Acara 6 Pengukuran Kapasitas & Efisiensi Kerja Lapang: Bab 2 Tinjauan Pustaka
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bajak Singkal
Bagian dari bajak dapat terdiri dari satu bottom atau lebih. Bottom ini dibangun dari bagian- bagian utama, yaitu: 1) singkal (moldboard), 2) pisau (share), dan 3) penahan samping (landside). Ketiga bagian utama tersebut diikat pada bagian yang disebut pernyatu (frog). Unit ini dihubungkan dengan rangka (frame) melalui batang penarik (beam) ). Singkal berfungsi untuk menghancurkan dan membalik tanah. Pisau bajak berfungsi untuk memotong tanah secara horizontal. Landside berfungsi untuk menahan tekanan samping dari keratan tanah pada singkal, dan mempertahankan gerak maju bajak agar tetap lurus. Furrow wheel berfungsi untuk menjaga kestabilan pembajakan. Land wheel berfungsi untuk mengatur kedalaman sehingga kedalamannya konstan. Jointer berfungsi untuk memungkinkan penutupan seresah lebih terpasang di atas pisau bajak dengan kedalaman kerja + 5 cm. sempurna dalam pembajakan. Coulter berfungsi untuk memotong serasah tumbuhan atau sampah yang ada diatas tanah sebelum pisau bajak memotong tanah (Daywin et al., 2008).
Prinsip kerja bajak singkal adalah pada saat bajak bergerak maju, maka pisau (share) memotong tanah dan. mengarahkan potongan/keratan tanah (furrow slice) tersebut ke bagian singkal. Singkal akan menerima potongan tanah, dan karena kelengkungannya maka potongan tanah akan dibalik dan pecah. Kelengkungan singkal ini berbeda untuk kondisi dan jenis tanah yang berbeda agar diperoleh pembalikan dan pemecahan tanah yang baik (Daywin et al., 2008).
2.2. Pola Pengolahan Tanah (Pembajakan)
Tujuan dari pola pengolahan tanah ini adalah (Dahono, 1997) :
1. Lebih efisien, dengan menggunakan pola yang sesuai diharapkan : Waktu yang terbuang pada saat pengolahan tanah (pada saat implemen pengolahan tanah diangkat) sesedikit mungkin. Lahan yang diolah tidak diolah lagi sehingga diharapkan pekerjaan pengolahan tanah bisa lebih efisien
2. Lebih efektif: Hasil pengolahan tanah (khususnya untuk pembajakan) bisa merata. Bagian lahan yang diangkat tanahnya akan ditimbun kembali dari alur berikutnya, sehingga diharapkan pekerjaan pengolahan tanah bisa lebih efektif. Beberapa macam pola pengolahan tanah yang disesuaikan dengan bentuk lahan dan jenis alat yang digunakan.
Beberapa pola pengolahan tanah, antara lain :
Gambar 2.1. Pola pengolahan tanah, (a) Continous tilling. (b) Headland pattern from boundaries (c) Circuitous, rounded corners (d) Headland pattern from back furrow
a. Pola Tengah
Pembajakan dilakukan dari tengah membujur lahan. Pembajakan kedua pada sebelah hasil pembajakan pertama. Traktor diputar ke kanan dan membajak rapat dengan hasil pembajakan pertama. Pembajakan berikutnya dengan cara berputar ke kanan sampai ke tepi lahan. Pola ini cocok untuk lahan yang memanjang dan sempit. Diperlukan lahan untuk berbelok (head land) pada kedua ujung lahan. Ujung lahan yang tidak terbajak tersebut, dibajak pada 2 atau 3 pembajakan terakhir. Sisa lahan yang tidak terbajak (pada ujung lahan), diolah dengan cara manual (dengan cangkul) (Dahono, 1997). Pola ini akan menghasilkan alur balik (back furrow) yaitu alur bajakan yang saling berhadapan satu sama lain, sehingga akan terjadi penumpukan lemparan hasil pembajakan, memanjang di tengah lahan (Dahono, 1997).
b. Pola Tepi
Pengolahan tanah dilakukan dari salah satu titik sudut lahan. Berputar ke kiri sejajar sisi lahan, sampai ke tengah lahan. Lemparan pembajakan ke arah luar lahan. Pada akhir pengolahan, operator akan kesulitan dalam membelokkan traktor. Pola ini cocok untuk lahan yang berbentuk bujur sangkar, dan lahan tidak terlalu luas. Diperlukan lahan untuk berbelok pada kedua diagonal lahan. Lahan yang tidak terbajak tersebut, dibajak pada 2 atau 4 pembajakan terakhir. Sisa lahan yang tidak terbajak, diolah dengan cara manual (dengan cangkul) (Gunawan dkk., 2015).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada saat pembajakan yaitu:
1. Menjaga agar traktor berjalan lurus. Pada saat membajak, tanah hasil bajakan akan terlempar ke arah sisi tepi (biasanya ke kanan), sehingga bajak akan terdorong ke kiri, dan traktor akan terdorong dan akan berbelok ke kanan. Operator harus menahan agar traktor tetap berjalan lurus. Untuk mengontrol agar jalannya traktor lurus, sesaat sebelum melakukan pembajakan, operator melihat satu titik lurus di depan. Pada saat akan mengontrol, operator dapat melihat kembali titik tadi apakah masih berada lurus di depan.
2. Menjaga kedalaman pembajakan. Pada saat membajak, tanah akan terangkat ke atas, sehingga bajak akan terdorong ke bawah, dan bagian depan traktor akan terangkat. Operator harus menahan agar posisi traktor stabil. Untuk implemen yang baik, biasanya dilengkapi dengan peralatan yang dapat menahan bajak, sehingga kedalaman bisa dijaga, dan operator tidak perlu menahan. Biasanya di bagian depan traktor juga dilengkapi dengan pemberat untuk menyeimbangkan beban.
3. Mengangkat implemen, dengan mengangkat implemen, beban traktor akan berkurang. Selain itu juga dapat menjaga agar implemen tidak rusak.
(Ariesman, 2012).
2.3. Kapasitas Kerja Pengolahan Tanah
Kapasitas kerja suatu alat didefinisikan sebagai suatu kemampuan kerja suatu alat atau mesin memberikan hasil (hektar, kilogram, liter) per satuan waktu. Jadi kapasitas kerja pengolahan tanah adalah berapa hektar kemampuan suatu alat dalam mengolah tanah per satuan waktu, sehingga satuannya adalah hektar per jam atau jam per hektar atau hektar per jam per HP traktor (Suastawa dkk, 2000).
Kapasitas kerja suatu alat pengolahan tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu(Ariesman, 2012):
1. Ukuran dan bentuk petakan : Ukuran dan atau bentuk petakan sangat mempengaruhi efisiensi kerja dari pengolahan tanah yang dilakukan dengan tenaga tarik hewan ataupun dengan traktor, namun pada pencangkulan pengaruhnya tidak begitu besar. Ukuran petakan yang sempit akan mempersulit beloknya hewan penarik atau traktor, sehingga efisiensi kerja dan kapasitas kerjanya rendah.
2. Topografi wilayah : meliputi keadaan permukaan tanah dalam wilayah secara keseluruhan, misalnya keadaan permukaan wilayah tersebut datar atau berbukit atau bergelombang. Keadaan ini diukur dengan tingkat kemiringan dari permukaan tanah yang dinyatakan dalam (%). Kemiringan yang baik untuk penggunaan tenaga hewan dan traktor dalam pengolahan tanah adalah sampai 3% (relatif datar). Kemirngan tanah yang lebih dari 3% yang masih bisa dikerjakan traktor adalah 3 sampai 8% dimana pengolahan tanahnya dilakukan dangan mengikuti garis ketinggian (contour farming system).
3. Keadaan traktor : apakah traktor masih baru atau sudah lama. Jadi menyangkut umur ekonomi traktor itu sendiri. Traktor yang sudah lama dipakai berarti umur ekonominya sudah habis atau malah sudah terlewatkan, sehingga sudah banyak bagian traktor yang sudah aus sehingga sering timbul kerusakan. Kerusakan–kerusakan akan menyangkut masalah waktu, tenaga serta biaya, sehingga pekerjaan tidak akan efisien lagi.
4. Keadaan vegetasi : permukaan tanah yang diolah juga dapat mempengaruhi efektivitas kerja dari bajak atau garu yang digunakan. Tumbuhan semak atau alang-alang memungkinkan kemacetan akibat penggumpalan pada alat karena tertarik atau tidak terpotong. Pengolahan tanah pada alang-alang atau bersemak akan lebih efektif bila digunakan bajak piringan atau garu piring, karena bajak atau garu ini memiliki konstruksi yang berupa piringan dan dapat berputar sehingga kecil kemungkinan untuk macet.
5. Keadaan tanah : meliputi sifat-sifat fisik tanah, yaitu keadaan basah (sawah), kering, berlempung, liat atau keras. Keadaan ini menentukan jenis alat dan tenaga penarik yang digunakan. Di samping itu juga mempengaruhi kapasitas kerja dari pengolahan tanah. Tanah yang basah memberikan tahanan tanah terhadap tenaga penarik relatif lebih rendah dibanding dengan tanah kering, akan tetapi pada tanah basah (sawah) memungkinkan terjadi slip yang lebih tinggi dibandingkan pada tanah kering.
6. Tingkat keterampilan operator: Operator yang berpengalaman dan terampil akan memberikan hasil kerja dan efisiensi kerja yang lebih baik dibanding operator yang belum terampil dan belum berpengalaman.
7. Pola pengolahan tanah : erat hubungannya dengan waktu yang hilang karena belokan selama pengolahan tanah. Pola pengolahan harus dipilih dengan tujuan untuk memperkecil sebanyak mungkin pengangkatan alat, karena pada waktu diangkat alat itu tidak bekerja. Pola pengolahan tanah yang banyak dikenal dan dilakukan adalah pola spiral, pola tepi, pola tengah dan pola alfa. Pola spiral yang paling banyak digunakan karena pembajakan dilakukan terus menerus tampa pengangkatan alat.
Kapasitas lapang suatu alat/mesin dibagi menjadi dua yaitu kapasitas lapang teoritis atau kemampuan kerja suatu alat di dalam sebidang tanah jika berjalan maju sepenuhnya, waktunya 100% dan alat tersebut bekerja dalam lebar maksimum (100%) serta kapasitas lapang efektif yaitu rata-rata kerja dari alat di lapangan untuk menyelesaikan suatu bidang tanah dengan luas lahan yang diolah dengan waktu kerja total (Ariesman, 2012).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas lapang yaitu (Darun dan Sumono , 1983):
1. Kinerja Lapang Alat Mesin Pertanian
a. Kapasitas lapang teoritis sebuah alat, merupakan kecepatan penggarapan lahan yang akan diperoleh seandainya mesin tersebut melakukan kerjanya memanfaatkan 100% waktunya, pada kecepatan maju teoritisnya dan selalu memenuhi 100% lebar kerja teoritisnya.
b. Waktu per hektar teoritis, merupakan waktu yang dibutuhkan pada kapasitas lapang teoritis tersebut.
c. Waktu kerja efektif, merupakan waktu sepanjang mana mesin secara aktual melakukan fungsi/kerjanya. Waktu kerja efektif per hektar akan lebih besar disbanding waktu kerja teoritik per hektar jika lebar kerja terpakai lebih kecil dari lebar kerja teoritisnya.
d. Kapasitas lapang efektif, suatu alat merupakan fungsi dari lebar kerja teoritis mesin, presentase lebar teoritis yang secara aktual terpakai, kecepatan jalan dan besarnya kehilangan waktu lapang selama pengerjaan. Dengan alat-alat semacam garu, penyiang lapang, pemotong rumput dan pemanen padu, secara praktis tidak mungkin untuk memanfaatkan lebar teoritisnya tanpa adanya tumpang tindih. Besarnya tumpang tindih yang diperlukan terutama merupakan fungsi dari kecepatan, kondisi tanah dan ketrampilan operator.
e. Efisiensi lapang, merupakan perbandingan antara kapasitas lapang efektif dengan kapasitas lapang teoritis, dinyatakan dalam persen. Efisiensi lapang melibatkan pengaruh waktu hilang di lapang dan ketakmampuan untuk memanfaatkan lebar teoritis mesin.
f. Efisiensi kinerja, merupakan suatu ukuran efektifitas fungsional suatu mesin, misalnya presentase perolehan produk bermanfaat dari penggunaan sebuah mesin pemanen.
2. Waktu Hilang untuk Belok
Belok di ujung suatu lapang menghasilkan suatu kehilangan waktu yang seringkali sangat berarti, terutama pada lapang-lapang pendek. Jumlah waktu belok per satuan luas untuk sebuah alat dengan lebar tertentu akan berbanding terbalik dengan panjang lapang. Untuk suatu lapang persegi tertentu digarap searah panjangnya ataukah memutarinya, jumlah putaran perjalanan yang diperlukan akan sama. Menggarap secara pulang balik memerlukan 2 kali belokan 180o per putaran, sedang kedua cara lainnya mencakup empat belokan 90o per putaran.
Waktu yang diperlukan untuk belok pada pengerjaan bolak-balik, juga dipengaruhi oleh ketakteraturan bentuk lapang, besarnya ruang belok di headland, kekasaran daerah belok dan lebar alat. Waktu per belokan pada head-land halus rata-rata hampir 5% lebih besar pada pemanen atau penyiang 4 larik dibanding 2 larik. Perbedaannya ialah 20 – 25% pada head-land kasar. Alat yang lebih lebar, mendapatkan bahwa waktu per belokan rerata 40 – 50% lebih besar untuk penyiang dan penanam 6 larik dibanding 4 larik. Pengoprasian traktor saat melintasi ujung-ujung suatu lapang biasanya menghasilkan kehilangan waktu yang sering tak terhindarkan jika tanah yang luas dibagi-bagi ke dalam lapang-lapang yang pendek.
3. Waktu Hilang yang Sebanding dengan Luas
Saat pengolahan tanah dengan traktor ada beberapa waktu yang hilang, karena saat istirahat dan penyetelan atau pemeriksaan alat, biasanya cenderung sebanding dengan waktu kerja efektif (atau dengan waktu lapang total) jika kecepatan kerja atau lebar alat ditambah. Waktu per hektar untuk belok pulang-balik pada pengerjaan tanaman larik cenderung tetap konstan (atau turun cuma sedikit) jika kecepatan kerja dinaikkan, karena kecepatan biasanya dikurangi saat belok, kecuali jika kecepatan kerja normalnya memang telah rendah. Waktu hilang yang cenderung sebanding dengan luas menjadi makin penting bila lebar atau kecepatan alat dinaikkan, karena waktu hilang tersebut akan terhitung dengan presentase yang lebih besar dengan berkurangnya total waktu per hektar. Dengan demikian, mengganti penanam 4 larik dengan 6 larik pada kecepatan maju yang sama dapat menaikkan keluaran cuma 30% bukannya 50% (Assa dkk., 2014).
4. Waktu Hilang Berkenaan dengan Kehandalan Mesin
Peluang kerusakan alat, yang akan berakibat hilangnya waktu di lapang, adalah berbanding terbalik dengan kehandalan mesin. Kehandalan keberhasilan dapat didefinisikan sebagai peluang statistik berfungsinya suatu alat secara memuaskan pada kondisi tertentu sepanjang periode waktu tertentu.
Kehandalan pemakaian waktu pada mesin individual menjadi makin penting jika beberapa mesin atau beberapa bagian mesin digunakan secara gabungan. Untuk sebuah alat individual, waktu hilang sebesar 5 atau 10% karena kerusakan, penyetelan, pembetulan, penyumbatan/penggumpalan, atau berhenti yang lain berkaitan dengan mesin, umumnya tidak dianggap serius. Namun jika 4 satuan semacam itu, masing-masing dengan kehandalan pemakaian waktu 98%, digunakan secara berurutan, kehandalan pemakaian waktu keseluruhan gabungan waktu berurutan tersebut akan terkurangi sampai menjadi 66%. Kehandalan pemakaian waktu. Waktu hilang karena belok, istirahat, pengisian wadah benih atau pupuk, dan sebagainya, kira-kira akan tetap sama tak peduli berapa jumlah mesinnya, namun harus dimasukkan dalam penghitungan efisiensi lapang gabungan tersebut (Assa dkk., 2014).
Kapasitas kerja dapat dibedakan menjadi kapasitas efektif dan kapasitas teoritis. Kapasitas efektif merupakan waktu nyata yang diperlukan di lapangan dalam menyelesaikan suatu unit pekerjaan tertentu. Kapasitas teoritis adalah hasil kerja yang akan dicapai alat dan mesin bila seluruh waktu digunakan pada spesifikasi operasinya (Suastawa dkk, 2000).
Kapasitas lapang efektif suatu alat merupakan fungsi dari lebar kerja teoritis mesin, persentase lebar teoritis yang secara aktual terpakai, kecepatan jalan dan besarnya kehilangan waktu lapang selama pengerjaan. Kapasitas lapang teoritis (KLT) dapat dihitung dengan persamaan 2 berikut (Suastawa dkk, 2000).
KLT = 0.36 (v x lP)…………………………..……………………….(2)
Keterangan : KLT = Kapasitas lapang teoritis (ha/jam)
v = Kecepatan rata-rata (m/s)
lP = Lebar pembajakan rata-rata (m)
0.36 = Faktor konversi (1 m2/s = 0.36 ha/jam)
Untuk menghitung kapasitas lapang pengolahan efektif (KLE) diperlukan data waktu kerja keseluruhan dari mulai bekerja hingga selesai (WK) dan luas tanah hasil pengolahan keseluruhan (L). Persamaan 3 yang digunakan untuk menghitung KLE adalah dengan rumus sebagai berikut (Suastawa dkk. 2000).
…………………………………………………………….(3)
Keterangan : KLE = Kapasitas lapang efektif (ha/jam)
L = Luas lahan hasil pengolahan (ha)
WK = Waktu kerja (jam)
Kecepatan maju merupakan salah satu metode untuk meningkatkan kapasitas kerja alat pertanian yaitu dengan menambah kecepatan maju berarti meningkatkan kapasitas kerja alat pengolah tanah tanpa harus menambah berat dan jumlah unit tenaga penggerak yang membebani. Semakin dalam kedalaman olah tanah kecepatan kerjanya semakin rendah. Fenomena ini terjadi karena slip roda sangat tinggi pada waktu alat bekerja dan juga banyaknya gulma yang terpotong serta bongkahan tanah yang terolah besar, sehingga waktu untuk menempuh jarak yang ditentukan menjadi lama.
2.4 Efisiensi Pengolahan Tanah
Efisiensi suatu traktor tergantung dari kapasitas lapang teoritis dan kapasitas lapang efektif. Karena efisiensi merupakan perbandingan antara kapasitas lapang efektif dengan kapasitas lapang teoritis yang dinyatakan dalam bentuk (%). Rumus yang digunakan untuk mengetahui efisiensi pengolahan tanah adalah sesuai persamaan 4 berikut.
……………………………………………………………(4)
dimana :
KLE = kapasitas lapang efektif
KLT = kapasitas lapang teoritis
Ada dua jenis lahan yang dapat diolah menggunakan traktor roda dua yaitu lahan basah atau sawah dan lahan kering atau lahan yang biasa ditanami sayur-sayuran. Pada lahan sawah memerlukan tiga tahapan proses perlakuan dengan menggunakan implemen traktor roda dua hingga lahan siap untuk ditanami. Tahapan itu adalah pembajakan, pengglebekan, dan penggaruan. Sementara pada lahan kering hanya memerlukan dua tahapan yaitu pembajakan dan penggaruan atau pengglebekan tergantung jenis tanah pada lahan kering tersebut dan kebiasaan masyarakat sekitar.
2.5 Slip (Slippage)
Intensitas slip merupakan pengurangan kecepatan maju traktor karena beban operasi pada kondisi lapang. Slip roda yang terjadi pada roda traksi traktor dapat diketahui dari pengurangan kecepatan traktor pada saat operasi dengan beban dibandingkan dengan kecepatan teoritis. Slip roda traktor merupakan salah satu faktor pembatas bagi pengoperasian traktor-traktor pertanian. Slip akan selalu terjadi pada traktor baik pada saat menarik beban maupun saat tidak menarik beban.
Slip terjadi bila roda meneruskan gaya-gaya pada permukaan alas, pengukuran slip agak rumit akibat pengecilan jari-jari ban efektif statis maupun dinamis. Meningkatkan slip roda dapat menambah kemampuan traksi, gaya tarik traktor masih dapat ditambah dengan menaikkan slip hingga 30%, tetapi slip yang optimum pada operasi traktor adalah 10 -17% . Slip roda traksi merupakan selisih antara jarak tempuh traktor saat dikenai beban dengan jarak tempuh traktor tanpa beban pada putaran roda penggerak yang sama.
……………………………………………………………………(5)
dimana :
St = Slip roda traksi (%)
Sb = Jarak tempuh traktor saat diberi pembebanan dalam 5 putaran roda (m)
So = Jarak tempuh traktor tanpa beban dalam 5 putaran roda (m)
Besarnya slip dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut (Sembiring dkk, 1990) :
a. Beban pada roda traksi
b. Jenis, ukuran, dan kondisi roda traksi
c. Jenis dan kondisi tanah/landasan traksi
Slip pada roda dapat diperkecil dengan memperhatikan fakror-faktor sebagai berikut : (1) diameter roda (2) lebar roda (3) bentuk lempengan tapak, (4) sudut lempengan tapak terhadapat garis singgung roda dan sumbu roda (5) jarak antara lempengan. Efisiensi tenaga tarik yang tertinggi dalam mengolahan tanah adalah pada tingkat slip antara 15-25%. Pada tanah liat yang basah, tenaga terbesar untuk menarik mungkin dicapai pada slip sekitar 35% .
Tanah basah atau becek slip dapat terjadi sampai 60% dan hanya menghasilkan tanah sekitar 10-20%. Hal ini berarti banyak tenaga yang hilang untuk mengatasi tahanan gelinding dan slip roda serta hasil yang didapat berupa proses pelumpuran oleh roda. Dalam penggunaan traktor pada tanah liat basah atau lumpur, harus diperhatikan luas kotak permukaan roda dengan tanah untuk menaikkan tarikan. Makin luas permukaan, maka tarikan akan makin baik.
Kelengketan tanah pada sirip dari roda besi adalah salah satu hal yang dapat menyebabkan tingginya slip. Jika kelengketan tanah pada sirip sangat banyak akan menimbulkan roda besi ini ditutupi tanah, sehingga gaya angkat yang akan dihasilakan akan kecil dan menyebabkan tingginya slip roda.
2.6. Konsumsi Bahan Bakar
Konsumsi bahan bakar dinyatakan dalam liter/jam, konsumsi bahan bakar tergantung pada ukuran traktor dan beban, semakin berat beban yang ditarik maka semakin besar tenaga yang dibutuhkan dan semakin besar pula konsumsi bahan bakarnya. Perhitungan konsumsi bahan bakar dari traktor dilakukan dengan mengukur volume bahan bakar yang dipakai dalam pengolahan tanah yaitu dengan memberi tanda atau mengisi penuh tangki bahan bakar, kemudian menambah kembali bahan bakar sampai tanda yang telah dibuat.
WFC = VFC * DF ………………………….………………………….. (10)
EF = 48998 + 2392.1 * DF – 13078 * DF ^2 ………………………….. (11)
VFC = volume bahan bakar terpakai, liter
EF = nilai bakar bahan bakar rata-rata, kJ/kg
1.055 = faktor konversi (1 Btu = 1.055 kJ)
2545 = faktor konversi (1 hp.jam = 2545 Btu)
0.33 = efisiensi panas bahan bakar maksimum motor diesel
SFC = konsumsi bahan bakar spesifik, kg/hp.jam, atau liter/hp.jam
(Hernandi, 2009).
2.7. Biaya Pengoprasian
Biaya tersebut terdiri dari biaya investasi dan biaya operasional. Biaya investasi adalah biaya yang umumnya dikeluarkan pada awal kegiatan usaha dalam jumlah yang cukup besar. Biaya pengoprasian merupakan biaya yang dikeluarkan untuk menjalankan kegiatan meliputi biaya bahan baku, upah tenaga kerja langsung, dan pemeliharaan (Yulia dkk., 2013).
Biaya operasional terdiri dari biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya tetap (fixed cost) adalah banyaknya biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan produksi yang jumlah totalnya tetap pada volume kegiatan tertentu. Komponen biaya tetap meliputi penyusutan, biaya pajak alat/mesin pertanian, biaya bunga modal, dan biaya garasi. Biaya jenis ini selamanya sama atau tidak berubah dalam hubungannya dengan jumlah satuan yang diproduksi. Biaya tidak tetap (variable cost) adalah biaya yang dikeluarkan pada saat alat/mesin beroperasi yang besarnya tergantung dari jumlah jam kerjanya. Komponen biaya tidak tetap meliputi biaya bahan bakar, biaya pelumas, biaya perbaikan dan pemeliharaan, dan biaya operator (Yulia dkk., 2013).
Menurut Santoso et al. (2005), biaya pokok pengolahan tanah dengan traktor adalah besarnya biaya untuk mengolah satu satuan luas lahan hasil olahan, dengan satuan Rp / ha. Adapun rumus biaya tetapan tidak tetap sebagai berikut :
a. Biaya Tetap
1) Penyusutan dihitung dengan menggunakan Persamaan :
……………………………..(7) Dimana :
D = Biaya penyusutan (Rp/tahun)
P = Harga awal pembelian alat/mesin (Rp)
S = Perkiraan harga jual setelah pemakaian (Rp)
n = Umur ekonomis (tahun)
2) Biaya bunga modal dihitung dengan Persamaan :
……………
I = Total bunga modal dan asuransi (Rp/tahun)
i = Suku bunga bank (%/tahun)
P = Harga awal pembelian alat/mesin (Rp)
n = Umur ekonomis (tahun)
3) Biaya pajak alat/mesin peratanian dihitung menggunakan Persamaan
T = 2%(P)
T = Total biaya pajak (Rp/tahun)
P = Harga awal pembelian alat/mesin (Rp)
4) Biaya garasi dihitung menggunakan Persamaan berikut :
G = 1%(P)
G = Biaya garasi (Rp/tahun)
P = Harga awal pembelian alat/mesin (Rp)
b. Biaya tidak tetap
1) Biaya bahan bakar dihitung menggunakan Persamaan berikut :
BBB = vp/HP/jam(DM)(hb)
BBB = Biaya bahan bakar (Rp/jam)
vp = Volume pemakaian bahan bakar (liter)
DM = Daya yang dikeluarkan oleh mesin pertanian (HP)
Hb = Harga bahan bakar (Rp/liter)
2) Biaya pelumas dihitung menggunakan Persamaan berikut :
Bp = Biaya pelumas (Rp/jam)
Ktp = Kapasitas tangki pelumas (liter)
DM = Daya yang dikeluarkan oleh mesin pertanian (HP)
hp = Harga pelumas (Rp/liter)
3) Biaya perbaikan dan pemeliharaan dihitung menggunakan Persamaan
• Mesin per jam
MP = Biaya mesin perjam (Rp/jam)
P = Harga awal pembelian alat/mesin (Rp)
• Peralatan per jam
PP = Biaya peratalan perjam (Rp/jam)
P = Harga awal pembelian alat/mesin (Rp)
S = Perkiraan harga jual setelah pemakaian (Rp)
4) Biaya operator dihitung menggunakan Persamaan berikut :
BO = JO x UP x JH
BO = Biaya operator (Rp/jam)
JO = Jumlah Operator (Orang/hari)
UP = Upah Operator (Rp/orang)
JH = Jam kerja (jam/hari)
DAFTAR PUSTAKA
Ariesman, M. 2012. Mempelajari Pola Pengolahan Tanah Pada Lahan Kering Menggunakan Traktor Tangan Dengan Bajak Rotari. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Assa, G., Rantung R., Molenaar R., dan Ludong D., 2014. Uji Teknis Traktor Kubota Tipe M9540 Pada Pengolahan Lahan Kering Di Kelurahan Wailan, Kota Tomohon. Jurnal Unsrat 5(4): 1-12.
Dahono. 1997. Pengolahan Tanah Dengan Traktor Tangan, Bagian Proyek Pendidikan Kejuruan Teknik IV, Jakarta.
Darun, S., Matondang, Sumono. 1983. Pengantar Alat dan Mesin-Mesin Perkebunan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
Daywin, Frans Jusuf, dkk. 2008. Mesin-Mesin Budidaya Pertanian Lahan Kering. Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi Institut Pertanian Bogor.
Gunawan S., Lukman A., dan Rohanah. 2015. Studi Banding Kinerja Pengolahan Tanah Pola Tepi Dan Pola Alfa Pada Lahan Sawah Menggunakan Traktor Tangan Bajak Rotari Di Kecamatan Pangkalan Susu. Jurnal Rekayasa Pangan dan Pertanian 3( 4); 512-517.
Hernandi . 2009. Kinerja Mesin Pengolahan Tanah Pada Budidaya Tebu Lahan Kering Di Pg Pesantren Baru, Kediri. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Santosa, A. Dan V.Veronica. 2005. Kinerja Traktor Tangan Untuk Pengolahan Tanah. Staf Pengajar Universitas Andalas. Padang.
Suastawa, I. N., W. Hermawan, dan E. N. Sembiring. 2000. Konstruksi dan Pengukuran Kinerja Traktor Pertanian. Teknik Pertanian. Fateta.IPB. Bogor.
Yulia, U. M., Igbal., dan Daniel. 2013. Uji Kinerja dan Analisis Ekonomi Traktor Roda 4 Model AT 6504 dengan Bajak Piring (Disk Plow) pada Lahan Kering . Makalah seminar hasil penelitian Prodi Keteknikan Pertanian Unhas.Makassar.