0

Acara 6 Pembengkakan Dan Pengkerutan Tanah (Swelling Dan Shrinkage) : Bab 2 Tinjauan Pustaka

Posted by andi telaumbanua on Jan 15, 2019 in TAnah

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanah Lempung

Lempung terbentuk dari proses pelapukan batuan silika oleh asam karbonat dan sebagian dihasilkan dari aktivitas panas bumi. Lempung membentuk gumpalan keras saat kering dan lengket saat basah terkena air. Sifat ini  ditentukan  oleh  jenis  mineral  lempung  yang  mendominasinya.  Mineral lempung digolongkan berdasarkan susunan lapisan oksida silikon dan oksida aluminium  yang  membentuk  kristalnya.  Golongan  1:1  memiliki  lapisan  satu oksida silikon dan satu oksida aluminium, sementara golongan 2:1 memiliki dua lapis golongan oksida silikon dan satu lapis oksida aluminium. Mineral lempung golongan 2:1 memiliki sifat elastis yang kuat, menyusut saat kering dan membesar saat basah. Karena perilaku inilah beberapa jenis tanah dapat membentuk kerutan- kerutan atau “pecah-pecah” bila kering (Zufialdi dkk., 2007).

Mineral lempung terdiri dari tiga komponen penting yaitu montmorillonite, illite ,dan kaolinite. Mineral montmorillonite mempunyai luas permukaan lebih besar dan sangat mudah menyerap air dalam jumlah banyak bila dibandingkan dengan mineral yang lainnya, Sehingga tanah yang mempunyai kepekaan terhadap pengaruh air ini sangat mudah mengembang. Struktur kaolinite terdiri dari  unit  lapisan  silica dan  aluminium  yang  diikat  oleh  ion  hydrogen, kaolinite  membentuk  tanah  yang  stabil  karena  strukturnya  yang  terikat  teguh mampu menahan molekul-molekul air sehingga tidak masuk kedalamnya.

Monmorilonit adalah suatu mineral yang diberikan untuk lempung di daerah  Monmorilon,  Perancis  tahun 1847, dengan rumus :(OH)4Si8Al4O20.nH2O, dimana n(H2O) adalah air yang berada diantara lapis- an-lapisan (n-lapis). Istilah smectite juga dipakai dalam kelompok mineral ini.  Mineral  ini  mempunyai  butiran yang secara khas sangat halus dan secara kimia sangat aktif. Mineral montmorilonit dengan mudah dapat menyerap air dan menghilangkan air (lempung mengembang kuat). Bentuk struktur mineral ini sama dengan illit, yaitu satu lembaran gibbsite diapit dua lembaran silika. Bentonit adalah lempung dengan kadar montmorilonit tinggi,   banyak dijumpai dalam endapan volkanik sebagai material yang terbentuk dari perubahan kimiawi abu volkanik. Bila diberi air, bentonit dapat mengem- bang (swelling) lebih besar daripada lempung   kering   lainnya.   Bentonit jenuh  akan  menyusut  lebih  banyak bila dikeringkan. Sifat bentonit tergantung dari sumber   dan jumlah material vulkanik induknya. Pelapukan mineral monmorilonit sering  menghasilkan  lempung  kaolinit  dan  di  daerah  dimana  telah terjadi pelapukan, kedua mineral tersebut biasa diperoleh. Montmorilonit biasa terdapat di daerah kering (Zufialdi dkk., 2007).

Struktur illite terdiri dari lapisan-lapisan unit silica-alumunium-silica yang dipisahkan    oleh    ion    K+ yang    mempunyai    sifat    mengembang.   Struktur montmorillonite mirip dengan struktur illite, tetapi ion pemisahnya berupa ion H2O, yang sangat mudah lepas, mineral ini dapat dikatakan sangat tidak stabil pada kondisi tergenang air, air dengan mudah masuk kedalam sela antar lapisan ini sehingga mineral mengembang, pada waktu mengering, air diantara lapisan juga mengering sehingga mineral menyusut. Karena sifat-sifat tersebut montmorillonite sangat sering menimbulkan masalah pada bangunan.

Pertukaran   ion   merupakan   hal yang relatif sederhana dalam struktur lempung.  Dengan  demikian pertukaran ion tersebut adalah aktif- kimiawi. Ini merupakan persoalan dalam air yang terkena pencemaran dimana banyak sekali ion di dalam larutan. Dalam keadaan tertentu, dapat terjadi pertumbuhan mineral lempung  yang  berlangsung  dengan cepat (pembentukan lumpur dalam reservoar penjernih air, penyumbatan pipa-pipa drainase).

Molekul-molekul air dapat diserap dalam struktur lempung (terutama pada  lempung  yang  mengembang) dan dapat dihilangkan (pada lempung yang memadat). Mineral lempung bisa juga aktif-elektrik. Dengan ukurannya sangat   kecil,   maka   hanya   dapat dilihat dengan mikroskop elektron. Umumnya partikel-partikel tanah lempung mempunyai muatan negatif pada permukaannya. Muatan negatif yang besar dijumpai pada partikel- partikel yang mempunyai luasan spesifik yang lebih besar. Beberapa muatan positif juga terjadi pada tepi- tepi lempengan partikel. Muatan positif sangat mudah berganti dengan yang lainnya. Ion-ion positif yang mengelilingi partikel lempung tersebut terikat pada partikel oleh adanya gaya tarik elektrostatik. Bila air ditambahkan kepada lempung tersebut, maka kation-kation tersebut dan sejumlah kecil anion-anion akan berenang di  antara partikel ini (disebut lapisan ganda terdifusi).

Tanah  lempung sangat keras dalam keadaan kering dan bersifat plastis pada kadar air sadang. Pada keadaan air lebih tinggi lempung bersifat lengket (kohesi) dan sangat lunak. Tanah lempung sebagai tanah yang terdiri dari     partikel-partikel tertentu yang menghasilkan sifat plastis apabila dalam kondisi basah. Sifat-sifat  yang  dimiliki  dari  tanah lempung   yaitu antara lain ukuran butiran-butiran halus > 0,002 mm, permeabilitas  rendah,  kenaikan  air  kapiler  tinggi,  bersifat  sangat kohesif dan kadar  kembang  susut  yang  tinggi, serta proses konsolidasi lambat.

Hardiyatmo (1999), sifat-sifat yang dimiliki tanah liat atau lempung adalah sebagai berikut :

a.   Ukuran butir halus kurang dari 0,002 mm

b.   Permeabilitas rendah

c.   Bersifat sangat kohesif

d.   Kadar kembang susut yang tinggi

e.   Proses konsolidasi lambat

Mineral lempung Montmorillonit (famili Smectit; lempung 2:1 atau 10 Å) bersifat kembang kerut tinggi (karena substitusi isomorfik terdapat pada lembar oktahedral) mendominasi tanah Vertisol.  Montmorillonit mengembang saat basah, sehingga saat musim hujan tanah menjadi impermea- bel / kedap dan becek, berkonsistensi sangat lekat dan sangat liat; sebaliknya pada saat musim kering, konsistensi tanah sangat teguh (saat lembab) dan luar biasa keras (saat ker- ing) dan sekaligus membentuk retakan-retakan akibat sifat mengerut dan membentuk gilgai (struktur bunga kobis/cauli- flower structure) di permukaan tanah (Fanning dan Fanning,1989).

Dampak negatif kembang kerut Montmorillonit terhadap usaha pertanian, antara lain: retakan tanah yang lebar akan memutus jaringan perakaran rambut bagi tanaman semusim. Kadar fraksi lempung Montmorillonit sangat tinggi, mengakibatkan saat kering tanah sangat keras dan saat awal musim hujan tanah sangat berat untuk diolah serta becek karena drainase terhambat. Tanah Vertisol pada semua kisaran kadar air mulai dari kering sampai basah bersifat sangat sukar diolah, karena   nilai jangka olah tanah sangat kecil/sempit. Hal ini akibat dari kadar fraksi lempung dalam Vertisol sangat tinggi, sebagai contoh di wilayah Wonosari kadar lempung dalam tanah dapat mencapai lebih dari 70 % (Hendro dan Heri, 2008).

Makin tinggi nilai COLE dalam tanah, maka aplikasi pemberian lengas berselang akan lebih menyebabkan frekwensi proses kembang kerut makin besar, sehingga pada gilirannya akan cepat menghaluskan tanah. Proses ini sesuai dengan gambaran bahwa proses pedoturbasi atau pembalikan tanah dalam Vertisol terjadi karena adanya kadar fraksi lempung yang tinggi dan bersifat kembang kerut (seperti Montmorillonit, Beidelit dan Vermikulit) serta wilayah mempunyai iklim tahunan yang selalu berselang seling antara musim hujan dan musim kemarau dengan batas peralihan tegas. Kadar tipe Montmorillonit makin besar dalam fraksi lempung sebuah tanah (makin besar nilai COLE sebuah tanah), makin hemat terhadap kebutuhan air presipitasi untuk menghancurkan bongkah tanah.

Tabel 2.1. Klasifikasi harga tingkat bahaya sifat kembang kerut tanah

Tabel 2.2. Klasifikasi nilai COLE

Kelas KlasifikasiNilai
Rendah< 0,03
Sedang0,0 3- 0,06
Tinggi.> 0,06 – 0,09
Sangat Tinggi> 0,09

2.2.  Mengembang dan Mengerut

Tanah mempunyai sifat mengembang (bila basah) dan mengerut (bila kering). Akibatnya pada musim hujan karena tanah basah maka tanah mudah mengembang dan pada musim kemarau/kering karena tanah mengerut, maka tanah menjadi pecah-pecah. Besarnya pengembangan dan pengerutan dinyatakan dengan COLE (Coefficient of Linier Extensibility) atau PVC (Potencial Volume Change).

     Sifat mengembang dan mengerut disebabkan oleh kandungan air relatif, terutama yang berada diantara satuan–satuan struktural misel. Jika kisi hablur lempung mengembang akan terjadi pengerutan pada waktu terjadi pembahasan oleh air. Setelah mengalami kekeringan, suatu tanah yang cukup lama akan mengalami retak yang cukup dalam, sehingga hujan pertama mudah masuk ke dalam tanah(Buckman and Brady, 1982). Pengerutan biasanya terjadi pada musim kemarau atau musim kering. Pengerutan adalah keadaan dimana tanah mengalami retakan–retakan, yang disebabkan oleh karena ruang atau pori tanah tersebut tidak terisi oleh air yang cukup. Pengerutan pada tanah akan mengakibatkan terjadinya pematahan pada akar tanaman.

Antara pengembangan dan pengerutan, kohesi dan plastis berhubungan erat satu sama lain. Ciri–ciri ini tergantung tidak hanya pada campuran lempung dalam tanah, tetapi juga sifat dan jumlah humus yang terdapat bersama koloid organik . Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pengembang yaitu, sebagian pengembangan terjadi karena penetrasi air ke dalam lapisan kristal liat, yang menyebabkan pengembangan tanah dalam kristal. Akan tetapi, sebagian besar terjadi karena tertartiknya air ke dalam koloid-koloid dan ion-ion yang terabsorpsi pada liat dan karena udara yang terperangkap di dalam pori mikro ketika memasuki pori tanah (Hakim dkk., 1986).

Sifat mengembang dan mengerut disebabkan oleh kandungan air relatif, terutama yang berada di satuan-satuan struktural misel. Jika kisi habrul lempung mengembang akan terjadi pengerutan pada waktu terjadi pembasahan oleh air. Setelah mengalami kekeringan sesuatu tanah yang cukup lama akan mengalami retak yang cukup dalam, sehingga air hujan pertama mudah masuk ke dalam tanah. Antara pengembangan dan pengerutan, kohesi dan plastis berhubungan erat satu sama lain. Ciri-ciri ini tergantung tidak hanya pada campuran lempung dalam tanah, tetapi juga sifat dan jumlah humus yang terdapat bersama koloid organik. Sifat tergantung pada struktur pengembangan tanah.

Hubungan Mengembang dan mengerut dengan kadar air yaitu apabila kadar air dalam tanah tinggi maka pori atau ruang dalam tanah akan banyak terisi oleh air sehinggat erjadi pengembangan pada tanah begitu juga sebaliknya.
Kandungan liat juga sangat berpengaruh disebabkan karena permukaan liat yang besar dan dapat menyerap banyak air sehingga tanah yang memiliki kadar liat yang tinggi sangat mudah terjadi pengembangan begitu pula sebaliknya (Foth, 1994).

Tanah yang mempunyai kemampuan mengembang dan mengerut paling tinggi disebabkan oleh kandungan liat, maka permeabilitasnya semakin lambat. Hal ini menyebabkan tanah mempunyai retakan-retakan yang banyak. Air yang mengalir melalui retakan-retakan menyebabkan perkolasi makin tinggi. Hal inilah yang menyebabkan pengukuran kecepatan air perkolasi di musim kering sering menghasilkan kesalahan-kesalahan.

Adapun faktor- faktor yang mempengaruhi sifat mengembang dan mengerut pada tanah adalah kadar air dalam tanah, luas ruang atau pori tanah serta kandungan mineral liat. Ketiga faktor ini sangat berpengaruh disebabkan karena apabila kadar air dalam tanah tinggi maka pori atau ruang dalam tanah akan banyak terisi oleh air, sehingga terjadi pengembangan pada tanah.begitu juga sebaliknya. Kandungan liat juga sangat berpengaruh disebabkan karena permukaan liat yang besar dan dapat menyerap banyak air sehingga tanah yang memiliki kadar liat yang tinggi sangat mudah terjadi pengembangan begitu pula sebaliknya (Foth, 1994). Tanah yang banyak mengandung pasir akan mempunyai tekstur yang kasar , mudah untuk diolah, mudah merembeskan air, dan disebut sebagai tanah ringan. Sebaliknya tanah yang banyak mengandung liat akan sulit untuk meloloskan air, aerasi jelek, lengket, dan sulit dalam pengolahannya sehingga disebut tanah berat. Berat ringannya tanah akan menentukan besarnya derajat kerutan tanah.

Pengembangan juga terjadi karena beberapa sebab, sebagian pengembangan terjadi karena penetrasi air ke dalam lapisan kristal liat, yang menyebabkan pengembangan dalam kristal. Akan tetapi, sebagian besar terjadi karena tertariknya air ke dalam koloid–koloid dan ion–ion yang teradsobsi pada liat      dan karena udara yang terperangkap di dalam pori mikro ketika memasuki pori tanah (Hakim  dkk., 1986).

Pengerutan biasanya terjadi pada musim kemarau atau musim kering Pengerutan adalah keadaan dimana tanah mengalami retakan–retakan, yang disebabkan oleh karena ruang atau pori tanah tersebut tidak terisi oleh air yang cukup. Pengerutan pada tanah akan mengakibatkan terjadinya pematahan pada akar tanaman.

Sifat mengembang dan mengerut tanah disebabkan oleh kandungan liat montmorillonit yang tinggi. Besarnya pengembangan dan pengerutan tanah dinyatakan dalam nilai COLE (Coefficient of Linear Extendility ) atau PVC ( Potential Volume Change = swell index = indeks pengembangan) (Hardjowigeno, 2003). Montmorilonit mengakibatkan tanah Inceptisol mempunyai sifat mengembang dan mengerut dengan penjenuhan dan pengeringan. Potensi pengembangan dan pengerutan tanah berkaitan erat dengan tipe dan jumlah liat dalam tanah. Tanah yang mengembang selalu memilki kandungan liat yang banyak, di mana mungkin saja mempunyai kemampuan yang tinggi menyimpan air, akan tetapi peredaran udara dalam tanah atau aerase tidak baik, penambahan bahan organik akan mengurangi masalah kekurangan air pada tanah berpasir. Bahan organik membantu mengikat butiran liat dan membentuk ikatan yang lebih besar sehingga memperbesar ruang-ruang udara diantara ikatan butiran .

DAFTAR PUSTAKA

Buckman and Brady. 1982. Ilmu Tanah. Bhratama Karya Aksara: Jakarta.

Fanning, D.S. dan Fanning, M.C.B. (1989). Soil Morphology, Genesis and Classification. John Wiley J Sons,Singapore.

Foth, Hendry D. 1994. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.

Hakim N., Nugroho S., Sauls., Diha M., dan Byle H. 1986. Dasar‑dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung: Lampung.

Hardjowigeno.  S., 2003. Ilmu Tanah. Penerbit Akademika Pressindo : Jakarta.

Hardiyatmo, H.C., 1999, Mekanika Tanah I, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Hendro,B. dan  Heri S. 2008. Daya Mengembang Dan Mengerut Montmorillonit I:Pengaruh Intensitas Curah-Embun Terhadap Pengolahan Tanah  Vertisol Di Kecamatan Tepus Dan Playen, Pegunungan Seribu Wonosari – Riset Laboratorium. Jurnal Agritech 28(1):1-8.

Zufialdi Z., Geni D., dan Edi T. 2007. Karakteristik Tanah Lempung  Lapukan Formasi Balikpapan  Di Samboja, Kalimantan Timur. Bulletin of Scientific Contribution. 5(3) :  209-216.

 
0

Acara 6 Pembengkakan Dan Pengkerutan Tanah (Swelling Dan Shrinkage) : Bab 1 Pendahuluan

Posted by andi telaumbanua on Jan 14, 2019 in TAnah


LAPORAN PRAKTIKUM

SIFAT ALAMI TANAH

TPT 2022

ACARA 6

PEMBENGKAKAN DAN PENGKERUTAN TANAH (SWELLING DAN SHRINKAGE)

DISUSUN OLEH :

NAMA             : Andi Saputra Telaumbanua

NIM                 : 17/413930/TP/11872

GOL                : Rabu C

PJ ACARA     : A. A. Sagung Esya M.

LABORATORIUM BIOFISIK

DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN DAN BIOSISTEM

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2018

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Lempung terbentuk dari proses pelapukan batuan silika oleh asam karbonat dan sebagian dihasilkan dari aktivitas panas bumi. Lempung membentuk gumpalan keras saat kering dan lengket saat basah terkena air. Sifat ini  ditentukan  oleh  jenis  mineral  lempung  yang  mendominasinya.  Mineral lempung digolongkan berdasarkan susunan lapisan oksida silikon dan oksida aluminium  yang  membentuk  kristalnya.  Golongan  1:1  memiliki  lapisan  satu oksida silikon dan satu oksida aluminium, sementara golongan 2:1 memiliki dua lapis golongan oksida silikon dan satu lapis oksida aluminium. Mineral lempung golongan 2:1 memiliki sifat elastis yang kuat, menyusut saat kering dan membesar saat basah. Karena perilaku inilah beberapa jenis tanah dapat membentuk kerutan- kerutan atau pecah-pecah bila kering.

Pengekerutan (shrink) dan pembengkakan (swell) terjadi di dalam tanah karena mineral lempung. Pengkerutan adalah keadaan dimana molekul air keluar dari kisi-kisi mineral lempung. Pembengkakan adalah keadaan dimana air masuk ke kisi-kisi mineral lempung. Besar kecilnya pengembangan dan pengkerutan tanah tergantung tipe  mineral lempung. Mineral lempung terdiri dari tiga komponen penting yaitu montmorillonite, illite ,dan kaolinite. Mineral montmorillonite mempunyai luas permukaan lebih besar dan sangat mudah menyerap air dalam jumlah banyak bila dibandingkan dengan mineral yang lainnya, Sehingga tanah yang mempunyai kepekaan terhadap pengaruh air ini sangat mudah mengembang. Struktur kaolinite terdiri dari  unit  lapisan  silica dan  aluminium  yang  diikat  oleh  ion  hydrogen, kaolinite  membentuk  tanah  yang  stabil  karena  strukturnya  yang  terikat  teguh mampu menahan molekul-molekul air sehingga tidak masuk kedalamnya.

Struktur illite terdiri dari lapisan-lapisan unit silica-alumunium-silica yang dipisahkan    oleh    ion    K+ yang    mempunyai    sifat    mengembang.   Struktur montmorillonite mirip dengan struktur illite, tetapi ion pemisahnya berupa ion H2O, yang sangat mudah lepas, mineral ini dapat dikatakan sangat tidak stabil pada kondisi tergenang air, air dengan mudah masuk kedalam sela antar lapisan ini sehingga mineral mengembang, pada waktu mengering, air diantara lapisan juga mengering sehingga mineral menyusut. Karena sifat-sifat tersebut montmorillonite sangat sering menimbulkan masalah pada fondasi bangunan pertanian, irigasi, erosi,dll.

Dua gaya yang  menyebkan pengkerutan yaitu gaya tegang yang berasal dari permukaan sistem udara dan air. Akibat evaporasi maka partikel tanah mejadi rapat, sehingga terjadi reorientasi butur-butir tanah. Pada proses pengkerutan volume air yang menguap sebanding dengan volume tanah yang mengkerut. Tetapi dengan adanya peristiwa dehidrasi, tanah yang sudah berhenti mengkerut akan terjadi pengkerutan kembali yang disebut shrinkage.

Pada bidang teknik pertanian dan biosistem (TPB) pemahaman terhadap peristiwa pengembangan dan pengkerutan tanah lempung sangatlah penting, seperti untuk memilih lokasi bangunan pertanian yang kecil koefisien pengembangannya (COLE) dan batas susutnya sehingga bangunan aman dari amblas, turun, akibat perubahan volume tanahl, untuk memilih lokasi sawah yang sedikit mineral montmorilonitnya sehingga susah mengkerut atau retak-retak saat musim kemarau,  serta untuk mencegah terjadinya hambatan pada saluran irigasi dan drainase akibat lumpur dan becek. Oleh karena itu dilakukan praktikum pembengkakan dan pengkerutan tanah, agar praktikan dapat menentukan koefisien pengembangan dan pengkerutan tanah.

1.2. Tujuan

 Praktikum pembengkakan dan pengkerutan tanah (swelling dan shrinkage) ini, bertujuan agar mahasiswa mampu menentukan koefisien pengembangan dan pengkerutan tanah.

 
0

Acara 6 Pembengkakan Dan Pengkerutan Tanah (Swelling Dan Shrinkage) : Bab 1 Pendahuluan

Posted by andi telaumbanua on Jan 14, 2019 in TAnah

LAPORAN PRAKTIKUM

SIFAT ALAMI TANAH

TPT 2022

ACARA 6

PEMBENGKAKAN DAN PENGKERUTAN TANAH (SWELLING DAN SHRINKAGE)

DISUSUN OLEH :

NAMA                        : Andi Saputra Telaumbanua

NIM                 : 17/413930/TP/11872

GOL                : Rabu C

PJ ACARA     : A. A. Sagung Esya M.

LABORATORIUM BIOFISIK

DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN DAN BIOSISTEM

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2018

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Lempung terbentuk dari proses pelapukan batuan silika oleh asam karbonat dan sebagian dihasilkan dari aktivitas panas bumi. Lempung membentuk gumpalan keras saat kering dan lengket saat basah terkena air. Sifat ini  ditentukan  oleh  jenis  mineral  lempung  yang  mendominasinya.  Mineral lempung digolongkan berdasarkan susunan lapisan oksida silikon dan oksida aluminium  yang  membentuk  kristalnya.  Golongan  1:1  memiliki  lapisan  satu oksida silikon dan satu oksida aluminium, sementara golongan 2:1 memiliki dua lapis golongan oksida silikon dan satu lapis oksida aluminium. Mineral lempung golongan 2:1 memiliki sifat elastis yang kuat, menyusut saat kering dan membesar saat basah. Karena perilaku inilah beberapa jenis tanah dapat membentuk kerutan- kerutan atau pecah-pecah bila kering.

Pengekerutan (shrink) dan pembengkakan (swell) terjadi di dalam tanah karena mineral lempung. Pengkerutan adalah keadaan dimana molekul air keluar dari kisi-kisi mineral lempung. Pembengkakan adalah keadaan dimana air masuk ke kisi-kisi mineral lempung. Besar kecilnya pengembangan dan pengkerutan tanah tergantung tipe  mineral lempung. Mineral lempung terdiri dari tiga komponen penting yaitu montmorillonite, illite ,dan kaolinite. Mineral montmorillonite mempunyai luas permukaan lebih besar dan sangat mudah menyerap air dalam jumlah banyak bila dibandingkan dengan mineral yang lainnya, Sehingga tanah yang mempunyai kepekaan terhadap pengaruh air ini sangat mudah mengembang. Struktur kaolinite terdiri dari  unit  lapisan  silica dan  aluminium  yang  diikat  oleh  ion  hydrogen, kaolinite  membentuk  tanah  yang  stabil  karena  strukturnya  yang  terikat  teguh mampu menahan molekul-molekul air sehingga tidak masuk kedalamnya.

Struktur illite terdiri dari lapisan-lapisan unit silica-alumunium-silica yang dipisahkan    oleh    ion    K+ yang    mempunyai    sifat    mengembang.   Struktur montmorillonite mirip dengan struktur illite, tetapi ion pemisahnya berupa ion H2O, yang sangat mudah lepas, mineral ini dapat dikatakan sangat tidak stabil pada kondisi tergenang air, air dengan mudah masuk kedalam sela antar lapisan ini sehingga mineral mengembang, pada waktu mengering, air diantara lapisan juga mengering sehingga mineral menyusut. Karena sifat-sifat tersebut montmorillonite sangat sering menimbulkan masalah pada fondasi bangunan pertanian, irigasi, erosi,dll.

Dua gaya yang  menyebkan pengkerutan yaitu gaya tegang yang berasal dari permukaan sistem udara dan air. Akibat evaporasi maka partikel tanah mejadi rapat, sehingga terjadi reorientasi butur-butir tanah. Pada proses pengkerutan volume air yang menguap sebanding dengan volume tanah yang mengkerut. Tetapi dengan adanya peristiwa dehidrasi, tanah yang sudah berhenti mengkerut akan terjadi pengkerutan kembali yang disebut shrinkage.

Pada bidang teknik pertanian dan biosistem (TPB) pemahaman terhadap peristiwa pengembangan dan pengkerutan tanah lempung sangatlah penting, seperti untuk memilih lokasi bangunan pertanian yang kecil koefisien pengembangannya (COLE) dan batas susutnya sehingga bangunan aman dari amblas, turun, akibat perubahan volume tanahl, untuk memilih lokasi sawah yang sedikit mineral montmorilonitnya sehingga susah mengkerut atau retak-retak saat musim kemarau,  serta untuk mencegah terjadinya hambatan pada saluran irigasi dan drainase akibat lumpur dan becek. Oleh karena itu dilakukan praktikum pembengkakan dan pengkerutan tanah, agar praktikan dapat menentukan koefisien pengembangan dan pengkerutan tanah.

1.2. Tujuan

 Praktikum pembengkakan dan pengkerutan tanah (swelling dan shrinkage) ini, bertujuan agar mahasiswa mampu menentukan koefisien pengembangan dan pengkerutan tanah.

 
0

Acara 5 Konsistensi Tanah Dan Angka Atterberg : Bab 3 Metodologi & Bab 4 Hasil Dan Pembahasan

Posted by andi telaumbanua on Jan 14, 2019 in TAnah

BAB III

METODOLOGI

  1. Bahan dan Alat

Pada praktikum ini, bahan yang digunakan antara lain; sampel tanah kering angin dan aqudest, serta alat tulis, form praktikum, daan buku panduan. Sampel tanah kering angin sebagai objek yang akan ditentukan konsistensinya. Aquadest untuk membasahi tanah agar mudah dibentuk jadi pasta.

Pada praktikum ini, alat yang digunakan antara lain; casagrande untuk analisis batas cair dan mengetuk tanah, spatula untuk mengambil sampel tanah dalam bentuk pasta. Timbangan  analitik untuk menimbang massa tanah, cawan sebagi wadah tempat sampel tanah. Oven untuk mengeringkan sampel tanah, mistar untuk mengukur gulungan tanah, dan kaca sebagai tempat untuk menggulung-gulung tanah jadi seperti pita.

  • Cara Kerja
  • Penentuan Batas Cair

Diambil sampel tanah kering angin dan dibuat pasta dengan ditambahkan air sedikit demi sedikit. Lalu, dimasukkan dalam mangkuk Casagrande dan digores dengan spatula / pisau yang telah disediakan sehingga terjadi alur yang membelah massa tanah tersebut. Kemudian diputar pengumpil pada alat sehingga terjadi beberapa ketukan sampai massa tanah tersebut alurnya tertutup kembali. Pada saat inilah terjadi batas cair, lalu diambil sampel tanah tersebut sebanyak 5 gram dan dimasukkan ke dalam oven untuk dianalisa kcmadar airnya. Kemudian, diulangi lagi untuk ulangan kedua.

  • Penentuan Batas Plastis

Diambil sampel tanah kering angin dan dibuat pasta dengan ditambahkan air sedikit demi sedikit,  sehingga menjadi pasta. Kemudian diambil contoh tanah yang sudah jadi pasta tersebut daan digulung – gulungkan diatas kaca yang tersedia, sampai gulungan tersebut retak, berdiameter 3,2 mm. Pada keadaan inilah terjadi batas plastis, kemudian diambil contoh tanahnya sebanyak 5 gram dan dimasukkan ke dalam oven untuk dianalisa kadar airnya. Kemudian, diulangi lagi untuk ulangan kedua.

  • Penentuan Batas Lekat

Diambil pasta tanah dari acara batas cair tadi, kemudian digumpalkan dalam tangan dan ditusukkan colet kedalamnya sedalam  2,5 cm dengan kecepatan 1 cm/detik. Dapat juga dijalankan dengan digumpal massa tanah dengan ujung colet sepanjang 2,5 cm ada di dalamnya dan kemudian colet ditarik secepat 0,5 cm/detik. Kemudian diamati sampel tanah yang lengket pad permukaan colet (jik suspensi melekat maka tanah lebih basah dari batas lekat dan jika bersih tanah lebih kering dari batas lekat). Suspense tanah yanag lengket seperti dempul sepanjang kira – kira 1/3 x dlamnya penusukkan (0,8 cm), maka diambil suspense sekitar tusukan sebanyak 5 gram dan dimasukkan ke dalam oven untuk dianalisa kadar airnya. Kemudian, diulangi lagi untuk ulangan kedua.

  • Cara Analisa Data
  • Penentuan Batas Cair
  • Penentuan Batas Plastis
  • Regressi Linear

 log N

 = rata-rata log KL

 = rata-rata log N

Gambar 3. 1 Grafik log N vs log KL

  • Penentuan Batas Lekat
  • Jangka Olah
  • Inddeks Plastis

Keterangan;

a = berat cawan kosong

b =  berat cawan + tanah sebelum dioven

c = berat cawan + tanah kering

N = jumlah ketukan

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil dan Analisa Data

Berdasarkan pengamatan pada praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut;

4.1.1. Penetapan batas cair

Tabel  4.1. Hasil pengamatan penentuan batas cair
Tanah Jumlah Ketukan Nomor cawan a (gr) b (gr) c (gr) KL (%) BC (%) Rata-rata (%)
A 10 1 7,5 12,5 10,93 45,77 40,96 39,475
34 2 6,02 11,02 9,68 36,61 37,99
B 15 1 7,85 19,9 15,43 58,97 55,43 46,905
38 2 7,9 12,8 11,49 36,49 38,38
  Contoh perhitungannya: BC tanah A untuk N = 10 0,4577 BC tanah B untuk N = 15 0,5897   Tabel 4.2. Hasil analisis regresi untuk batas cair  
No N Nomor Cawan Log N = x KL xy X^2 Log KL = y  
1 10 1 1 0,4577 -0,3394 1 -0,33942  
2 34 2 1,531479 0,3661 -0,6683 2,345428 -0,4364  
3 15 1 1,176091 0,5897 -0,2698 1,383191 -0,22937  
4 38 2 1,579784 0,3649 -0,6917 2,495716 -0,43783  
Jumlah 5,287354 1,7784 -1,9692 7,224335 -1,44301  
Rata – rata 1,321838 0,4446 -0,4923 1,806084 -0,36075  

Contoh perhitungannya, untuk N = 10

 log N = log (10) = 1

Maka ;

Tabel 4.3. Hasil pengamatan penentuan batas lekat
Tanah Nomor Cawan a (gr) b (gr) c (gr) BL (%)
A 3 6,02 11,02 9,68 36,61
B 3 7,9 12,8 11,49 36,49
Rata – rata 36,55
Kriteria saat pelan Ada tanah yang lengket, lebih sedikit dari yang cepat
Kriteria saat cepat Ada tanah yang lengket,sedikit, lebih banyak dari yang pelan

Contoh perhitungannya, untuk tanah A

Contoh perhitungannya, untuk tanah B

Tabel 4.4  Hasil pengamatan penentuan batas plastis
Tanah Nomor Cawan a (gr) b (gr) c (gr) BP (%)
A 4 8,14 13,14 11,72 39,66
B 4 8,78 13,8 12,52 34,22
Rata – rata 36,94

Contoh perhitungannya, untuk tanah A

Contoh perhitungannya, untuk tanah B

Tabel  4.5 Hasil perhitungan
Tanah N KL (%) BC (%) Rata -rata BC (%) BL (%) BP (%) JO (%) IP (%) Regresi Linear
a b y = ax + b
A 10 45,77 40,96 39,48 36,6 39,66 -3,05 -0,185 0,00015 -0,273 y = 0,00015 x – 0,273
34 36,61 37,99
B 15 58,97 55,43 46,91 36,5 34,22 2,27 12,685
38 36,49 38,38
Rata – rata 44,46 43,19 43,19 36,6 36,94 -0,39 6,25

Gambar 3. 1 Grafik log N vs log KL

BAB V

PENUTUP

  1. Kesimpulan

Berdasarkan praktikum dan pembahasan serta analisa data yang telah dilakukan yang telah dilakukan  diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

  1. Konsistensi tanah merupakan sifat fisik tanah yang menunjukan derajat adhesi dan kohesi dari zarah-zarah tanah pada berbagai tingkat kelengasan. Sifat fisik yang ditunjukan pada konsistensi adalah keteguhan (friability), keliatan (plasticity), dan kelekatan (stickyness). Dalam keadaan lembab, tanah dibedakan ke dalam konsistensi gembur ( mudah diolah ) sampai teguh ( agak sulit dicangkul). Dalam keadaan kering tanah dibedakan kedalam konsistensi lunak sampai keras. Dalam keadaan basa dibedakan plastisitasnya yaitu dari plastis sampai tidak plastis atau kelekatannya yaitu dari tidak lekat sampai lekat.
  2. Sampel tanah yang diamati memiliki : Batas cair = 43,19 %, batas lekat = 36,6 %, dan batas plastisnya = 36,94 %
  3. Sampel tanah yang diamati memiliki : jangka olah = – 0,39 % dan indeks plastisnya =  6,25 % keduanya kategori rendah, berarti tanah sangat sukar untuk diolah.
  4. Saran

Praktikumnya menggunakan lebih banyak lapisan tanah dari berbagai lapisan agar dapat dibedakan antara lapisan/tanah yang satu dengan yang lainnya. Laporannya dalam bentuk file saja agar menghemat kertas, uang, dan mendukung kelestarian alam (1000 lembar kertas yang digunakan setara dengan 1 pohon ditebang, jika sebuah organisasi terdiri dari 100 orang dapat menghemat 3 lembar kertas setiap hari, maka dalam setahun ada 156 batang pohon yang dapat diselamatkan).

 
0

Acara 5 Konsistensi Tanah Dan Angka Atterberg : Bab 2 Tinjauan Pustaka

Posted by andi telaumbanua on Jan 14, 2019 in TAnah

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsistensi Tanah

Konsistensi tanah merupakan sifat fisik tanah yang menunjukan derajat adhesi dan kohesi dari zarah-zarah tanah pada berbagai tingkat kelengasan. Sifat fisik yang ditunjukan pada konsistensi adalah keteguhan (friability), keliatan (plasticity), dan kelekatan (stickyness). Penentuan nilai konsistensi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kualitatif dan kuantitatif, dengan pendekatan angka Atterberg yaitu batas cair (BC), batas gulung (BG), batas lekat (BL), dan batas berubah warna (BBW). Angka-angka Atterberg mempunyai hubungan antara kadar lengas (%) dan konsistensi tanah (Handayani, 2009).

Konsistensi tanah dapat ditetapkan secara langsung di laboratorium berdasarkan angka-angka Atterberg. Angka Atterberg adalah persentase berat lengas tanah yang diukur pada saat tanah mengalami perubahan konsistensi.

Tabel 2.2. Evaluasi Angka-Angka Atterberg

JenisPlastisitas (BC-BG) (%)Jangka olah (BL-BG) (%)Batas mengalir (BC-BBW) (%)
Sangat rendah0-51-3< 20
Rendah6-104-821-30
Sedang11-179-1531-45
Tinggi18-3016-2546-70
Sangat tinggi31-4326-4071-100
Ekstrim tinggi> 43>40>100

(Hardjowigeno, 2007)

Konsistensi tanah merupakan kekuatan daya kohesi butir – butir tanah atau daya adhesi butir – butir tanah dengan benda lain. Hal ini ditunjukan oleh daya tahan tanah terhadap gaya yang akan mengubah bentuk. Tanah yang memilki konsistensi yang baik umumnya mudah diolah dan tidak melekat pada alat pengolah tanah. Oleh karena tanah dapat ditemukan dalam keadaan lembab, basah atau kering maka penyifatan konsistensi tanah harus disesuaikan dengan keadaan tanah tersebut (Rahayu dkk., 2014).

Dalam keadaan lembab, tanah dibedakan ke dalam konsistensi gembur ( mudah diolah ) sampai teguh ( agak sulit dicangkul). Dalam keadaan kering tanah dibedakan kedalam konsistensi lunak sampai keras. Dalam keadaan basa dibedakan plastisitasnya yaitu dari plastis sampai tidak plastis atau kelekatannya yaitu dari tidak lekat sampai lekat. Dalam keadaan lembab atau kering konsistensi tanah ditentukan dengan meremas segumpal tanah. Bila gumpalan tersebut mudah hancur, maka tanah dikatakan berkonsistensi gembur bila lembab atau lunak bila kering. Bila gumpalan tanah sukar hancur dengan remasan tersebut tanah dikatakan berkonsistensi teguh (lembab) atau keras (kering).

Dalam keadaan basah ditentukan mudah tidaknya melekat pada jari (melekat atau tidak melekat) atau mudah tidaknya membentuk bulatan dan kemampuannya mempertahankan bentuk tersebut (plastis atau tidak plastis). Konsistensi merupakan bagian dari rheologi. Rheologi adalah ilmu yang mempelajari perubahan–perubahan bentuk (deformasi) dan aliran (flow) suatu benda (Baver, 1959). Sifat–sifat rheologi tanah di pelajari dengan menentukan angka–angka Atterbarg yaitu angka–angka kadar air tanah pada beberapa macam keadaan. Angka–angka ini penting dalam menentukan tindakan pengolahan tanah, karena pengolahan tanah akan sulit dilakukan kalau tanah terlalu kering ataupun terlalu basah. Sifat–sifat tanah yang berhubungan dengan angka Atterberg tersebut adalah:

Batas mengalir adalah jumlah air terbanyak yang dapat ditahan tanah. Kalau air lebuh banyak tanah bersama air akan mengalir. Dalam hal ini tanah diaduk dulu dengan air sehingga tanah bukan dalam keadaan alami. Hal ini berbeda dengan istilah kapasitas lapang (field capacity) yang menunjukan jumlah air terbanyak yang dapat ditahan dalam keadaan alami atau undisturbed. Batas melekat adalah kadar air di mana tanah mulai tidak dapat melekat pada benda lain. Bila kadar air lebih rendah dari batas melekat , maka tanah tidak dapat melekat, tetapi bila kadar air lebih tinggi dari batas melekat, maka tanah akan mudah melekat pada benda lain. Bila tanah yang telah mencapai batas mengalir atau batas melekat tersebut dapat membentuk gulungan atau pita yang tidak mudah patah bila digolek–golekkan maka dikatakan bahwa tanah itu plastis. Bila tanah tidak dapat dibentukpita atau gulungan (selalu patah–patah) maka disebut tidak palsti.

Batas menggolek. Batas menggolek adalahn kadar air dimana gulungan tanah mulai tidak dapat digolek–golekkan lagi. Kalau digolek–golekkan tanah akan pecah–pecah ke segala jurusan. Pada kadar air lebih kecil dari batas menggolek tanah sukar diolah. Indeks Plastisitas (plasticity index). Indeks plastisitas menunjukan perbedaan kadar air pada batas mengalir dengan batas menggolek. Tanah–tanah liat umumnya mempunyai indeks plastisitas yang tinggi sedang tanah–tanah pasir mempunyai indeks plastisitas yang rendah. Jangka olah menunjukan besarnya perbedaan kandungan air pada batas menggolek dengan melekat. Tanah dengan jangka olah yang rendah merupakan tanah yang lebih sukar diolah daripada tanah yang memilki jangka olah yang tinggi. Bila jangka olahnya sama, tanah lebih sukar diolah bila indeks plastisitasnya rendah (Hendro, 2014).

Tingkat plastisitasyaitu menunjukan kemampuan tanah membentuk gulungan, ini dibagi 4 kategori berikut:

(1)    Tidak plastis (Nilai 0): yaitu dicirikan tidak dapat membentuk gulungan tanah

(2)    Agak plastis (Nilai 1): yaitu dicirikan hanya dapat dibentuk gulungan tanah kurang dari 1 cm

(3)    Plastis (Nilai 2): yaitu dicirikan dapat membentuk gulungan tanah lebih dari 1 cm dan diperlukan sedikit tekanan untuk merusak gulungan tersebut

(4)    Sangat plastis (Nilai 3): yaitu icirikan dapat membentuk gulungan tanah lebih dari 1 cm dan diperlukan tekanan besar untuk merusak gulungan tersebut

Pada kondisi kadar air tanah sekitar kapasitas lapang, konsistensi dibagi 6 kategori sebagai berikut:

(1)   Lepas (Nilai 0): yaitu dicirikan tanah tidak melekat satu sama lain atau antar butir tanah mudah terpisah (contoh: tanah bertekstur pasir)

(2)   Sangat gembur (Nilai 1): yaitu dicirikan gumpalan tanah mudah sekali hancur bila diremas

(3)   Gembur (Nilai 2): yaitu dicirikan dengan hanya sedikit tekanan saat meremas dapat menghancurkan gumpalan tanah

(4)   Teguh/Kokoh (Nilai 3): yaitu dicirikan dengan dperlukan tenaga agak kuat saat meremas tanah tersebut agar dapat menghancurkan gumpalan tanah

(5)   Sangat teguh/kokoh (Nilai 4): yaitu dicirikan dengan diperlukannya tekanan berkali-kali saat meremas tanah agar dapat menghancurkan gumpalan tersebut

(6)   Sangat teguh sekali (Nilai 5): yaitu dicirikan dengan tidak hancurnya gumpalan tanah meskipun sudah ditekan berkali-kali saat meremas tanah dan bahkan diperlukan alat bantu agar dapat menghancurkan gumpalan tanah tersebut

Penetapan konsistensi tanah pada kondisi kadar air tanah kering udara, ini dibagi 6 kategori sebagai berikut:

(1)               Lepas (Nilai 0): yaitu dicirikan butir-butir tanah mudah dipisah-pisah atau tanah tidak melekat satu sama lain (misalnya tanah bertekstur tanah)

(2)               Lunak (Nilai 1): yaitu dicirikan gumpalan tanah mudah hancur bila diremas atau tanah berkohesi lemah dan rapuh, sehingga jika ditekan sedikit saja atau mudah hancur

(3)               Agak keras (Nilai 2): yaitu dicirikan gumpalan tanah baru akan hancur jika diberi tekanan pada remasan atau jika hanya mendapat tekanan jari-jari tangan saja belum mampu menghancurkan gumpalan tanah

(4)               Keras (Nilai 3): yaitu dengan makin susah untuk menekan gumpalan tanah dan makin sulitnya gumpalan untuk hancur atau makin diperlukannya ekanan yang lebih kuat untuk dapat menghancurkan gumpalan tanah

(5)               Sangat keras (Nili 4): yaitu dicirikan dengan diperlukan tekanan yang lebih kuat lagi untuk dapat menghancurkan gumpalan tanah atau gumpalan tanah makin sangat sulit ditekan dan sangat sulit untuk hancur

(6)               Sangat keras sekali (Nilai 5): yaitu dicirikan dengan di pelukannya tekanan yang sangat besar sekali agar dapat menghancurkn gumpalan tanah atau gumpalan tanah baru bisa hancur dengan menggunaka alat bantu (pemukul)

2.2. Batas Plastis

Plastisitas adalah kemampuan butir-butir tanah halus untuk mengalami  perubahan  bentuk  tanpa  terjadi  perubahan  volume  atau pecah. Tidak semua jenis tanah mempunyai sifat plastis. Tanah yang didominasi oleh mineral pasir kuarsa dan pasir lainnya tidak mempunyai sifat plastis walaupun ukuran partikelnya halus dan berapapun banyaknya air ditambahkan. Semua mineral liat, mempunyai sifat plastis dan dapat digulung mejadi benang/ulir tipis pada kadar air tertentu tanpa menjadi hancur. Pada kenyataannya, semua tanah berbutir halus mengandung sejumlah liat, maka kebanyakan tanah tersebut adalah plastis. Dalam hal ini, tingkat plastisitas dapat juga dikatakan sebagai suatu indeks umum untuk menggambarkan kandungan liat dari suatu tanah (Sutono dkk., 2006).

Batas plastis (Bp) adalah kadar air saat perubahan kondisi tanah dari plastis menjadi semiplastis. Batas ini dicapai ketika tanah tidak lagi lentur dan menjadi hancur di bawah tekanan. Antara batas cair dan batas plastis disebut range of plasticity. Perbedaan kuantitatif kadar air antara dua batas ini disebut indeks plastisitas (IP). Ini menggambarkan cakupan kadar air ketika tanah dalam kondisi plastis.

Tanah mengandung sedikit liat dikatakan agak plastis, sedangkan tanah banyak mengandung liat disebut sangat plastis. Dalam praktek, perbedaan plastisitas ditentukan oleh keadaan fisik tanah melalui perubahan kadar air. Batas antara perbedaan kondisi plastis berdasarkan kadar air tersebut disebut batas konsistensi atau batas atterberg. Jadi, konsistensi tanah diartikan sebagai kondisi fisik dari butiran halus tanah pada kondisi kadar air tertentu (Sutono dkk., 2006).

Penetapan plastisitas tanah khususnya diarahkan untuk mengetahui berat atau ringannya pengolahan tanah, terutama jika dilakukan menggunakan mesin pengolah tanah, seperti traktor. Prinsip analisis apabila kumpulan butiran tanah halus dalam kondisi kering diperlakukan dengan penambahan kadar air, maka air akan menyelimuti butiran tersebut,  dan  secara berurutan  kondisinya  akan  berubah dari padat menjadi semiplastis, kemudian menjadi plastis, dan selanjutnya menjadi cair. Dengan mengamati secara visual terhadap contoh tanah yang mengandung butiran halus tersebut diperlakukan, akan dapat disimpulkan bahwa tanah tersebut plastis atau tidak. Jadi, sebenarnya tujuan dari penentuan plastisitas tanah adalah untuk menentukan dua kondisi sifat tanah utama, yaitu batas cair dan batas plastis (Sutono dkk., 2006).

Pada awal abad 19, seorang ahli tanah asal Swedia, yaitu atterberg melakukan satu pengujian untuk menentukan konsistensi butir- butir  tanah  halus,  yang  membagi butir  tanah  halus  ke  dalam  empat kondisi, yaitu padat, semiplastis, plastis, dan cair. Atterberg juga mengelompokkan sifat kondisi tanah yang dipengaruhi oleh kadar air ke dalam tiga kategori yaitu batas cair, batas plastis, dan batas mengkerut. Indeks yang berubah-ubah ini telah disepakati untuk mendefinisikan plastisitas tanah, yaitu batas cair (Bc), batas plastis (Bp), dan indeks plastisitas (IP). Batas ini menyatakan secara kuantitatif pengaruh perbedaan kadar air terhadap konsistensi dari butiran tanah halus, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.1. Pengelompokan tanah berdasarkan pada grafik plastisitas ini dikembangkan oleh casagrande.

Gambar 2.1. Hubungan antara kondisi tanah dan angka atterberg (Hardiyatmo, 1999)

Gambar 2.2. Batas-batas atterberg

Batas plastis dari gaya kohesif tanah adalah kandungan air tanah minimum yang ditetapkan secara gravimetrik, dinyatakan dalam persen, merupakan  kadar  air  tanah  pada  batas  perubahan  dari  agak  padat menjadi plastis pada tanah dalam bentuk benang remah setebal 3,2 mm. Ketika benang tanah dilengkungkan menjadi patah, menunjukkan tanda- tanda tanah dalam keadaan remah. Tanah tanpa drainase mempunyai gaya kohesif tanah dengan konsistensi setara 170 kPa. Batas plastis ditetapkan dengan metode casagrande. Prosedurnya sebagai berikut;

1.        Contoh  tanah  kering  udara  berukuran  <2  mm,  sebanyak  15  g diletakkan di atas lempeng kaca, kemudian dicampur dengan air dan diaduk secara merata.

2.        Setelah air dan tanah tercampur rata, gosok tanah menggunakan telapak tangan untuk membentuk benang tanah setebal 3,2 mm sampai menunjukkan tanda-tanda remah.

3.        Benang  tanah  sebanyak  8  g  dipotong-potong  menjadi  beberapa bagian,  dimasukkan ke  dalam  cawan  aluminium  untuk  ditetapkan kadar airnya.

4.        Ulangi pekerjaan 1 – 3 sebanyak tiga kali, agar diperoleh nilai rata- rata kadar air tanah, sehingga diperoleh nilai batas plastis (Bp).

(Sutono dkk., 2006).

Tabel 2.1. Kelas indeks plastisitas

2.3. Batas Cair

Batas cair (Bc) adalah kadar air saat tanah berubah dari kondisi cair menjadi bahan yang plastis, atau kadar air yang sesuai dengan batas yang disepakati antara kondisi cair dan plastis dari kekentalan atau konsistensi suatu tanah. Di atas nilai tersebut, tanah dianggap menjadi cairan dan bersifat seperti mengalir dengan bebas di bawah pengaruh beratnya sendiri. Di bawah nilai ini, tanah berubah bentuk karena pengaruh  tekanan  tanpa  menjadi  hancur,  dan  tanah  memperlihatkan suatu keadaan plasti (Sutono dkk., 2006).

Sejak awal dikembangkannya pada tahun 1950-an dan 1960-an oleh Drucker dan Prager, teori plastisitas telah menjadi suatu kerangka kerja  untuk  modeling  sifat  ketidak  elastisan  tanah.  Saat  ini,  telah mendapat perhatian dan dukungan yang lebih luas. Angka  atterberg  oleh  American  Society  for  Testing  Material (ASTM) juga telah dijadikan dasar dalam pembuatan gaya kohesif tanah untuk pengembangan mesin-mesin pengolah tanah. Di sisi lain, angka atterberg telah digunakan sebagai dasar pembuatan klasifikasi gaya kohesif tanah untuk mekanisasi pertanian, dan juga banyak dimanfaatkan untuk interpretasi ketahanan geser tanah, bearing capacity, pemampatan, dan potensi mengembang (Drucker et al., 1957).

Jika kadar air tanah melampau batas plastis, maka tanah akan mencapai batas cair. Batas cair dapat ditetapkan menggunakan metode casagrande atau drop cone penetrometer. Prosedurnya sebagai berikut.

1.         Butiran tanah kering udara berukuran < 2 mm ditimbang kira-kira sebanyak 100 g, kemudian dicampur dengan air destilasi 15-20 ml, diaduk merata sehingga berbentuk pasta.

2.         Masukkan pasta tanah ke dalam mangkuk pada perangkat ketuk, permukaan tanah  diratakan agar  ketebalan pasta  sekitar 13  mm, kemudian buatlah alur tegak lurus dengan permukaan mangkuk menggunakan alat pembuat alur agar pasta tanah terbagi dua sama besar.

3.         Putar engkol perangkat ketuk dengan kecepatan 2 ketuk per detik sampai alur tertutup menjadi selebar 13 mm. Catat jumlah putaran (N) untuk mencapai penutupan alur menjadi 13 mm.

4.         Ambil pasta tanah  yang  telah diketuk, kemudian ditimbang 10  g, masukan  ke  dalam  cawan  aluminium,  selanjutnya  masukkan  ke dalam oven dengan suhu 105 oC untuk mengetahui kandungan airnya

5.         Bersihkan mangkuk pada perangkat ketuk  dan keringkan, setelah kering pekerjaan selanjutnya dapat diteruskan untuk contoh tanah berikutnya.

6.         Ulangi pekerjaan 1 – 5, sehingga diperoleh jumlah N yang sama. Perbedaan jumlah N disebabkan tidak sempurnanya dalam pembuatan adonan (pencampuran air dengan tanah). Jumlah ketukan (N) sekitar 25, sebaiknya jumlah ketukan tidak lebih dari 35 dan tidak kurang dari 15.

(Sutono dkk., 2006).

2.4. Batas Kerut (Bk)

Untuk mengetahui kemampuan mengembang dan mengkerutnya suatu tanah perlu ditetapkan batas kerut (Bk). Prosedurnya  sebagai berikut:

1.       Tanah kering yang berada di dalam desikator dikeluarkan dan segera ditimbang.

2.       Masukkan air raksa ke dalam bejana sampai penuh dan meluap, bagian dinding luarnya dibersihkan dari sisa-sisa air raksa, kemudian tempatkan di atas bejana lainnya yang ukurannya lebih besar.

3.       Siapkan gumpalan  tanah  di  atas  lempeng kaca  yang  terikat  erat dengan garpu agar tidak jatuh ketika diletakkan ke dalam bejana berisi air raksa.

4.       Tutup bejana air raksa dengan lempeng kaca bertanah, permukaan bejana rapat dengan permukaan kaca bertanah sampai tidak ada udara dapat masuk ke dalam bejana air raksa. Tempatkan bagian yang ada tanahnya di sebelah bawah. Air raksa yang meluap akan ditampung dalam bejana yang lebih besar.

5.       Air raksa yang meluap dan masuk ke dalam bejana yang lebih besar ditimbang untuk diketahui bobotnya (Sutono dkk., 2006).

2.5.Tanah Lempung

Tanah lempung merupakan agregat partikel-partikel berukuran mikroskopik dan submikroskopik yang berasal dari pembusukan kimiawi unsur-unsur penyusun batuan, dan bersifat plastis dalam selang kadar air sedang sampai luas. Dalam keadaan kering sangat keras, dan tak mudah terkelupas hanya dengan jari tangan. Selain itu, permeabilitas lempung sangat rendah. Sifat khas yang dimiliki oleh tanah lempung adalah dalam keadaan kering akan bersifat keras, dan jika basah akan bersifat lunak plastis, dan kohesif, mengembang dan menyusut dengan cepat, sehingga mempunyai perubahan volume yang besar dan itu terjadi karena pengaruh air (Markus dkk., 2015).

Tanah lempung lunak mempunyai karakteristik yang khusus diantaranya kemampatan yang tinggi, indeks plastisitas yang tinggi, kadar air yang relatif tinggi, dan mempunyai gaya geser yang kecil. Sifat-sifat yang dimiliki tanah lempung adalah sebagai berikut :

a. Ukuran butir halus, kurang dari 0,002 mm.

b. Permeabilitas rendah.

c. Kenaikan air kapiler tinggi.

d. Bersifat sangat kohesif.

e. Kadar kembang susut yang tinggi.

Konsistensi dari tanah lempung dan tanah kohesif lainnya sangat dipengaruhi oleh kadar air. Indeks plastisitas dan batas cair dapat digunakan untuk menentukan karateristik  pengembangan.  Karakteristik  pengembangan  hanya dapat diperkirakan dengan menggunakan indeks plastisitas. Dikarenakan  sifat  plastis  dari suatu  tanah  adalah  disebabkan  oleh  air  yang terserap disekeliling permukaan partikel lempung, maka dapat diharapkan bahwa tipe dan   jumlah   mineral   lempung   yang   dikandung   didalam   suatu   tanah   akan mempengaruhi batas plastis dan  batas cair  tanah yang bersangkutan.

Menurut  Bowles  (1989),  mineral-mineral  pada  tanah  lempung  umumnya memiliki sifat-sifat:

1.  Hidrasi.

Partikel mineral lempung   biasanya bermuatan negatif sehingga partikel lempung  hampir  selalu  mengalami  hidrasi,  yaitu  dikelilingi  oleh  lapisan- lapisan  molekul  air yang disebut  sebagai  air teradsorbsi.  Lapisan  ini pada umumnya mempunyai tebal dua molekul karena itu disebut sebagai lapisan difusi ganda atau lapisan ganda. Lapisan difusi ganda adalah lapisan  yang dapat menarik molekul air atau kation disekitarnya. Lapisan ini akan hilang

pada   temperatur   yang   lebih   tinggi   dari   600    sampai   1000C   dan   aka n mengurangi  plasitisitas  alamiah, tetapi sebagian  air juga dapat menghilang cukup dengan pengeringan udara saja.

2.   Aktivitas.

Hasil  pengujian  index  properties  dapat  digunakan  untuk  mengidentifikasi tanah ekspansif. Aktivitas tanah lempung sebagai perbandingan antara Indeks Plastisitas (IP) dengan prosentase   butiran yang lebih kecil dari 0,002 mm Untuk   nilai   A>1,25   digolongkan   aktif   dan   sifatnya   ekspansif.   Nilai   A 1,25<A<A<0,75  digolongkan  normal  sedangkan  nilai  A<0,75  digolongkan tidak aktif. Aktivitas juga berhubungan dengan kadar air potensial relatif. Nilai- nilai khas dari aktivitas dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.2. Aktivitas tanah lempung

3.      Flokulasi dan Dispersi.

Apabila   mineral   lempung   terkontaminasi   dengan   substansi   yang   tidak mempunyai  bentuk  tertentu   atau  tidak  berkristal  maka  daya  negatif  netto, ion- ion  H+ dari  air gaya  Van der Waals  dan  partikel  berukuran  kecil   akan bersama-sama  tertarik dan bersinggungan  atau  bertabrakan  di dalam larutan tanah dan air. Beberapa  partikel  yang tertarik akan membentuk  flok (flock) yang berorientasi secara acak atau struktur yang berukuran lebih besar akan turun  dari  larutan  itu  dengan  cepatnya  membentuk  sedimen  yang  lepas. Flokulasi adalah peristiwa   penggumpalan   partikel lempung di dalam larutan air  akibat  mineral  lempung  umumnya  mempunyai  pH>7.  Flokulasi  larutan dapat dinetralisir dengan menambahkan bahan-bahan yang mengandung asam (ion  H+),    sedangkan   penambahan   bahan-bahan  alkali  akan   mempercepat flokulasi.  Untuk  menghindari  flokulasi  larutan  air  dapat  ditambahkan  zat asam.

4.   Pengaruh Zat cair

Fase air yang berada di dalam struktur tanah lempung adalah air yang tidak murni secara kimiawi. Pada pengujian di laboratorium untuk batas Atterberg, ASTM menentukan bahwa air suling ditambahkan sesuai dengan keperluan. Pemakaian air suling yang relatif bebas ion dapat membuat hasil yang cukup berbeda dari apa yang didapatkan dari tanah di lapangan dengan air yang telah terkontaminasi.

Air  yang  berfungsi  sebagai  penentu  sifat  plastisitas  dari  lempung.  Satu molekul air memiliki muatan positif dan muatan negative pada ujung yang berbeda (dipolar). Fenomena hanya terjadi pada air yang molekulnya dipolar dan tidak terjadi pada cairan yang tidak dipolar seperti karbon tetrakolrida (Ccl4) yang jika dicampur lempung tidak akan terjadi apapun.

5.   Sifat kembang susut (swelling potensial)

Plastisitas yang tinggi terjadi akibat adanya perubahan syistem tanah dengan air yang mengakibatkan terganggunya keseimbangan gaya-gaya didalam struktur tanah. Gaya tarik yang bekerja pada partikel yang berdekatan yang terdiri dari gaya elektrostatis yang bergantung pada komposisi mineral, serta gaya van der Walls yang bergantung pada jarak antar permukaan  partikel. Partikel  lempung pada umumnya berbentuk  pelat pipih dengan  permukaan bermuatan likstik  negatif  dan  ujung-ujungnya  bermuatan   posistif.  

Muatan negatif ini diseimbangkan oleh kation air tanah yang terikat pada permukaan pelat oleh suatu gaya listrik. Sistem gaya internal kimia-listrik ini harus dalam keadaan seimbang  antara  gaya  luar  dan  hisapan  matrik.  Apabila  susunan  kimia  air  tanah berubah sebagai akibat adanya perubahan komposisi maupun keluar masuknya air tanah, keseimbangan gaya–gaya dan jarak antar partikel akan membentuk keseimbangna  baru.  Perubahan  jarak  antar  partikel  ini  disebut  sebagai  proses kembang susut. Tanah-tanah yang banyak mengandung lempung mengalami perubahan volume ketika kadar air berubah. Perubahan itulah yang membahayakan  bagunan. Tingkat pengembangan secara umum bergantung pada beberapa faktor  yaitu:

1.    Tipe dan jumlah mineral yang ada di dalam tanah dan kadar air.

3.    Susunan tanah dan konsentrasi garam dalam air pori.

4.    Sementasi dan adanya bahan organik, dll.

DAFTAR PUSTAKA

Baver, L.D. 1959. Soil Physics. New York . John Wiley and Sons, inc.

Bowles, E.J. 1989. Sifat-sifat Fisis dan Geoteknis Tanah. Jakarta. PT. Erlangga.

Drucker, D. C, R. E. Gibson, and D. J. Henkel. 1957. Soil mechanics and work hardening theories of plasticity. Trans. ASCE. 122:338–346.

Handayani, S. 2009. Panduan Praktikum dan Bahan Asistensi Dasar-dasar Ilmu Tanah. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta.

Hardiyatmo, H.C., 1999, Mekanika Tanah I, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Hardjowigeno, S. 2007. Ilmu Tanah. Jakarta. Akademika Pressindo.

Hendro, M . 2014. Fisika Tanahhttp://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/LAI NNYA/HENDRO_MURTIANTO/09 _Fisika_tanah.pdf .  Diakses pada tanggal 30 Oktober 2018.

Markus M., Iswan, dan Muhammad J. 2015. Hubungan Batas Cair dan Plastisitas Indeks Tanah Lempung yang Distabilisasi dengan ISS 2500 Terhadap Nilai Kohesi pada Uji Geser Langsung dan Uji Tekan Bebas. Jurnal Rekayasa Sipil dan Desain 3(2) : 280.

Rahayu, A., Sri R.,  dan  Mochtar L. 2014. Karakteristik Dan Klasifikasi Tanah Pada Lahan Kering Dan Lahan Yang Disawahkan Di Kecamatan Perak Kabupaten Jombang . Jurnal Tanah dan Sumberdaya Lahan 1(2): 81.

Sutono, S., Maswar, dan Yusrial. .2006. Penetapan Tekstur Tanah . http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/ind/dokumentasi/buku/buku%20sifat%20fisik%20tanah/05penetapan_tektur_tanah.pdf?secure=true . Diakses pada tanggal 30 Oktober 2018.

Copyright © 2024 All rights reserved. Theme by Laptop Geek.