kimia  air  tanah berubah sebagai akibat adanya perubahan komposisi maupun keluar masuknya air tanah, keseimbangan gaya–gaya dan jarak antar partikel akan membentuk keseimbangna  baru.  Perubahan  jarak  antar  partikel  ini  disebut  sebagai  proses kembang susut. Tanah-tanah yang banyak mengandung lempung mengalami perubahan volume ketika kadar air berubah. Perubahan itulah yang membahayakan  bagunan. Tingkat pengembangan secara umum bergantung pada beberapa faktor  yaitu:

1.    Tipe dan jumlah mineral yang ada di dalam tanah dan kadar air.

3.    Susunan tanah dan konsentrasi garam dalam air pori.

4.    Sementasi dan adanya bahan organik, dll.

DAFTAR PUSTAKA

Baver, L.D. 1959. Soil Physics. New York . John Wiley and Sons, inc.

Bowles, E.J. 1989. Sifat-sifat Fisis dan Geoteknis Tanah. Jakarta. PT. Erlangga.

Drucker, D. C, R. E. Gibson, and D. J. Henkel. 1957. Soil mechanics and work hardening theories of plasticity. Trans. ASCE. 122:338–346.

Handayani, S. 2009. Panduan Praktikum dan Bahan Asistensi Dasar-dasar Ilmu Tanah. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta.

Hardiyatmo, H.C., 1999, Mekanika Tanah I, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Hardjowigeno, S. 2007. Ilmu Tanah. Jakarta. Akademika Pressindo.

Hendro, M . 2014. Fisika Tanahhttp://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/LAI NNYA/HENDRO_MURTIANTO/09 _Fisika_tanah.pdf .  Diakses pada tanggal 30 Oktober 2018.

Markus M., Iswan, dan Muhammad J. 2015. Hubungan Batas Cair dan Plastisitas Indeks Tanah Lempung yang Distabilisasi dengan ISS 2500 Terhadap Nilai Kohesi pada Uji Geser Langsung dan Uji Tekan Bebas. Jurnal Rekayasa Sipil dan Desain 3(2) : 280.

Rahayu, A., Sri R.,  dan  Mochtar L. 2014. Karakteristik Dan Klasifikasi Tanah Pada Lahan Kering Dan Lahan Yang Disawahkan Di Kecamatan Perak Kabupaten Jombang . Jurnal Tanah dan Sumberdaya Lahan 1(2): 81.

Sutono, S., Maswar, dan Yusrial. .2006. Penetapan Tekstur Tanah . http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/ind/dokumentasi/buku/buku%20sifat%20fisik%20tanah/05penetapan_tektur_tanah.pdf?secure=true . Diakses pada tanggal 30 Oktober 2018.

Reply

Copyright © 2024 All rights reserved. Theme by Laptop Geek.