Posted by andi telaumbanua on Jan 15, 2019 in TAnah
BAB III METODE PRAKTIKUM 3.1. Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada praktikum acara I ini adalah:
Mesin pengupas gabah (Husker)
Mesin penyosoh beras (Polisher)
Mesin rice grader
Alat uji keretakan beras
Timbangan analitik
Colormeter Bahan yang digunakan: Gabah kering Form praktikum, alat tulis, dan buku penduan Plastik kantongan Cara Kerja
Proses Pengupasan Sekam (Penggilingan) Cara kerja yang dilakukan pada pengupasan sekam yaitu; gabah sebanyak 1000 gram ditimbang dengan 3 kali ulangan. Proses husking 1 dilakukan dengan menggunakan mesin pengupas (husker). Setelah proses husking berjalan lancar, dilakukan penyamplingan, yaitu selama 0,25 menit (t1) hasil pengupasan berupa beras pecah kulit dan sekam pada ember/baskom ditampung. Dari hasil penampungan tersebut, beras pecah kulit dan sekam dipisahkan. Kemudian berat beras pecah kulit dan beras sekam ditimbang. Kemudian diulangi untuk husking sebanyak dua kali, kemudian dihitung kapasitas pengupasan, lalu dibandingkan dengan husking 1 kali. Kemudian langkah diatas diulang untuk husking sebanyak 3 kali, lalu dihitung kapasitas pengupasannya lagi, dan dibandingkan dengan husking 1 kali dan husking 2 kali.
Proses Penyosohan (Pemutihan) Cara kerja yang dilakukan pada penyosohan (pemutihan) yaitu; beras pecah kulit ditimbang sebanyak 500 gram dengan 3 perlakuan (10 detik, 20 detik, 30 detik). Warna (LAB) diukur dengan menggunakan colormeter pada tiap perlakuan (sebagai analisis warna sebelum penyosohan) sebanyak 3 kali ulangan. Sampel beras pecah kulit 500 gram yang telah ditimbang dimasukkan kedalam mesin penyosoh (polisher) dengan variasi waktu (10 detik, 20 detik, dan 30 detik) dan variasi beban 3 lb. Hasil penyosohan berupa beras putih dan bekatul ditampung. Lalu, massa beras putih dan massa bekatul ditimbang. Kemudian diukur LAB beras putih pada tiap perlakuan (sebagai analisis warna setelah penyosohan) sebanyak 3 kali ulangan.
Proses Pemisahan Mekanis Cara kerja yang dilakukan pada pemisahan mekanis yaitu; beras putih hasil penyosohan seberat 100 gram ditimbang. Lalu, beras putih dimasukkan ke alat pemisah (grader) untuk memisahkan antara beras kepala (utuh), beras patah dan beras menir. Kemudian masing-masing beras yang telah terpisah ditimbang.
Proses Pemisahan Manual a. Pengupasan Sampel beras 100 gram ditimbang dari hasil pengupasan dari ketiga ulangan tadi. Lalu, dipisahkan secara manual beras hasil pengupasan yang terdiri dari beras pecah sempurna, beras setengah giling, dan beras belum pecah. Kemudian, masing-masing bagian beras tersebut ditimbang. b. Penyosohan Beras putih hasil penyosohan ditimbang seberat 100 gram. Kemudian, dipisahkan secara manual hasil penyosohan yang terdiri dari beras kepala (utuh), beras patah dan beras menir. Lalu, ditimbang masing-masing beras yang telah dipisahkan.
Proses Pemisahan Keretakan a. Keretakan Sebelum Penggilingan atau Pengupasan (Manual) Diambil 100 butir gabah kering. Lalu, dikupas secara manual. Kemudian, diamati butir beras yang retak pada alat pengamatan keretakan. Lalu, dihitung butir beras yang retak. b. Keretakan Setelah Penggilingan atau Pengupasan Dimbil 100 butir beras yang telah digiling. Lalu, diamati butir beras yang retak pada alat pengamatan keretakan. Kemudian dihitung butir beras yang retak. c. Keretakan Setelah Penyosohan Diambil 100 butir beras putih dari hasil penyosohan. Lalu, diamati butir beras yang retak pada alat pengamatan keretakan. Kemudian dihitung butir beras yang retak.
Skema Alat Praktikum
Gambar 3.1. Skema alat percobaan
Cara Analisa Data
Hasil pengamatan
Proses penggilingan
Tabel 3.1. Hasil pengamatan proses penggilingan
Hasil pemisahan manual beras hasil penggilingan Tabel 3.2. Hasil pemisahan manual beras hasil penggilingan sampling 100 gr
Proses penyosohan Tabel 3.3. Hasil Proses Penyosohan Analisis Warna Sebelum dan Sesudah penyosohan Ulangan 1 Tabel 3.4. Analisis warna beras sebelum dan sesudah penyosohan ulangan 1
ii. Ulangan 2 Tabel 3.5. Analisis warna beras sebelum dan sesudah penyosohan ulangan 2
iii. Ulangan 3 Tabel 3.6. Analisis warna beras sebelum dan sesudah penyosohan ulangan 3
Proses pemisahan mekanis per 100 gram menggunakan grader hasil whitening
Tabel 3.7. Proses pemisahan mekanis per 100 gram
Proses pemisahan manual per 100 gram menggunakan grader hasil whitening
Tabel 3.8. Proses pemisahan manual per 100 gram
Persentase keretakan
Tabel 3.9. Hasil pengamatan keretakan per 100 butir beras
Analisa Data
BAB IV HASIL PENGAMATAN DAN ANALISA DATA
Hasil Pengamatan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut :
Proses Penggilingan
Tabel 4.1 Hasil pengamatan proses penggilingan
Perlakuan Massa Gabah (gram) Massa Beras Pecah Kulit (BPK) Massa Sekam R (%) E (%) 1 200 154,7 42,9 77,35 98,8 2 200 154,3 43,1 77,15 98,7 3 200 156,35 41,07 78,175 98,71
Hasil Pemisahan Manual Beras Hasil Penggilingan
Tabel 4.2 Hasil pemisahan manual beras hasil penggilingan sampling 100 gr Jenis Massa berat (gram) UL. 1 UL. 2 UL. 3 Beras Pecah Sempurna 59,39 69,53 62,82 Beras Setengah Giling 17,33 1,61 11,26 Beras Belum Pecah 21,37 27,56 24,76
Proses Penyosohan
Tabel 4.3 Hasil proses penyosohan Waktu Massa Beras (gram) Massa Beras Hasil Sosoh (gram) Massa Bekatul (gram) R (%) B (%) L (%) 10 detik 300 228,7 69,8 76,23 23,27 0,5 20 detik 300 218,1 75,6 72,7 25,2 2,1 30 detik 300 204,4 90,7 68,13 30,23 1,63
Analisis Warna Sebelum dan Sesudah Penyosohan Ulangan 1 Tabel 4.4. Analisis warna beras sebelum dan sesudah penyosohan ulangan 1 Waktu Sebelum Sesudah W L a* b* L a* b* Sebelum Sesudah Rerata 10 detik 55,38 2,77 20,39 50,13 2,35 -4,184 50,86 49,9 50,38 20 detik 55,38 2,77 20,39 64,24 4,08 15,82 50,86 60,68 55,77 30 detik 55,38 2,77 20,39 69,56 8,855 9,34 50,86 66,95 58,905 Ulangan 2 Tabel 4.5. Analisis warna beras sebelum dan sesudah penyosohan ulangan 2 Waktu Sebelum Sesudah W L a* b* L a* b* Sebelum Sesudah Rerata 10 detik 63,84 4,495 22,78 65,34 2,065 14,98 57,03 62,18 59,605 20 detik 63,84 4,495 22,78 64,19 -0.0845 16,36 57,03 60,63 58,83 30 detik 63,84 4,495 22,78 67,34 -1,095 12,42 57,03 65,04 61,035 Ulangan 3 Tabel 4.6. Analisis warna beras sebelum dan sesudah penyosohan ulangan 3 Waktu Sebelum Sesudah W L a* b* L a* b* Sebelum Sesudah Rerata 10 detik 62,11 7,85 28,91 69,43 1,66 13,6 51,7 66,5 59,1 20 detik 62,11 7,85 28,91 67,22 2,46 15,07 51,7 63,84 57,77 30 detik 62,11 7,85 28,91 66,25 1,95 13,4 51,7 63,63 57,665
Proses pemisahan mekanis per 100 gram menggunakan grader hasil whitening Tabel 4.7. Proses pemisahan mekanis per 100 gram Waktu (detik) Beban Massa Beras Kepala (gr) Massa Beras Patah (gr) Massa Menir (gr) Bk (%) Bp (%) Bm (%) 10 3 lb 55,9 22,7 19 55,9 22,7 19 20 3 lb 56,0 22,9 19 56 22,9 19 30 3 lb 52,4 25 22,7 52,4 25 22,7
Proses pemisahan manual per 100 gram menggunakan grader hasil whitening Tabel 4.8. Proses pemisahan manual per 100 gram Waktu (detik) Beban Massa Beras Kepala (gr) Massa Beras Patah (gr) Massa Menir (gr) Bk (%) Bp (%) Bm (%) 10 3 lb 33,09 16,91 50,2 33,09 16,91 50,2 20 3 lb 32,87 18,33 32,45 32,87 18,33 32,45 30 3 lb 30,85 20,32 34,47 30,85 20,32 34,47
Persentase keretakan Tabel 4.9. Hasil pengamatan keretakan per 100 butir beras Perlakuan Jumlah Butir Beras Jumlah Butir Beras Retak Br (%) Sebelum giling (sebelum kupas) (1) 100 2 2 Sesudah giling/sebelum sosoh (2) 100 7 7 Sesudah sosoh (3) 100 1 1 Analisa Data Proses Penggilingan Rendemen Proses Penggilingan R1 = 77,35 % R2 = 77,15% R3 = 78,175% Effisiensi Penggilingan E1 = 98,8% E2 = 98,7% E3 = 98,71% Proses Penyosohan R = Rendemen Proses Penyosohan R = (M Sosoh)/(M bpk) X 100% R1 = 228,7/300 X 100% = 76,23% R2 = 218,1/300 X 100 = 72,7% R3 = 204,4/300 X 100% = 68,13%
b. Persentase Bekatul B = (M bekatul)/(M bpk) X 100% B1 = 69,8/300 X 100% = 23,27 % B2 = 75,6/300 X 100% = 25,2 % B3 = 90,7/300 X 100% = 30,23 % Persentase Kehilangan L = 100% – { (M Sosoh+M Bekatul)/(M Bpk)} X 100% L1 = 100% – { (228,7+69,8)/300} X 100% = 0,5% L2 = 100% – { (218,1+75,6)/300} X 100% = 2,1% L3 = 100% – { (204,4+90,7)/300} X 100% = 1,63% Analisis Warna Sebelum dan Sesudah Penyosohan Derajat Keputihan (ulangan 1) Sebelum penyosohan W=100-√(〖(100-L)^2+A〗^2+B^2 ) W1 =100-√(〖(100-55,38)^2+(2,77)〗^2+〖(20,39)〗^2 ) = 50,86 W2 =100-√(〖(100-55,38)^2+(2,77)〗^2+〖(20,39)〗^2 )= 50,86 W3 =100-√(〖(100-55,38)^2+(2,77)〗^2+〖(20,39)〗^2 )= 50,86 Sesudah penyosohan W=100-√(〖(100-L)^2+A〗^2+B^2 ) W1 =100-√(〖(100-50,13)^2+(2,35)〗^2+(-4,184)^2 ) = 49,9 W2 =100-√(〖(100-64,24)^2+(4,08)〗^2+〖(15,82)〗^2 )= 60,68 W3 =100-√(〖(100-69,56)^2+(8,855)〗^2+〖(9,34)〗^2 )= 66,95
Sebelum penyosohan W=100-√(〖(100-L)^2+A〗^2+B^2 ) W1 =100-√(〖(100-62,11)^2+(7,85)〗^2+〖(28,91)〗^2 )= 51,7 W2 =100-√(〖(100-62,11)^2+(7,85)〗^2+〖(28,91)〗^2 ) = 51,7 W3 =100-√(〖(100-62,11)^2+(7,85)〗^2+〖(28,91)〗^2 )= 51,7 Sesudah penyosohan W=100-√(〖(100-L)^2+A〗^2+B^2 ) W1 =100-√(〖(100-69,43)^2+(1,66)〗^2+(13,6)^2 )= 66,5 W2 =100-√(〖(100-67,22)^2+(2,46)〗^2+〖(15,07)〗^2 ) = 63,84 W3 =100-√(〖(100-66,25)^2+(1,95)〗^2+〖(13,4)〗^2 )= 63,63 Proses pemisahan mekanis per 100gram menggunakan grader hasil whitening Persentase Beras Kepala Bk = MBk/MSampel X 100% Bk1 = 55,9/100 X 100% = 55,9% Bk2 = 56/100 X 100%= 56% Bk3 = 52,4/100 X 100%= 52,4% Persentase Beras Patah Bp = MBp/MSampel X 100% Bp1 = 22,7/100 X 100%= 22,7% Bp2 = 22,9/100 X 100%= 22,9% Bp3 = 25/100 X 100% = 25% Persentase Menir Bm = MBm/MSampel X 100% Bm1 = 19/100 X 100% = 19% Bm2 = 19/100 X 100% = 19% Bm3 = 22,7/100 X 100% = 22,7% Proses pemisahan manual per 100gram menggunakan grader hasil whitening Persentase Beras Kepala Bk = MBk/MSampel X 100% Bk1 = 33,09/100 X 100% = 33,09% Bk2 = 32,87/100 X 100% = 32,87% Bk3 = 30,85/100 X 100% = 30,85% Persentase Beras Patah Bp = MBp/MSampel X 100% Bp1 = 16,91/100 X 100%= 16,91% Bp2 = 18,33/100 X 100%= 18,33% Bp3 = 20,32/100 X 100%= 20,32% Persentase Menir Bm = MBm/(M sampel) X 100% Bm1 = 50,2/100 X 100% = 50,2% Bm2 = 32,45/100 X 100% = 32,45% Bm3 = 34,47/100 X 100% = 34,47% Persentase Keretakan Sebelum giling (sebelum kupas) Br=(br/bs)×100% =(2/100)×100% =2% Sesudah giling (sebelum sosoh) Br=(br/bs)×100% =(7/100)×100% =7% Sesudah sosoh Br=(br/bs)×100% =(1/100)×100% =1%
BAB VI PENUTUP Kesimpulan Dari praktikum dan analisa data yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan sebagai berikut; Penggilingan padi merupakan proses pengolahan gabah menjadi beras siap komsumsi dengan batas kadar air 13-14%. Proses penggilingan padi dapat dipisahkan menjadi dua yaitu : husking dan whitening. Husking merupakan proses pengupasan sekam pada butir gabah, dari proses ini akan dihasilkan beras pecah kulit dan sekam. Whitening adalah proses penghilangan lembaga dan lapisan bekatul dari biji beras pecah kulit, hasil dari proses ini adalah bekatul dan beras putih. Prinsip kerja dari husker yaitu gabah masuk kedalam celah sempit antara 2 buah rol karet yang berputar berlawanan dengan kecepatan putar yang berbeda, akibat padi akan terkupas sekamnya. Prinsip kerja mesin grader berdasarkan berat jenis yaitu: saat papan bergetar, gabah dan beras pecah kulit terpisah akibat dari perbedaan berat jenis. Prinsip kerja dari mesin penyosoh tipe abrasif, yaitu: butiran beras pecah kulit dijepit pada suatu ruang penyosohan. Permukaan abrasif digerakkan dengan kecepatan tinggi sehingga permukaan kasar tersebut berfungsi seperti gerinda yang mengikis permukaan beras. Di samping itu, butiran beras yang terjepit di dalam ruang penyosohan juga cenderung ikut bergerak sehingga terjadi gesekan antara sesama butiran beras dan antara butiran beras dengan permukaan yang diam. Sedangkan pada tipe friction, prinsip kerjanya sama hanya saja bergerak pada kecepatan yang lambat dan tekanan yang besar. Pada proses penggilingan dengan husker diperoleh : persentase rendemannya secara berturut-turut pada perlakuan satu hingga tiga (%) yaitu : 77,35 %, 77,15 %, dan 78,175 %, sedangkan efisiensi penggilingannya yaitu : 98,8 %, 98,7 %, dan 98,71%. Hasil ini dapat dikategorikan baik mengingat persentase sekam pada buti gabah sekitar 20-30% Pada proses penyosohan selama 10 detik, 20 detik, dan 30 detik, diperoleh persentase rendemannya secara berturut—turut : 76,23%, 72,7%, dan 68,13%. Persentase bekatulnya : 23,27%, 25,2% dan 30,23%. Persentase kehilangan hasilnya, 0,5%, 2,1%, dan 1,63%. Semakin lama proses penyosohan maka, derajat keputihan dan derajat sosohnya meningkat, sehingga kelas mutu dari berasnya juga semakin baik Semakin lama proses penyosohan maka jumlah butir beras yang patah, kepala, dan menir juga semakin banyak
Saran
Praktikumnya telah berjalan dengan baik, kedepannya agar praktikan lebih paham betul kondisi mesin penggilingan padi yang ada dimasyarakat, maka praktikum dilaksanakan langsung di tempat penggilingan padi yang ada dimasyarkat. Laporannya dalam bentuk file saja agar menghemat kertas, uang mahasiswa, dan mendukung pelestarian alam.
Posted by andi telaumbanua on Jan 15, 2019 in TAnah
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Penggilingan padi merupakan proses pengolahan gabah menjadi beras dengan batas kadar air 13-14%. Umumnya proses penggilingan padi dapat dipisahkan antara pengolahan gabah menjadi beras pecah kulit (BPK) dan proses penyosohan yakni pengolahan beras pecah kulit menjadi beras sosoh. Pemisahan proses ini menggunakan alat yang terpisah juga yakni husker (pemecah kulit) dan whitener (pemutih = penyosoh). Berdasarkan penggunaan alat pada penggilingan secara umum, penggilingan padi cenderung untuk mening-katkan mutu, terutama pada penggilingan yang berskala kecil. Penggilingan padi dapat dikatagorikan antara lain penggilingan skala besar (kapasitas 2-4 ton beras /jam), skala menengah (kapasitas 1-2 ton beras/jam) dan skala kecil (kapasitas < 1 ton beras/jam) (Umar, 2011).
Menurut Rachmat et al.(2004), kapasitas kumulatif penggilingan padi baik tipe stasioner maupun Rice Milling Unit (RMU) yang ada di Indonesia jauh lebih besar daripada total produksi gabah nasional. Kapasitas kumulatif penggilingan yang ada di Indonesia adalah 109,5 juta ton beras/th . Dengan demikian banyak alat/mesin penggilingan yang berukuran menengah kebawah kurang lancar pengoperasiannya.
Beras merupakan sumber utama kalori bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Pangsa beras pada konsumsi kalori total adalah 54.3% atau dengan kata lain setengah dari intake kalori masyarakat Indonesia bersumber dari beras (Harianto, 2001). Secara umum mutu beras dapat dikelompokkan ke dalam 4 kategori, yaitu mutu giling, mutu rasa dan mutu tunak, mutu gizi, dan standar spesifik untuk penampakan dan kemurnian biji (misalnya besar, bentuk dan kebeningan beras).
Mutu beras giling dikatakan baik jika hasil proses penggilingan diperoleh beras kepala yang banyak dengan beras patah minimal. Mutu giling ini juga ditentukan dengan banyaknya beras putih atau rendemen yang dihasilkan. Mutu giling ini sangat erat kaitannya dengan nilai ekonomis dari beras. Salah satu kendala dalam produksi beras adalah banyaknya beras pecah sewaktu digiling. Hal ini dapat menyebabkan mutu beras menurun (Allidawati dan Kustianto, 1989).
Saat ini telah dibuat RSNI mengenai mutu beras giling yang dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1. Mutu beras: RSNI 01-6128-200x
No.
Komponen Mutu
Satuan
Mutu
I
II
III
IV
V
1
Derajat sosoh (min)
%
100
100
95
95
95
2
Kadar air (max)
%
14
14
14
14
14
3
Butir kepala (min)
%
95
89
78
73
60
4
Butir patah total (max)
%
5
10
20
25
35
5
Butir menir (max)
%
0
1
2
2
5
6
Butir merah (max)
%
0
1
2
3
3
7
Butirkuning/rusak (max)
%
0
1
2
3
5
8
Butir mengapur (max)
%
0
1
2
3
5
9
Benda asing (max)
%
0
0.02
0.02
0.05
0.20
10
Butir gabah (max)
Butir/100g
0
1
1
2
3
Penggilingan beras berfungsi untuk menghilangkan sekam dari bijinya dan lapisan aleuron, sebagian mapun seluruhnya agar menhasilkan beras yang putih serta beras pecah sekecil mungkin. Setelah gabah dikupas kulitnya dengan menggunakan alat pecah kulit, kemudian gabah tersebut dimasukkan ke dalam alat penyosoh untuk membuang lapisan aleuron yang menempel pada beras. Selama penyosohan terjadi, penekanan terhadap butir beras sehingga terjadi butir patah. Menir merupakan kelanjutan dari butir patah menjadi bentuk yang lebih kecil daripada butir patah (Damardjati, 1988).
Menurut Nugraha et al.(1998), nilai rendemen beras giling dipengaruhi oleh banyak faktor yang terbagi dalam tiga kelompok. Kelompok pertama adalah faktor yang mempengaruhi rendemen melalui pengaruhnya terhadap mutu gabah sebagai bahan baku dalam proses penggilingan yang meliputi varietas, teknik budidaya, cekamaman lingkungan, agroekosistem, dan iklim. Kelompok kedua merupakan faktor penentu rendemen yang terlibat dalam proses konversi gabah menjadi beras, yaitu teknik penggilingan dan alat penggilingan. Kelompok ketiga menunjukkan kualitas beras terutama derajat sosoh yang diinginkan, karena semakin tinggi derajat sosoh maka rendemen akan semakin rendah.
Susut mutu dari suatu hasil giling dapat diidentifikasikan dalam nilai derajat sosoh serta ukuran dan sifat butir padi yang dihasilkan. Umumnya semakin tinggi derajat sosoh, persentase beras patah menjadi semakin meningkat pula. Ukuran butir beras hasil giling dibedakan atas beras kepala, beras patah, dan menir. Berdasarkan persyaratan yang dikeluarkan oleh Bulog, beras kepala merupakan beras yang memiliki ukuran lebih besar dari 6/10 bagian beras utuh. Beras patah memiliki ukuran butiran 2/10 bagian sampai 6/10 bagian beras utuh. Menir memiliki ukuran lebih kecil dari 2/10 bagian beras utuh atau melewati lubang ayakan 2.0 mm (Waries, 2006). Bagian-bagian Mesin Giling Padi dan Cara Kerjanya
Gambar 2.1. Skema mesin giling padi
Salah satu penyebab rendahnya rendemen dan mutu hasil penggilingan padi serta tingginya kehilangan hasil (susut penggilingan) adalah disebabkan dari peralatan dan mesin penggilingan. Untuk dapat memperoleh hasil penggilingan yang maksimal perlu memahami unit-unit komponen dan mesin penggilingan padi.
Ada beberapa model penggilingan padi, yaitu :
1. Penggilingan manual/ tangan
2. Penggilingan dengan mesin satu step.
3. Penggilingan dengan mesin dua step.
4. Penggilingan dengan mesin multi pass /stage
Penggilingan padi secara manual. penggilingan dengan menggunakan tangan yaitu dengan menggunakan lesung dan alu. Cara penggilingan ini berbasis gesekan antara biji dengan biji. Pembersihan dilakukan diakhir penggilingan dengan penampian dengan menggunakan tampi. Cara ini membuat kehancuran beras tinggi sehingga rendemen yang dicapai rendah.
Penggilingan padi dengan mesin satu step (single phase/ satu phase) Penggilingan dengan system gesekan logam yaitu unit pengupasan dan unit penyosohan berada dalam satu mesin. Gabah masuk penggilingan dan keluar sudah dalam bentuk beras giling. Penggilingan padi dengan mesin dua step (double phase/
dua phase) mesin pengupas dan mesin penyosoh/ pemoles terpisah atau tidak dalam satu mesin. Rendemen giling bisa mencapai 60-65 %. Penggilingan padi dengan mesin multi pass. Mesin penggilingan dengan unit penyosoh / pemoles (jenis abrasif dan jenis friksi ) bersatu, sehingga dapat mengurangi resiko-resiko yang dihadapi selama proses penggilingan
Penentuan jenis dan kombinasi mesin penggilingan paling tepat sangat ditentukan oleh kapasitas yang dibutuhkan, jenis, varietas dan sifat gabah, mutu beras putih yang diharapkan serta biaya. Bagian komponen mesin penggiling, terdiri dari :
1. Motor penggerak.
2. Mesin Pengupas/ pemecah kulit gabah (husker). Mesin ini membersihkan kulit gabah/ sekam yang tercampur dalam beras pecah kulit. Mesin pengupas yang tersedia adalah jenis Engelberg, jenis rol karet, jenis under runner stone disc dan jenis sentrifucal.Mesin pengupas gabah yang paling umum digunakan saat ini adalah jenis roll karet, karena daya guna yang tinggi, efisien, mudah digunakan dan sederhana perawatannya. Terdapat 2 buah rol karet yang berputar berlawanan dengan kecepatan putar yang berbeda. Jarak antara 2 rol karet dapat diatur tergantung jenis gabah yang akan dikupas, biasanya 2/3 besarnya gabah. Diameter kedua rol karet sama bervariasi 300 – 500 mm dan lebar 120-500 mm.
3. Mesin pemisah gabah (separator). Digunakan untuk memisahkan gabah dari beras pecah kulit. Mesin pemisah gabah dan beras pecah kulit mempunyai 3 tipe yaitu:
· Pemisah jenis kompartemen, terdiri dari dinding pemisah vertikal, papan luncur secara zigzag. Campuran gabah dan beras pecah kulit membentur papan pemisah zigzag tersebut, maka akan meluncur jatuh melalui papan luncur. Jika gabah yang lebih ringan akan terangkat keatas dan dikeluarkan melalui pintu keluaran dibagian atas papan luncur. Sedangkan beras pecah kulit yang berada dibagian bawah dikeluarkan melalui pintu keluaran yang berada di bagian bawah papan luncuran.
· Pemisah berdasarkan berat jenis. Pemisah ini banyak dipakai pada mesin-mesin penggiling terbaru. Pemisah jenis ini terdiri atas papan pemisah berbentuk bujur sangkar yang diletakkan miring pada bidang datar dengan sejumlah cekungan. Saat papan bergetar, gabah dan beras pecah kulit terpisah akibat dari perbedaan berat jenis.
· Pemisah jenis layar/ type saringan, terdiri dari ayakan saringan yang bergetar, berjumlah 6-15 ayakan.
4. Mesin Penyosoh/ Pemoles/Pemutih (polisher)
Ada 2 tipe mesin penyosoh yaitu tipe friksi dan abrasif.
· Mesin pemutih abrasif, bekerja dengan putaran yang relative cepat dan tekanan giling yang rendah sehingga peningkatan suhu beras lebih kecil dan kerusakan (pecah) lebih sedikit tetapi permukaan beras tampak kasar.
· Mesin pemutih friksi bekerja dengan putaran yang relative lambat dan tekanan giling yang tinggi sehingga menghasilkan pelepasan dedak yang lebih baik dan permukaan beras yang lebih halus. Kekurangan mesin ini, tingginya ratio beras yang dihasilkan, suhu beras yang lebih tinggi serta jenis ini menggunakan listrik lebih banyak. Sangat dianjurkan penggabungan fungsi mesin pemutih jenis abrasif dan friksi dalam proses multi pass, karena mengurangi beras patah dan peningkatan suhu beras serta memperbaiki pembuangan kecambah beras.
5. Mesin pemisah beras kepala, beras patah dan menir (shifter)
6. Mesin Pengkristal/ pencuci beras (shinning)
(Anonim, 2016).
Untuk mendapatkan nilai gizi yang lebih tinggi, yakni warna lebih bersih dan tingkat kecermelangan yang tinggi maka derajat nilai derajat sosoh harus lebih rendah dari 80 %. Namun karena pengetahuan konsumen akan mutu beras sosoh lebih diutamakan. Berdasarkan preferensi tersebut pengusaha penggilingan padi berusaha menyosoh padinya dengan cara memberi tekanan berlebihan terhadap butir beras saat penyosohan sehingga beras banyak yang patah dan pecah. Proses penyosohan beras giling lebih banyak terjadi secara fisik dibanding cara kimia (Katsuragi, 1995). Hal ini terkait pula dengan daya simpan dan kepekaan terhadap serangan hama, semakin rendah derajat sosoh, beras semakin peka terhadap hama dan juga daya simpan beras semakin rendah. Disamping itu ada persyaratan mutu lainnya yaitu butir mengapur (chalky rice) 3 %, butir kuning (yellow kernel) 2%, butir rusak (damage rice) 1 % dan butir merah (red kernel) 3 %, (Umar, 2011).
Penekanan terhadap butir beras dalam hal putaran mesin sosoh yang sangat tinggi pada permukaan beras dipengaruhi oleh besarnya putaran silinder sehingga butir beras akan mengalami kepatahan. Dengan kecepatan linier optimum dari mesin penyosoh (734 rpm) dapat meningkatkan mutu beras yang diukur dari rendemen giling (74,68 %), beras kepala (87,48 %) dan beras patah (8,90 %) pada batas kadar air ± 13 % (Umar, 2011).
Proses penyosohan hotong bertujuan untuk melepasan kulit luar (pericarp) biji hotong dengan kerusakan yang sekecil mungkin pada butiran biji hotong (endosperm). Hasil penyosohan biji buru hotong berupa beras hotong giling, yang kemudian dapat diproses lebih lanjut seperti proses penepungan. Istilah lain yang dipakai untuk pemecahan kulit adalah husking, hulling, atau shelling, sedangkan mesin yang dipakai disebut mesin pemecah kulit atau disebut juga husker, huller, atau sheller (Patiwiri, 2006).
Penyosohan dapat dilakukan dengan dua cara, manual dan mekanis. Penyosohan dengan cara manual dapat dilakukan dengan menggunakan alu atau lesung (handmill). Gerakan alu yang menumbuk butiran-butiran biji hotong memberikan tegangan geser pada sisi-sisi biji yang menyebabkan kulit biji akan sobek dan terkelupas. Selain kapasitas penyosohan yang rendah, penyosohan secara manual ini memakan banyak waktu dan tenaga manusia, sehingga menghasilkan efisiensi dan kualitas penyosohan yang rendah. Oleh karena itu diperlukan mesin yang dapat menggantikan pekerjaan manusia tersebut dengan kualitas hasil kerja yang baik dan efisiensi yang tinggi.
Mesin penyosoh biji tipe abrasive roll menggunakan penggiling berupa rol yang terbuat dari batu abrasif. Mesin ini memiliki delapan bagian utama, yaitu 1) hopper, 2) bagian penyosoh, 3) rumah penutup (casing), 4) unit transmisi dan penyalur tenaga, 5) bagian pemisah, 6) kipas (blower), 7) tenaga penggerak, 8) rangka penunjang. Mesin ini menggunakan sumber tenaga penggerak berupa motor listirk 3 fase dengan daya maksimum 2.2 kW dan dapat beroperasi hingga 3000 rpm.
Komponen utama dari mesin penyosoh tipe abrasive roll ini adalah bagian penyosoh. Baik tidaknya hasil penyosohan akan sangat ditentukan oleh bagian ini. Bagian ini sendiri terdiri dari dua bagian, yaitu; rol penyosoh dan silinder saringan. Rol penyosoh terbuat dari batu abrasive yang dilengkapi dengan ulir pendorong dan baut penahan. Silinder saringan ini terdiri dari dua bagian berbentuk setengah lingkaran, sehingga jarak antara silinder saringan dengan batu gerinda dapat diatur dengan mengatur baut yang terletak di pinggir masing- masing bagian. Silinder saringan terbuat dari plat saringan yang memiliki pori dengan diameter 0.8 mm, sehingga dapat mengeluarkan dedak sisa penyosohan tetapi tetap dapat menahan biji hotong yang tersosoh.
Mekanisme Mesin Pemecah Kulit
Pada zaman dahulu pengupasan sekam pada produk padi-padi dilakukan secara manual menggunakan alu dan lesung (handmill). Bahkan dari berabad- abad sebelum masehi, masyarakat mesir kuno telah mengenal cara pengupasan kulit biji-bijian secara manual dengan menggunakan roll yang digesekan dengan batu dan digerakan oleh tangan. Gerakan alu yang menumbuk butiran-butiran gabah pada dasarnya memberikan tegangan geser pada sisi-sisi gabah yang menyebabkan sekam menjadi robek dan terkupas. Gaya yang diterima oleh butiran padi berupa dua gaya gesekan dengan arah berlawanan
Gerakan alu ke bawah akan menggesek sisi gabah yang ditumbuk oleh alu, sedangkan sisi gabah yang lain bertahan oleh gabah yang terletak disebelahnya. Kedua gaya ini mengakibatkan adanya tegangan geser berlawanan yang bekerja pada sisi-sisi gabah yang berseberangan. Sebagai akibatnya, sekam akan terpuntir ke dua arah berlawanan hingga robek. Gabah yang berada di sebelahnya juga mengalami pola tegangan geser serupa namun tidak sebesar gabah pertama. Apabila puntiran cukup besar, gabah itu pun akan terkupas. Butiran gabah yang akan dikupas dibenturkan dengan sudut tertentu pada suatu permukaan gesek. Akibat adanya benturan, terdapat gaya normal N yang menekan gabah pada permukaan gesek dan terjadi gaya gesekan Fr yang menahan sisi gabah. Butiran gabah sebenarnya masih cenderung bergerak karena adanya kelembaman yang ditunjukan dengan gaya Fs. Karena tertahan oleh gaya gesekan Fr di satu sisi, terjadi tegangan geser pada sisi tersebut sehingga sekam akan robek.
Untuk menimbulkan tegangan geser yang cukup untuk pengupasan, gabah dibentukan dengan kecepatan tinggi. Ini bisa dihasilkan dengan jalan memutar gabah dengan kecepatan putar tinggi sebelum dibenturkan pada permukaan gesek. Karena adanya perlakuan pemutaran ini, mesin-mesin yang dikembangkan dengan prinsip ini disebut mesin sentrifugal. Pengupasan dengan prinsip ini menghasilkan karakteristik yang lebih baik daripada prinsip gesekan pada dua sisi dan dapat dipakai untuk gabah dengan kadar air yng tinggi. Kekurangannya adalah waktu pengupasan yang lama kerena hanya sebagian butiran gabah yang akan terkupas dengan sekali benturan sehingga pembenturan harus diulang berkali-kali (Patiwiri, 2006).
Dengan adanya dua prinsip pemecahan di atas, mesin-mesin pemecah kulit dikelompokan menjadi dua kelompok. Mesin-mesin yang memakai prinsip pemecahan kulit dengan dua tegangan geser berlawanan disebut kelompok friksional, sedangkan yang memakai prinsip pemecahan dengan satu tegangan geser desebut kelompok sentrifugal. Pada Tabel 2 ditunjukan tipe-tipe mesin yang telah dikembangkan dengan kedua prinsip pengupasan tersebut.
Tabel 2.2. Klasifikasi mesin pemecah kulit.
Kelompok
Tipe
Friksional
– Hand mill– Engelberg– Under runner disk husker– Rubber roll husker
Sentrifugal
– Impact husker– Impeller husker– Vacum husker
Gaya-gaya yang bekerja pada proses penyosohan antara lain: penekanan (compression), geseran (shear), gesekan/ pengikisan (friction/ abrasion), dan benturan (impact). Beberapa mesin penyosoh beroperasi dengan kombinasi dari beberapa prinsip yang disebutkan. Beberapa tipe mesin penyosoh yang biasa digunakan antara lain tipe roda, tipe benturan, tipe gesekan, tipe bola, tipe lempengan, tipe pemotong, dan tipe pendedak (Postner dan Hibbs, 2005).
Dalam proses penyosohan hotong, energi yang tersedia digunakan untuk mengupas kulit untuk kemudian dilakukan penepungan. Proses ini memakan sekira 50% dari tenaga yang terhubung dengan penggiling, sisanya mengahasilkan panas yang menyebabkan penurunan kadar air pada bahan.
Faktor Yang Mempengaruhi Penyosohan
Hotong yang terkupas akan terlepas menjadi dua bagian, yaitu beras hotong dan sekam. Biji hotong yang belum terkupas dapat berupa biji utuh atau biji yang telah pecah kulitnya namun sekam belum terlepas dari butir bijinya. Selanjutnya butiran biji yang belum terkupas harus dipisahkan dari beras hotong dan sekam untuk dimasukan kembali kedalam mesin penyosoh.
Tinggi rendahnya tingkat pengupasan ditunjukan oleh efisiensi pengupasan yang merupakan prosentase bobot butiran yang terkupas terhadap bobot butiran biji awal.Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi proses penyosohan, diantaranya:
1. Faktor bahan
Biji buru hotong memiliki sifat yang berbeda dengan padi tetapi hampir menyerupai sifat sorghum. Biji hotong berukuran kecil sehingga dalam penyosohan harus dipertimbangkan besarnya gaya yang dikenakan pada biji hotong agar tidak menghancurkan biji hotong. Kadar air bahan juga sangat mempengaruhi kualitas penyosohan, rendemen dan kapasitas penyosohan. Pemilihan kadar air yang tepat akan memberikan hasil yang baik pula. Sebagai contoh, padi disosoh pada KA 14-15% karena memudahkan dalam penyosohan dan kemungkinan beras yang pecah lebih sedikit. Pada kadar air yang lebih tinggi proses pengupasan akan sulit karena sekam sulit dipecahkan. Sebaliknya, pada kadar air yang lebih rendah, butiran padi akan mudah pecah atau patah sehingga akan menghasilkan banyak beras patah atau menir (Patiwiri, 2006).
2. Faktor mesin penyosoh
Mekanisme mesin penyosoh sangat mempengaruhi hasil penyosohan. Mekanisme masin harus disesuaikan dengan karakteristik bahan. Kondisi mesin yang baik seperti kecepatan putar roll penyosoh yang cocok atau besar saringan dedak yang sesuai, akan menghasilkan mutu penyosohan yang baik.
3. Sumber tenaga penggerak
Sumber tenaga penggerak yang umum digunakan dalam bidang pertanian ada enam jenis yaitu manusia, ternak, air, angin, listrik, dan motor bakar (Daywin, 1986). Berdasarkan penggunaannya, sumber tenaga dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu sebagai tenaga penggerak dan tenaga pemutar. Pemilihan sumber tenaga untuk penyosohan yang tepat akan memberikan kualitas dan kapasitas penyosohan yang baik.
Prinsip Kerja Mesin Penyosoh
Untuk mencapai tujuan penyosohan, yaitu melepaskan lapisan bekatul dan butiran beras dan memberi warna mengilap pada beras, butiran beras perlu digosok. Terdapat dua cara menggosok yang diterapkan pada mesin-mesin penyosoh, yaitu menggerinda dengan suatu permukaan kasar dan menekan serta menggesek dengan permukaan rata. Prinsip penyosohan dengan menggerinda ditunjukkan pada Gambar 6a, sedangkan prinsip penyosohan dengan menekan serta menggesek ditunjukkan pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2. Prinsip kerja mesin-mesin penyosoh
Prinsip menggerinda biasanya diterapkan pada mesin-mesin penyosoh yang dipakai pada tahapan awal penyosohan. Pada tahapan ini bagian luar butiran beras perlu dikikis untuk membuang lapisan bekatul. Untuk mengikis dipakai permukaan kasar yang terbuat dari batu abrasif. Seperti tampak pada Gambar 6, butiran beras pecah kulit dijepit pada suatu ruang penyosohan. Permukaan abrasif digerakkan dengan kecepatan tinggi sehingga permukaan kasar tersebut berfungsi seperti gerinda yang mengikis permukaan beras. Di samping itu, butiran beras yang terjepit di dalam ruang penyosohan juga cenderung ikut bergerak sehingga terjadi gesekan antara sesama butiran beras dan antara butiran beras dengan permukaan yang diam. Gesekan-gesekan ini juga mengakibatkan lepasnya lapisan kulit ari.
Pada prinsip menekan dan menggesek, permukaan yang dipakai menggesek butiran beras dan kecepatan pergerakan permukaan gesek berbeda dan prinsip menggerinda (Gambar 6b). Prinsip ini biasanya diterapkan pada mesin-mesin penyosoh yang dipakai pada tahap pertengahan atau akhir dari penyosohan. Karena tujuan utamanya bukan mengikis butiran beras, permukaan kasar dan kecepatan gerakan permukaan gesek yang tinggi tidak diperlukan. Sebagai gantinya, yang diperlukan adalah tekanan yang tinggi terhadap butiran beras dan adanya gerakan-gerakan yang membuat butiran beras bergesekan. Tekanan dihasilkan oleh himpitan kedua permukaan, dan gerakan-gerakan butiran beras diakibatkan perputaran permukaan gesek. Gesekan-gesekan butiran beras pada tekanan tinggi akan melepaskan sisa lapisan dan membuat permukaan beras menjadi rata.
Dengan adanya kedua prinsip penyosohan di atas, mesin-mesin penyosoh digolongkan menjadi dua, yaitu gerinda dan tipe gesekan. Tipe gerinda lebih banyak disebut tipe abrasif (abrasive type) karena permukaan gesek memakai lapisan abrasif, sedangkan tipe gesekan (friction type) disebut juga tipe tekanan karena memakai tekanan yang tinggi. Tipe gesekan biasa juga disebut tipe besi karena permukaan gesek yang dipakai banyak terbuat dan besi.
Perbedaan utama kedua tipe mesin ini terletak pada permukaan gesek yang dipakai, kecepatan gerakan permukaan gesek, dan tekanan di dalam ruang penyosohan. Tipe abrasif memakai permukaan gesek berupa lapisan abrasif yang biasanya terbuat dan batu, sedangkan tipe gesekan memakai permukaan gesek berupa tonjolan-tonjolan yang terbuat dan baja atau besi. Tipe abrasif memiliki kecepatan gerakan permukaan gesek di atas 900 m/menit yang jauh di atas tipe gesekan yang nilainya di hawah 300 m/menit. Sebaliknya, tipe gesekan memiliki tekanan terhadap butiran beras di atas 500 gr/cm2 yang jauh di atas tipe abrasif yang nilainya di bawah 300 gr/cm2 (Tarmana, 1976 dalam Patiwiri, 2006).
Selama mengalami penyosohan, butiran-butiran beras bergesekan dengan permukaan gesek atau dengan sesama butiran beras. Gesekan-gesekan ini membuat beras menjadi panas sehingga mudah patah. Untuk menurunkan panas yang terjadi, mesin-mesin penyosoh dilengkapi dengan aliran udara atau uap air yang akan menurunkan suhu beras. Di samping itu diusahakan agar butiran beras tidak terlalu lama mengalami penyosohan, ini dapat di lakukan dengan melakukan proses penyosohan dua atau tiga kali dengan masing-masing lama waktu penyosohan yang pendek.
Berdasarkan prinsip kerjanya, tipe-tipe mesin penyosoh dapat dikelompokan menjadi: (i) tipe gerinda (abrasif) dan (ii) tipe besi (gesekan tipe gerinda terdiri dari: tipe engelberg, tipe kerucut abrasif vertikal, tipe silinder abrasif vertikal, dan tipe silinder abrasif horizontal. Sedangkan tipe besi terdiri dari: tipe kerucut besi vertikal dan tipe silinder besi horizontal.
Selain tipe yang di atas terdapat pula mesin pengilap yang umumnya berupa tipe kerucut vertikal atau kerucut horizontal dengan desain yang hampir sama dengan mesin penyosoh tersebut di atas. Perbedaannya terletak pada bahan yang dipakai pada permukaan ruang penyosohan dan panjang ruang penyosohan. Pada penggilingan padi modern biasanya terdapat mesin pencuci dan pembilas beras (rice refiner) yang dipasang pada bagian akhir proses penyosohan.
Allidawati dan B.Kustianto. 1989. Metode uji mutu beras dalam program pemuliaan padi. Dalam: Ismunadji M., M. Syam dan Yuswadi. Padi Buku 2.
BPS. 1996. Badan Pusat Statistik Indonesia.
Damardjati, D.S. 1988. Struktur kandungan gizi beras. Dalam: Ismunadji, M., S.Partohardjono, M.Syam, A.Widjono. Padi-Buku 1. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Hal: 103- 159.
Harianto. 2001. Pendapatan, harga, dan konsumsi beras. Dalam: Suryana, A. Dan S.Mardianto. Bunga rampai ekonomi beras. Penerbit Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-FEUI).
Nugraha, U.S., S.J.Munarso, Suismono dan A. Setyono. 1998. Tinjauan tentang rendemen beras giling dan susut pascapanen: 1. Masalah sekitar rendemen beras giling, susut dan pemecahannya. Makalah. Balai Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi. 15 Hal.
Patiwiri, Abdul Waries. 2006. Teknologi Penggilingan Padi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Posner, Elieser S. dan Arthur N. Hibbs. 2005. Wheat Flour Milling, second edition. American Association of Cereal Chemist. Minnesota. USA.
Purwanto, Y.A. 2005. Kehilangan pasca panen padi kita masih tinggi. Inovasi Online 4(27):1.
Rachmad, R., Thahir R., Sudaryono. 2006. Pengaruh Beberapa Komponen Teknologi Proses Pada Pengilinggan Padi Terhadap Mutu Fisik Beras. Jurnal Enjiniring Pertanian (4)2: 65-72.
Umar, S. 2011. Pengaruh Sistim Penggilingan Padi Terhadap Kualitas Giling Di Sentra Produksi Beras Lahan Pasang Surut. Jurnal Teknologi Pertanian,7(1):9-17.
Waries, A. 2006. Teknologi Penggilingan Padi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Posted by andi telaumbanua on Jan 15, 2019 in TAnah
LAPORAN PRAKTIKUM
TEKNIK PASCAPANEN
(TPT 2030)
ACARA 1
PENGGILINGAN PADI
DISUSUN OLEH :
NAMA : Andi Saputra Telaumbanua
NIM : 17/413930/TP/11872
GOL : Selasa B
CO ASS : Nilna Wasi’arahmah
LABORATORIUM TEKNIK PANGAN DAN PASCAPANEN
DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN DAN BIOSISTEM
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu tahapan penting pada kegiatan pascapanen padi adalah proses penggilingan. Proses penggilingan padi adalah kegiatan untuk merubah wujud padi dari kondisi gabah kering menjadi beras siap komsumsi dengan batas kadar air 13-14%. Umumnya proses penggilingan padi dapat dipisahkan antara pengolahan gabah menjadi beras pecah kulit (BPK) dan proses penyosohan yakni pengolahan beras pecah kulit menjadi beras sosoh. Pemisahan proses ini menggunakan alat yang terpisah juga yakni husker(pemecah kulit) dan whitener (pemutih = penyosoh).
Masalah utama dalam penanganan pasca panen padi yang sering dialami oleh petani adalah tingginya kehilangan hasil selama pasca panen. Kegiatan pasca panen meliputi proses pemanenan padi, penyimpanan padi, pengeringan gabah, dan penggilingan gabah hingga menjadi beras. BPS (1996) menyebutkan kehilangan hasil panen dan pasca panen akibat dari ketidaksempurnaan penanganan pasca panen mencapai 20,51%, dimana kehilangan saat pemanenan 9,52%, perontokan 4,78 %, pengeringan 2,13% dan penggilingan 2,19%. Besarnya kehilangan pasca panen terjadi kemungkinan dikarenakan sebagian besar petani masih menggunakan cara-cara tradisional atau meskipun sudah menggunakan peralatan mekanis tetapi proses penanganan pasca panennya masih belum baik dan benar.
Pemerintah perlu lebih mengkampanyekan penanganan pasca panen yang baik, sampai usaha ini mendapat respon yang baik dari petani. Jika tingkat kehilangan panen bisa ditekan sampai minimal 0,5 sampai 1 persen untuk setiap kegiatan pascapanen dan secara bertahap dapat dikurangi sampai 3 sampai 5 persen berarti total produksi padi yang bisa diselamatkan mencapai 1,59 sampai 2,65 juta ton. Suatu jumlah yang sangat besar untuk mendukung mengamankan target produksi beras nasional setiap tahunnya.
Dalam kaitan dengan proses penggilingan padi, karakteristik fisik padi sangat perlu diketahui karena proses penggilingan padi sebenarnya mengolah bentuk fisik dari butiran padi menjadi beras putih. Butiran padi yang memiliki bagian-bagian yang tidak dapat dimakan atau tidak enak dimakan, sehingga perlu dipisahkan. Selama proses penggilingan, bagian-bagian tersebut dilepaskan sampai akhirnya didapatkan beras yang enak dimakan yang disebut dengan beras sosoh (beras putih).
Tujuan utama penggilingan padi adalah unutk menghasilkan semaksimal mungkin bijian beras tidak patah/beas kepala dengan lapisan bekatul yang dapat dihilangkan secara merata, yang akan menghasilkan kenampakan warna dan kilauan seperti yang diinginkan. Pada bidang teknik pertanian dan biosystem pemahaman terhadap proses 2 tahap utama dalam penggilingan padi yaitu pengupasan sekam (husking) dan pemutihan/penyosohan (whitening) sangatlah penting, untuk dapat mengevaluasi kinerja proses tersebut pada setiap tahap dan komponennya. Oleh karena itu, dilakukan praktikum penggilingan padi agar praktikan dapat memahami proses, prinsip kerja dari alat, dan mengevaluasi hasilnya berdasarkan standard yang telah ada (SNI). Praktikum dilaksanakan dengan menggunakam mesin husker dan penyosoh tipe grinding dengan pengulangan 1 kali, 2 kali, dan 3 kali.
B. Tujuan
Praktikum penggilingan padi ini bertujuan untuk ;
1. Mempelajari dan mengamati proses husking dan whitening pada proses penggilingan padi
2. Melakukan anlisis untuk mengevaluasi kinerja proses husking dan whitening pada proses penggilingan padi
Posted by andi telaumbanua on Jan 15, 2019 in TAnah
BAB
III
METODOLOGI
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada praktikum
pembengkakan dan pengkerutan tanah ini, antara lain;
Alat yang yang digunakan pada praktikum ini antara
lain:
Mangkuk
aluminium : sebagai wadah dari sampel tanah yang diamati.
Ring slinder : untuk
mengambil sampel tanah tidak terusik
Timbangan ; untuk
menimbang massa dari sampel tanah yang diambil.
Oven : untuk
mengeringkan sampel tanah.
Besek : sebagai wadah
membuat sampel tanah jadi lumpur.
Bahan yang yang digunakan pada praktikum ini antara
lain:
Sampel
tanah yang telah dijadikan lumpur dan pasta : sebagai sampel tanah yang akan
ditentukan shrinkage limit dan COLE.
Aquades
: untuk membuat sampel tanah jadi lumpur dan pasta
Lilin
: untuk mengisi lubang – lubang retakan sampel tanah setelah di oven.
3.2. Cara Kerja
Penentuan
shrinkage limit (SL)
Sampel tanah
yang telah disiapkan dihaluskan dengan cara ditumbuk, lalu diayak dengan ayakan
berdiameter 1.70 mm. Sampel tanah yang telah diayak, ditambahkan aqudes hingga
terbentuk lumpur. Lalu diambil 3 cawan berbentuk tabung, kemudian ditimbang
sebagai (a) gram. Lalu dimasukkan sampel tanah yang sudah menjadi lumpur tadi
ke dalam cawan hingga penuh (sampai bata garis pada cawan) dan diratakan.
Kemudian, ditimbang cawan yang telah berisi tanah basah sebagai (b) gram.
Setelah itu, diukur volume cawan tabung sebagai volume tanah (V1). Kemudian,
sampel tanah dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 105 selama 24 jam.
Setelah 24 jam cawan dikeluarkan dari oven kemudian
didinginkan terlebih dahulu. Lalu ditimbang cawan + tanah kering sebagai (c)
gram. Kemudian,lilin dipanaskan hingga mencair, lalu lilin cair tersebut
diteteskan ke bagian retakan tanah kering dalam cawan tabung hingga bagian
retakan dipenuhi lilin cair. Kemudian, ditimbang cawan + tanah kering + lilin sebagai (d) gram.
Kemudian, dihitung volume lilin (VK) dengan persamaan: VK = massa lilin /
densitas lilin ( massa lilin diperoleh dari d – c, dengan densitas lilin 0,871
gr/cm3. Kemudian dihitung volume tanah kering (V2) dengan persamaan
V2 = V1 – VK.
Penentuan
pembengkakan tanah (swelling)
Sampel tanah disiapkan lalu dimasukkan
ke dalam besek. Kemudian, diambil 2 ring slinder, lalu ditimbang beratnya
sebagai (a) gram. Dimasukkan 2 ring tersebut ke tanah dalam besek (tanah tidak
terusik) kemudian diukur volume tanah (V ring). Lalu ditimbang ring + tanah
basah sebagai (b) gram. Kemudian dimasukkan dalam oven dan dikeringkan selama
24 jam. Setelah 24 jam, diambil ring + tanah kering dalam oven dan didinginkan.
Lalu ditimbang ring + tanah kering sebagai (c) gram. Kemudian dihitung sampel
tersebut sebagai BV kapasitas lapang (BV KL). Lalu, untuk BV kerig udara (BV
KU) didiamkan sampel tanah dalam besek selama 3 hari dalam keadaan terbuka.
Lalu, dilakukan langkah yang sama untuk menghitung BV KU.
Cara Analisa DataTabel
pengamatan data
Tabel 3.1. Data untuk penentuan shrinkage limit ( SL)
Ulangan
a
b
c
d
M1
M2
V1
Vk
V2
SL
SL rata-rata
1
2
3
Keterangan :
a = massa cawan (gr)
b = massa cawan + tanah basah (gr)
c = massa cawan + tanah kering (gr)
M1 = massa tanah basah (gr)
M2 = massa tanah kering (gr)
V1 = volume tanah basah (ml)
Vk = volume lilin yang digunakan
V2 = volume tanah kering (ml)
Tabel 3.2. Data untuk penentuan koefisien pembengkakan
Keterangan
a
b
c
d
t
Vtanah
BV
BV rata-rata
COLE
Kapasitas lapang
U1
U2
Kering udara
U1
U2
Cara Analisa Data
Perhitungan
shrinkage limit (SL)
Keterangan :
M1 (massa tanah basah) = b – a (gr)
M2 (massa tanah kering) = c – a (gr)
Perhitungan
koefisien pengembangan
atau
Keterangan :
berat volume tanah pada kapasitas lapang
berat volume tanah pada kapasitas udara
BAB IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1.
Hasil dan Analisa Data
Berdasarkan pengamatan
pada praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut;
4.1.1
Hasil Pengamatan dan Perhitungan
Tabel 4.1. Data untuk penentuan shrinkage limit ( SL)
ulangan
a
b
c
d
M1
M2
V1
Vk
V2
SL
SL rata-rata
1
2,51
41,74
31,39
38,04
39,23
28,88
22,0507
7,64368
14,407
0,00358
0,004974
2
2,59
46,42
30,59
38,02
43,83
28
22,0507
8,54023
13,5104
0,00565
3
2,61
46,04
30,3
37,34
43,43
27,69
22,0507
8,09195
13,9587
0,00568
Tabel 4.2. Data untuk penentuan koefisien pembengkakan
keterangan
a (gr)
b(gr)
c(gr)
D
t
Vtanah (cm3)
BV
BV rata-rata
COLE
kapaasitas lapang
U1
191,68
508,4
440,35
7,5
4
176,625
38,5279547
37,5385704
1,13869428
U2
191,05
503,16
438,68
7,5
4
176,625
36,5067233
kering udara
U1
192,18
451,17
405,08
7,5
4
176,625
26,0948337
1,1032677
U2
141,78
447,99
361,4
7,5
4
176,625
49,02477
4.1.2. Contoh Perhitungan
a. Perhitungan untuk penentuan shrinkage limit ( SL)
untuk ulangan 2
M1
(massa tanah basah) = b – a = (46,42 – 2,59 ) gr = 43,83 gram
M2 (massa tanah kering) = c – a = (30,59 – 2,59) gram = 28 gram
Tinggi wadah = 3 cm
r = 2,65 cm
V1 =
Vk = massa lilin / densitas lilin = 7,43 gr / 0,871
gr/cm3 = 8,54022989 cm3
V2 = V1
–Vk = 8,54022989 cm3
= 57,6117201 cm3
SL
= 0,00565
SL
rerata =
SL
rerata = 0,004974\
b. Perhitungan untuk penentuan koefisien
pengembangan( SL)
Posted by andi telaumbanua on Jan 15, 2019 in TAnah
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanah Lempung
Lempung terbentuk dari proses pelapukan batuan silika oleh asam karbonat dan sebagian dihasilkan dari aktivitas panas bumi. Lempung membentuk gumpalan keras saat kering dan lengket saat basah terkena air. Sifat ini ditentukan oleh jenis mineral lempung yang mendominasinya. Mineral lempung digolongkan berdasarkan susunan lapisan oksida silikon dan oksida aluminium yang membentuk kristalnya. Golongan 1:1 memiliki lapisan satu oksida silikon dan satu oksida aluminium, sementara golongan 2:1 memiliki dua lapis golongan oksida silikon dan satu lapis oksida aluminium. Mineral lempung golongan 2:1 memiliki sifat elastis yang kuat, menyusut saat kering dan membesar saat basah. Karena perilaku inilah beberapa jenis tanah dapat membentuk kerutan- kerutan atau “pecah-pecah” bila kering (Zufialdi dkk., 2007).
Mineral lempung terdiri dari tiga komponen penting yaitu montmorillonite, illite ,dan kaolinite. Mineral montmorillonite mempunyai luas permukaan lebih besar dan sangat mudah menyerap air dalam jumlah banyak bila dibandingkan dengan mineral yang lainnya, Sehingga tanah yang mempunyai kepekaan terhadap pengaruh air ini sangat mudah mengembang. Struktur kaolinite terdiri dari unit lapisan silica dan aluminium yang diikat oleh ion hydrogen, kaolinite membentuk tanah yang stabil karena strukturnya yang terikat teguh mampu menahan molekul-molekul air sehingga tidak masuk kedalamnya.
Monmorilonit adalah suatu mineral yang diberikan untuk lempung di daerah Monmorilon, Perancis tahun 1847, dengan rumus :(OH)4Si8Al4O20.nH2O, dimana n(H2O) adalah air yang berada diantara lapis- an-lapisan (n-lapis). Istilah smectite juga dipakai dalam kelompok mineral ini. Mineral ini mempunyai butiran yang secara khas sangat halus dan secara kimia sangat aktif. Mineral montmorilonit dengan mudah dapat menyerap air dan menghilangkan air (lempung mengembang kuat). Bentuk struktur mineral ini sama dengan illit, yaitu satu lembaran gibbsite diapit dua lembaran silika. Bentonit adalah lempung dengan kadar montmorilonit tinggi, banyak dijumpai dalam endapan volkanik sebagai material yang terbentuk dari perubahan kimiawi abu volkanik. Bila diberi air, bentonit dapat mengem- bang (swelling) lebih besar daripada lempung kering lainnya. Bentonit jenuh akan menyusut lebih banyak bila dikeringkan. Sifat bentonit tergantung dari sumber dan jumlah material vulkanik induknya. Pelapukan mineral monmorilonit sering menghasilkan lempung kaolinit dan di daerah dimana telah terjadi pelapukan, kedua mineral tersebut biasa diperoleh. Montmorilonit biasa terdapat di daerah kering (Zufialdi dkk., 2007).
Struktur illite terdiri dari lapisan-lapisan unit silica-alumunium-silica yang dipisahkan oleh ion K+ yang mempunyai sifat mengembang. Struktur montmorillonite mirip dengan struktur illite, tetapi ion pemisahnya berupa ion H2O, yang sangat mudah lepas, mineral ini dapat dikatakan sangat tidak stabil pada kondisi tergenang air, air dengan mudah masuk kedalam sela antar lapisan ini sehingga mineral mengembang, pada waktu mengering, air diantara lapisan juga mengering sehingga mineral menyusut. Karena sifat-sifat tersebut montmorillonite sangat sering menimbulkan masalah pada bangunan.
Pertukaran ion merupakan hal yang relatif sederhana dalam struktur lempung. Dengan demikian pertukaran ion tersebut adalah aktif- kimiawi. Ini merupakan persoalan dalam air yang terkena pencemaran dimana banyak sekali ion di dalam larutan. Dalam keadaan tertentu, dapat terjadi pertumbuhan mineral lempung yang berlangsung dengan cepat (pembentukan lumpur dalam reservoar penjernih air, penyumbatan pipa-pipa drainase).
Molekul-molekul air dapat diserap dalam struktur lempung (terutama pada lempung yang mengembang) dan dapat dihilangkan (pada lempung yang memadat). Mineral lempung bisa juga aktif-elektrik. Dengan ukurannya sangat kecil, maka hanya dapat dilihat dengan mikroskop elektron. Umumnya partikel-partikel tanah lempung mempunyai muatan negatif pada permukaannya. Muatan negatif yang besar dijumpai pada partikel- partikel yang mempunyai luasan spesifik yang lebih besar. Beberapa muatan positif juga terjadi pada tepi- tepi lempengan partikel. Muatan positif sangat mudah berganti dengan yang lainnya. Ion-ion positif yang mengelilingi partikel lempung tersebut terikat pada partikel oleh adanya gaya tarik elektrostatik. Bila air ditambahkan kepada lempung tersebut, maka kation-kation tersebut dan sejumlah kecil anion-anion akan berenang di antara partikel ini (disebut lapisan ganda terdifusi).
Tanah lempung sangat keras dalam keadaan kering dan bersifat plastis pada kadar air sadang. Pada keadaan air lebih tinggi lempung bersifat lengket (kohesi) dan sangat lunak. Tanah lempung sebagai tanah yang terdiri dari partikel-partikel tertentu yang menghasilkan sifat plastis apabila dalam kondisi basah. Sifat-sifat yang dimiliki dari tanah lempung yaitu antara lain ukuran butiran-butiran halus > 0,002 mm, permeabilitas rendah, kenaikan air kapiler tinggi, bersifat sangat kohesif dan kadar kembang susut yang tinggi, serta proses konsolidasi lambat.
Hardiyatmo (1999), sifat-sifat yang dimiliki tanah liat atau lempung adalah sebagai berikut :
a. Ukuran butir halus kurang dari 0,002 mm
b. Permeabilitas rendah
c. Bersifat sangat kohesif
d. Kadar kembang susut yang tinggi
e. Proses konsolidasi lambat
Mineral lempung Montmorillonit (famili Smectit; lempung 2:1 atau 10 Å) bersifat kembang kerut tinggi (karena substitusi isomorfik terdapat pada lembar oktahedral) mendominasi tanah Vertisol. Montmorillonit mengembang saat basah, sehingga saat musim hujan tanah menjadi impermea- bel / kedap dan becek, berkonsistensi sangat lekat dan sangat liat; sebaliknya pada saat musim kering, konsistensi tanah sangat teguh (saat lembab) dan luar biasa keras (saat ker- ing) dan sekaligus membentuk retakan-retakan akibat sifat mengerut dan membentuk gilgai (struktur bunga kobis/cauli- flower structure) di permukaan tanah (Fanning dan Fanning,1989).
Dampak negatif kembang kerut Montmorillonit terhadap usaha pertanian, antara lain: retakan tanah yang lebar akan memutus jaringan perakaran rambut bagi tanaman semusim. Kadar fraksi lempung Montmorillonit sangat tinggi, mengakibatkan saat kering tanah sangat keras dan saat awal musim hujan tanah sangat berat untuk diolah serta becek karena drainase terhambat. Tanah Vertisol pada semua kisaran kadar air mulai dari kering sampai basah bersifat sangat sukar diolah, karena nilai jangka olah tanah sangat kecil/sempit. Hal ini akibat dari kadar fraksi lempung dalam Vertisol sangat tinggi, sebagai contoh di wilayah Wonosari kadar lempung dalam tanah dapat mencapai lebih dari 70 % (Hendro dan Heri, 2008).
Makin tinggi nilai COLE dalam tanah, maka aplikasi pemberian lengas berselang akan lebih menyebabkan frekwensi proses kembang kerut makin besar, sehingga pada gilirannya akan cepat menghaluskan tanah. Proses ini sesuai dengan gambaran bahwa proses pedoturbasi atau pembalikan tanah dalam Vertisol terjadi karena adanya kadar fraksi lempung yang tinggi dan bersifat kembang kerut (seperti Montmorillonit, Beidelit dan Vermikulit) serta wilayah mempunyai iklim tahunan yang selalu berselang seling antara musim hujan dan musim kemarau dengan batas peralihan tegas. Kadar tipe Montmorillonit makin besar dalam fraksi lempung sebuah tanah (makin besar nilai COLE sebuah tanah), makin hemat terhadap kebutuhan air presipitasi untuk menghancurkan bongkah tanah.
Tabel 2.1. Klasifikasi harga tingkat bahaya sifat kembang kerut tanah
Tabel 2.2. Klasifikasi nilai COLE
Kelas Klasifikasi
Nilai
Rendah
< 0,03
Sedang
0,0 3- 0,06
Tinggi
.> 0,06 – 0,09
Sangat Tinggi
> 0,09
2.2. Mengembang dan Mengerut
Tanah mempunyai sifat mengembang (bila basah) dan mengerut (bila kering). Akibatnya pada musim hujan karena tanah basah maka tanah mudah mengembang dan pada musim kemarau/kering karena tanah mengerut, maka tanah menjadi pecah-pecah. Besarnya pengembangan dan pengerutan dinyatakan dengan COLE (Coefficient of Linier Extensibility) atau PVC (Potencial Volume Change).
Sifat mengembang dan mengerut disebabkan oleh kandungan air relatif, terutama yang berada diantara satuan–satuan struktural misel. Jika kisi hablur lempung mengembang akan terjadi pengerutan pada waktu terjadi pembahasan oleh air. Setelah mengalami kekeringan, suatu tanah yang cukup lama akan mengalami retak yang cukup dalam, sehingga hujan pertama mudah masuk ke dalam tanah(Buckman and Brady, 1982). Pengerutan biasanya terjadi pada musim kemarau atau musim kering. Pengerutan adalah keadaan dimana tanah mengalami retakan–retakan, yang disebabkan oleh karena ruang atau pori tanah tersebut tidak terisi oleh air yang cukup. Pengerutan pada tanah akan mengakibatkan terjadinya pematahan pada akar tanaman.
Antara pengembangan dan pengerutan, kohesi dan plastis berhubungan erat satu sama lain. Ciri–ciri ini tergantung tidak hanya pada campuran lempung dalam tanah, tetapi juga sifat dan jumlah humus yang terdapat bersama koloid organik . Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pengembang yaitu, sebagian pengembangan terjadi karena penetrasi air ke dalam lapisan kristal liat, yang menyebabkan pengembangan tanah dalam kristal. Akan tetapi, sebagian besar terjadi karena tertartiknya air ke dalam koloid-koloid dan ion-ion yang terabsorpsi pada liat dan karena udara yang terperangkap di dalam pori mikro ketika memasuki pori tanah (Hakim dkk., 1986).
Sifat mengembang dan mengerut disebabkan oleh kandungan air relatif, terutama yang berada di satuan-satuan struktural misel. Jika kisi habrul lempung mengembang akan terjadi pengerutan pada waktu terjadi pembasahan oleh air. Setelah mengalami kekeringan sesuatu tanah yang cukup lama akan mengalami retak yang cukup dalam, sehingga air hujan pertama mudah masuk ke dalam tanah. Antara pengembangan dan pengerutan, kohesi dan plastis berhubungan erat satu sama lain. Ciri-ciri ini tergantung tidak hanya pada campuran lempung dalam tanah, tetapi juga sifat dan jumlah humus yang terdapat bersama koloid organik. Sifat tergantung pada struktur pengembangan tanah.
Hubungan Mengembang dan mengerut dengan kadar air yaitu apabila kadar air dalam tanah tinggi maka pori atau ruang dalam tanah akan banyak terisi oleh air sehinggat erjadi pengembangan pada tanah begitu juga sebaliknya. Kandungan liat juga sangat berpengaruh disebabkan karena permukaan liat yang besar dan dapat menyerap banyak air sehingga tanah yang memiliki kadar liat yang tinggi sangat mudah terjadi pengembangan begitu pula sebaliknya (Foth, 1994).
Tanah yang mempunyai kemampuan mengembang dan mengerut paling tinggi disebabkan oleh kandungan liat, maka permeabilitasnya semakin lambat. Hal ini menyebabkan tanah mempunyai retakan-retakan yang banyak. Air yang mengalir melalui retakan-retakan menyebabkan perkolasi makin tinggi. Hal inilah yang menyebabkan pengukuran kecepatan air perkolasi di musim kering sering menghasilkan kesalahan-kesalahan.
Adapun faktor- faktor yang mempengaruhi sifat mengembang dan mengerut pada tanah adalah kadar air dalam tanah, luas ruang atau pori tanah serta kandungan mineral liat. Ketiga faktor ini sangat berpengaruh disebabkan karena apabila kadar air dalam tanah tinggi maka pori atau ruang dalam tanah akan banyak terisi oleh air, sehingga terjadi pengembangan pada tanah.begitu juga sebaliknya. Kandungan liat juga sangat berpengaruh disebabkan karena permukaan liat yang besar dan dapat menyerap banyak air sehingga tanah yang memiliki kadar liat yang tinggi sangat mudah terjadi pengembangan begitu pula sebaliknya (Foth, 1994). Tanah yang banyak mengandung pasir akan mempunyai tekstur yang kasar , mudah untuk diolah, mudah merembeskan air, dan disebut sebagai tanah ringan. Sebaliknya tanah yang banyak mengandung liat akan sulit untuk meloloskan air, aerasi jelek, lengket, dan sulit dalam pengolahannya sehingga disebut tanah berat. Berat ringannya tanah akan menentukan besarnya derajat kerutan tanah.
Pengembangan juga terjadi karena beberapa sebab, sebagian pengembangan terjadi karena penetrasi air ke dalam lapisan kristal liat, yang menyebabkan pengembangan dalam kristal. Akan tetapi, sebagian besar terjadi karena tertariknya air ke dalam koloid–koloid dan ion–ion yang teradsobsi pada liat dan karena udara yang terperangkap di dalam pori mikro ketika memasuki pori tanah (Hakim dkk., 1986).
Pengerutan biasanya terjadi pada musim kemarau atau musim kering Pengerutan adalah keadaan dimana tanah mengalami retakan–retakan, yang disebabkan oleh karena ruang atau pori tanah tersebut tidak terisi oleh air yang cukup. Pengerutan pada tanah akan mengakibatkan terjadinya pematahan pada akar tanaman.
Sifat mengembang dan mengerut tanah disebabkan oleh kandungan liat montmorillonit yang tinggi. Besarnya pengembangan dan pengerutan tanah dinyatakan dalam nilai COLE (Coefficient of Linear Extendility ) atau PVC ( Potential Volume Change = swell index = indeks pengembangan) (Hardjowigeno, 2003). Montmorilonit mengakibatkan tanah Inceptisol mempunyai sifat mengembang dan mengerut dengan penjenuhan dan pengeringan. Potensi pengembangan dan pengerutan tanah berkaitan erat dengan tipe dan jumlah liat dalam tanah. Tanah yang mengembang selalu memilki kandungan liat yang banyak, di mana mungkin saja mempunyai kemampuan yang tinggi menyimpan air, akan tetapi peredaran udara dalam tanah atau aerase tidak baik, penambahan bahan organik akan mengurangi masalah kekurangan air pada tanah berpasir. Bahan organik membantu mengikat butiran liat dan membentuk ikatan yang lebih besar sehingga memperbesar ruang-ruang udara diantara ikatan butiran .
DAFTAR PUSTAKA
Buckman and Brady. 1982. Ilmu Tanah. Bhratama Karya Aksara: Jakarta.
Fanning, D.S. dan Fanning, M.C.B. (1989). Soil Morphology, Genesis and Classification. John Wiley J Sons,Singapore.
Foth, Hendry D. 1994. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.
Hakim N., Nugroho S., Sauls., Diha M., dan Byle H. 1986. Dasar‑dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung: Lampung.
Hardjowigeno. S., 2003. Ilmu Tanah. Penerbit Akademika Pressindo : Jakarta.
Hardiyatmo, H.C., 1999, Mekanika Tanah I, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Hendro,B. dan Heri S. 2008. Daya Mengembang Dan Mengerut Montmorillonit I:Pengaruh Intensitas Curah-Embun Terhadap Pengolahan Tanah Vertisol Di Kecamatan Tepus Dan Playen, Pegunungan Seribu Wonosari – Riset Laboratorium. Jurnal Agritech 28(1):1-8.
Zufialdi Z., Geni D., dan Edi T. 2007. Karakteristik Tanah Lempung Lapukan Formasi Balikpapan Di Samboja, Kalimantan Timur. Bulletin of Scientific Contribution. 5(3) : 209-216.