0

analisa curah hujan wilayah

Posted by andi telaumbanua on Jul 24, 2018 in Praktikum

BAB 2

DASAR TEORI

Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang mempunyai dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Dalam siklus hidrologi hujan merupakan faktor penting dalam menentukan kapasitas air yang ada di suatu Daerah. Hujan yang turun di suatu daerah akan masuk ke dalam DAS, mengalir ke dalam sungai, dan akhirnya ke laut. Hujan yang terjadi akan berbeda-beda di setiap daerah, tergantung pada ketinggian daerah, iklim, musim, dan faktor-faktor lain yang menyebabkan itu turun. Intensitas dan durasi hujan juga menentukan banyaknya jumlah air yang turun pada daerah tersebut (Prawaka dkk., 2016).

Siklus hidrologi atau disebut juga siklus air adalah proses dimana terjadi gerakan dari air laut ke udara atau atmosfer yang kemudian jatuh dalam bentuk presipitasi ke permukaan aliran tanah dan pada akhirnya mengalir kembali ke lautan. Dengan kata lain bahwa siklus hidrologi terjadi gerakan dari air laut ke atmosfer, dari atmosfer menuju ke tanah dalam bentuk hujan, dan dari tanah mengalir hingga kembali ke tempat asalnya (Soemarto, 1995). Berikut ini proses terjadinya siklus hidrologi yang ditunjukkan seperti pada Gambar 2.1.

 

Gambar 2.1. Siklus Hidrologi (Soemarto, 1995).

Siklus Hidrologi merupakan sirkulasi air yang tidak pernah berhenti seperti membentuk siklus lingkaran dimana siklus tersebut dimulai dari titik awal dan akan kembali ke titik awal namun melalui proses. Air di permukaan tanah dan laut akan menguap ke udara, dan uap air tersebut akan terus naik ke atmosfer yang kemudian mengalami kondensasi atau terjadinya pengumpulan titik-titik air yang membentuk menjadi awan.

Selanjutnya terjadi proses prespitasi yaitu proses jatuhnya air sebagai hujan ke permukaan daratan dan laut. Hujan yang jatuh sebagian akan tertahan di tumbuh-tumbuhan (Intersepsi) dan sisanya mengalir ke permukaan tanah. Sebagian air yang jatuh ke permukaan tanah akan meresap ke dalam tanah atau terjadinya proses infiltrasi dan sebagian lainnya akan mengalir diatas permukaan tanah (surface runoff) mengisi ruang cekungan tanah dan lainnya sehingga pada akhirnya akan mengalir ke laut (Soemarto, 1995).

Daerah Aliran Sungai atau sering disebut DAS merupakan suatu wilayah daratan yang menjadi satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai lainnya, yang berfungsi untuk menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (PP No 37 tentang Pengelolaan DAS, Pasal 1).

Data jumlah curah hujan (CH) rata -rata untuk suatu daerah tangkapan air (catchment area) atau daerah aliran sungai (DAS) merupakan informasi yang sangat diperlukan oleh pakar bidang hidrologi. Dalam bidang pertanian data CH sangat berguna, misalnya untuk pengaturan air irigasi, mengetahui neraca air lahan, mengetahui besarnya aliran permukaan (run off).

Untuk dapat mewakili besarnya. CH di suatu wilayah/daerah diperlukan penakar CH dalam jumlah yang cukup. Semakin banyak penakar dipasang di lapangan diharapkan dapat diketahui besarnya rata – rata CH yang menunjukkan besarnya CH yang terjadi di daerah tersebut. Disamping itu juga diketahui variasi CH di suatu titik pengamatan (Prawaka dkk., 2016).

Data curah hujan sangat penting untuk perencanaan teknik khususnya untuk bangunan air misalnya irigasi, bendungan, drainase perkotaan, pelabuhan, dermaga, dan lain-lain. Karena itu data curah hujan di suatu daerah dicatat terus menerus untuk menghitung perencanaan yang akan dilakukan. Pencatatan data curah hujan yang dilakukan pada suatu DAS dilakukan di beberapa titik stasiun pencatat curah hujan untuk mengetahui sebaran hujan yang turun pada suatu DAS apakah merata atau tidak. Diperlukan data curah hujan bertahun-tahun untuk mendapatkan perhitungan perencanaan yang akurat, semakin banyak data curah hujan yang ada maka semakin akurat perhitungan yang akan dilakukan (Prawaka dkk., 2016).

Data hujan yang diperoleh dari alat penakar merupakan hujan yang terjadi hanya pada satu tempat atau titik saja (point rainfall). Mengingat hhujan sangat bervariasi terhadap tempat (space), maka untuk kawasan yang luas, satu penakar hujan belum dapat menggambarkan hujan di wilayah tersebut. Dalam hal ini diperlukan hujan kawasan yang diperoleh dari harga rata-rata curah hujan di beberapa stasiun penakar hujan yang diperoleh dari harga rata-rata curah hujan beberapa stasiun penakar hujan yang ada di dalam/ atau disekitar kawasan tersebut. Sebaran curah hujan di suatu wilayah bisa dihitung dan diprediksi uuntuk wilayah lain yang tidak memiliki data curah hujan pada periode tertentu menggunakan metode thiessen polygon (Akmal, 2010).

Presipitasi (hujan) merupakan salah satu komponen hidrologi yang paling penting. Hujan adalah peristiwa jatuhnya cairan (air) dari atmosfer ke permukaan bumi. Hujan merupakan salah satu komponen dalam suatu proses dan menjadi faktor pengontrol yang mudah diamati dalam siklus hidrologi pada suatu kawasan (DAS). Peran hujan sangat menentukan proses yang akan terjadi dalam suatu kawasan dalam kerangka satu sistem hidrologi dan mempengaruhi proses yang terjadi didalamnya.

Presipitasi adalah peristiwa jatuhnya cairan (dapat berbentuk cair atau beku) dari atmosphere ke permukaan bumi. Presipitasi cair dapat berupa hujan dan embun dan presipitasi beku dapat berupa salju dan hujan es. Dalam uraian selanjutnya yang dimaksud dengan presipitasi adalah hanya yang berupa hujan (Asdak, 1995).

Faktor-faktor yang mampengaruhi curah hujan suatu wilayah antara lain:

  1. Faktor Lintang

Pengaruh lintang pada curah hujan dapat terjadi karena suhu udara yang terkandung di daerah dengan derajat lintang rendah cukup tinggi sehingga memungkinkan penguapan tinggi juga. Air yang menjadi uap air karena penguapan tinggi kemudian dikondensasikan dan menjadi hujan melalui siklus hidrologi.

  1. Tempat Faktor Tinggi

 Semakin tinggi tempat semakin rendah curah hujan tempat akan menerima, begitu pula sebaliknya. Pengaruh tempat tinggi terhadap curah hujan dapat terjadi karena pada umumnya semakin tinggi suatu tempat semakin rendah suhu udara di tempat tersebut.

  1. Jarak Tempat dari Laut

Laut sebagai sumber penguapan air terbesar di bumi juga mempengaruhi curah hujan. Semakin dekat tempat ke laut semakin besar curah hujan tempat itu, begitu pula sebaliknya.

  1. Arah Angin

Angin adalah media yang membawa awan mencapai tempat tertentu. Jika suatu wilayah jarang dilewati angin, maka akan semakin jarang pula daerah tersebut mendapat cipratan air hujan.

  1. Deretan Pegunungan

Pegunungan yang berbaris di suatu daerah sangat mempengaruhi curah hujan di sekitar daerah tersebut. Deretan gunung adalah batas awan untuk mencapai daerah di belakang gunung (daerah bayangan hujan.

  1. Perbedaan Suhu Daratan dan Lautan

Jika suhu terestrial lebih tinggi dari suhu laut, maka hujan akan lebih sering terjadi di laut, sedangkan jika suhu laut lebih tinggi dari suhu di darat, maka hujan akan lebih sering di darat.

(Pandu, 2016).

Daerah tropis khususnya di Indonesia memiliki beberapa jenis hujan, Setidaknya terdapat 3 jenis hujan, antara lain:

  1.  Hujan Konvektif (Convectional Storms)

Hujan yang disebabkan oleh adanya beda panas yang diterima permukaan tanah dengan panas yang diterima oleh lapisan udara diatas permukaan tanah tersebut. Beda panas umumnya terjadi pada musim kering yang akan mengakibatkan hujan dengan intensitas tinggi sebagai hasil kondensasi massa air basah pada ketinggian diatas 15 km.

  1.  Hujan Frontal (Frontal/Cyclonic Storms)

Tipe hujan yang diakibatkan oleh bergulungnya dua massa udara berbeda suhu dan kelembaban. Massa udara lembab yang hangat dipaksa bergerak ke tempat yang lebih tinggi (suhu lebih rendah dengan kerapatan udara dingin lebih besar).

  1.  Hujan Orografik (Orographic Storms)

Jenis hujan yang umum terjadi di daerah pegunungan yaitu ketika massa udara bergerak ke tempat yang lebih tinggi mengikuti bentang lahan pegunungan sampai saatnya terjadi proses kondensasi. Ketika massa udara melewati daerah bergunung pada daerah dimana angin berhembus (windward side) terjadi hujan orografik.Pada lereng dimana gerakan massa udara tidak atau kurang berarti (leeward side), udara yang turun akan mengalami pemanasan dengan sifat kering. Daerah ini disebut daerah bayangan, hujan yang turun disebut hujan di daerah bayangan (jumlah hujan lebih kecil). Hujan orografik dianggap sebagai pemasok air tanah, danau, bendungan karena berlangsung di hulu DAS.

(Asdak, 1995).

Stasiun penakar hujan hanya memberikan kedalaman hujan di titik dimana stasiun tersebut berada, sehingga hujan pada suatu luasan harus diperkirakan dari titik pengukuran tersebut. Apabila pada suatu daerah terdapat lebih dari satu stasiun pengukuran yang ditempatkan secara terpencar, hujan yang tercatat di masing- masing stasiun tidak sama. Dalam analisis hidrologi sering diperlukan untuk menentukan persebaran curah hujan dengan kawasan, yang dapat dilakukan dengan tiga metode yaitu metode rerata aritmatik, metode poligon thiessen, dan metode isohiet (Triatmodjo, 2008).

  1.  Metode Rerata Aljabar

Merupakan metode yang paling sederhana dalam perhitungan hujan kawasan. Metode di asumsikan bahwa semua penakar hujan mempunyai pengaruh yang setara. Pengukuran yang dilakukan di beberapa stasiun dalam waktu yang bersamaan dijumlahkan dan kemudian dibagi dengan jumlah stasiun. Stasiun hujan yang digunakan dalam hitungan biasanya adalah yang berada di dalam DAS, namun jika ada stasiun di luar DAS yang masih berdekatan juga bisa diperhitungkan. Hujan kawasan diperoleh dari persamaan :

Gambar 2.  Metode rata  – rata aljabar

Di mana P1, P2, P3, P4, …., Pn adalah curah hujan yang tercatat di pos penakar hujan 1, 2, 3, 4,  …., n dan n adalah banyaknya pos penakar hujan.

  1.  Metode Poligon Thiessen

Metode ini dikenal juga sebagai metode rata-rata timbang (weighted mean). Cara ini memberikan proporsi luasan daerah pengaruh pos penakar hujan untuk mengakomodasi ketidakseragaman jarak. Daerah penakar dibentuk dengan menggambarkan garis-garis sumbu tegak lurus terhadap garis penghubung antara dua pos penakar terdekat. Diasumsikan bahwa variasi hujan antara pos yang satu dengan lainnya adalah linier dan bahwa sembarang pos dianggap dapat mewakili kawasan terdekat. Hasil metode poligon Thiessen lebih akurat dibandingkan dengan metode rata-rata aljabar. Cara ini cocok untuk jumlah penakar hujan terbatas dibandingkan luasnya.

Pembentukan poligon Thiessen adalah sebagai berikut:

  1. Stasiun (P) pencatat hujan digambarkan pada peta DAS yang ditinjau, termasuk Stasiun (P)  hujan yang berada di luar DAS yang berdekatan.
  1. Stasiun-stasiun (P) tersebut dihubungkan dengan garis lurus (garis “putus- titik”) sehingga membentuk segitiga-segitiga, yang sebaiknya mempunyai sisi dengan panjang yang diperkirakan sama.
  2. Tarik garis tegak lurus ditengah-tengah garis “putus-titik” pada  tiap garis penghubung sedemikian rupa, sehingga membentuk poligon Thiessen. Semua titik dalam satu poligon akan mempunyai jarak terdekat dengan pos penakar yang ada di dalamnya dibandingkan dengan jarak terhadap pos lainnya. Selanjutnya curah hujan pada pos tersebut dianggap representasi hujan pada kawasan dalam poligon yang bersangkutan.

Gambar 3. Pembagian poligon Thiessen (Suripin, 2004)

  1. Luas areal pada tiap-tiap poligon dapat diukur dengan planimeter atau dengan  cara lainnya  dan  luas  total  DAS  (A)  dapat  diketahui  dengan menjumlahkan semua luasan poligon tersebut.
  2. hujan   rata-rata   DAS   dapat   dihitung   dengan   persamaan   berikut;

Di mana P1, P2, …., Pn adalah curah hujan yang tercatat di pos penakar

hujan 1, 2, …., n. sedangkan A1, A2, …., An adalah luas areal poligon 1, 2,

…., n. serta n adalah banyaknya pos penakar hujan. Dikarenakan data yang ada berupa data debit harian sehingga tidak menggunakan Poligon Thiessen

( Triatmodjo ,  2008).

  1.  Metode Isohiet

Isohiet adalah garis yang menghubungkan tempat-tempat yang mempunyai kedalaman hujan yang sama. Metode ini menggunakan isohiet sebagai garis- garis yang membagi daerah aliran sungai menjadi daerah -daerah yang diwakili oleh stasiun-stasiun yang bersangkutan, yang luasnya dipakai sebagai faktor koreksi dalam perhitungan hujan rata-rata (Triatmodjo, 2008). Pembuatan garis Isohiet dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:

  1. Lokasi stasiun hujan dan kedalaman hujan digambarkan pada daerah yang diobservasi
  2. Dari  nilai  kedalaman  hujan  pada  stasiun  yang  berdampingan  dibuat interpolasi dengan pertambahan nilai yang ditetapkan
  3. Dibuat kurva yang menghubungkan titik-titik interpolasi yang mempunyai kedalaman yang sama. Ketelitian tergantung pada pembuatan garis isohiet dan intervalnya.
  4. Diukur  luas  daerah  antara  dua  isohiet  yang  berurutan  dan  kemudian dikalikan dengan nilai rerata dari nilai kedua garis Isohiet.
  5. Jumlah dari hitungan pada bag. “d” untuk seluruh garis Isohiet dibagi dengan luas daerah yang ditinjau menghasilkan kedalaman hujan rerata daerah tersebut.

Gambar 4. Metode Isohiet

hujan rata-rata DAS dapat dihitung dengan persamaan berikut :

Di mana I1, I2 , …., In adalah garis Isohiet ke 1; 2; 3;…., n; n+1.  Sedangkan  A1, A2, …., An adalah luas areal yang dibatasi oleh garis Isohiet ke 1 dan 2; 2 dan

3 ;…., n dan n+1. serta n adalah banyaknya pos penakar hujan. Selanjutnya menganalisa  frekuensi data (Triadmodjo, 2008).

Menurut Suripin (2004) Pemilihan metode pendekatan hujan rerata untuk Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat ditentukan dengan mempertimbangkan tiga faktor, yaitu sebagai berikut ini:

  1. a. Berdasarkan Jaring – jaring pos penakar hujan daalam DAS

1)  Jika  jumlah  penakar  hujan  cukup,  maka  dapat  digunakan  Metode Isohyet, Poligon Thiessen, atau Rata-rata Aljabar;

2)  Jika jumlah penakar hujan terbatas, maka dapat digunakan Metode

Poligon Thiessen, atau Rata-rata Aljabar;

3)  Namun jika hanya  terdapat satu pos penakar hujan, maka digunakan metode hujan titik.

  1. Berdasarkan Luas DAS
  2. Jika luas DAS [  > 5000 km2 ], maka dipilih Metode Isohyet;
  3. Jika luas  DAS  [  500  – 5000  km2   ],  maka dipilih  Metode Poligon Thiessen;
  4. Jika luas DAS [ < 500 km2 ], maka dipilih Metode Rata-rata Aljabar.
  1. Berdasarkan TopografiDAS
  2. Kawasan topografi yang relatif mendatar/rata, memiliki sifat hujan yang relatif homogen dan tidak terlalu kasar digunakan Metode Rata-rata Aljabar;
  3. Daerah Pegunungan digunakan Metode Poligon Thiessen;
  4. Daerah Perbukitan dan Tidak Beraturan digunakan Metode Isohyet.

 
0

Daftar Pustaka Acara 4 Agroklimat

Posted by andi telaumbanua on Jul 24, 2018 in Praktikum

Daftar Pustaka

Akmal, D. 2010. Perhitungan Curah Hujan wilayah. Dalam eprints  .undip.ac.id/34625/5/2072 _chapter _II.pdf. Diakses pada tanggal Sabtu, 28 April 2018.

Asdak, C., 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.

Balany, F. 2011. Different Ways of Calculating Catchment Reinfall: Case in  Indonesia. Jurnal Teknik Sipil 20(1): 1175 – 1181.

Pandu, K. 2016. Faktor yang Mempengaruhi Curah Hujan. Dalam  http://www.ebiologi.net. Diakses pada tanggal Sabtu, 28 April 2018.

Prawaka, F., Ahmad Z., dan Subuh T. 2016. Analisis Data Curah Hujan yang Hilang Dengan Menggunakan Metode Normal Ratio, Inversed Square Distance, dan Rata-Rata Aljabar (Studi Kasus Curah Hujan Beberapa Stasiun Hujan Daerah Bandar Lampung). Jurnal rekayasa sipil dan desain 4(3): 397 – 398.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Soemarto, C. D. 1995. Hidrologi Teknik. Penerbit Erlangga: Jakarta.

Suripin. 2004. Pelestarian Sumber Daya Tanah Dan Air. ANDI: Yogyakarta.

Triatmodjo, Bambang. 2008. Hidrologi Terapan.  Beta Offset: Yogyakarta.

.

 
0

Daftar Pustaka Acara 5 Agroklimat

Posted by andi telaumbanua on Jul 24, 2018 in Praktikum

Daftar Pustaka

Ardhitama, A., Sholihah, dan Rias. 2013. Model simulasi prakiraan CH bulanan  pada wilayah riau dengan menggunakan input data SOISSTNINO 3.4, dan IOD. Jurnal Sains dan Teknologi Modifikasi Cuaca 14(2): 97-104.

Djazim, S. 2010. Kajian sea surface temperature (sst), southern oscillation index     (soi) dan dipole mode pada kegiatan penerapan teknologi modifikasi   cuaca di propinsi riau dan sumatera barat. Jurnal Sains dan Teknologi Modifikasi Cuaca 11(1): 3-5.

Erianto, I. P. Dan Erekso H. Pengaruh Anomali sea Surface Temperature dan Curah Hujan terhadap Potensi Kebakaran Hutan dan lahan di Provinsi  Riau. Jurnal Silvikultur 3(2):121-124.

Estiningtyas, W., Rahmadhani F., dan Aldrian E. 2007. Analisis korelasi curah hujan dan suhu permukaan laut wilayah indonesia, serta implikasinya   untuk prakiraan curah hujan (studi kasus kabupaten cilacap). Jurnal  Agromet Indonesia 21(2) : 46-50.

Fakbri , B. and wim S. 1996. Global Climate Change and Agriculture Production. Wiley FAO. Italia. Pp;232-233.

Glantz, M. 2001. Current of change Impact of el nino and la nina on climate and   society. Cambridge University Press: London. P:16.

Rahman, A. 2012. Pola Spasial Hubungan Curah Hujan dengan ENSO dan IOD di Indonesia. Dalam https://www.researchgate.net/publication/303458242  . Diakses pada tanggal Rabu, 02 mei 2018.

Yayan,H. Dan Laksmi R. 2014. Mitigasi dan adaptasi perubahan iklimmenuju  tata kelola hutan  dan lahan lestari.Kementrian Kehutanan:  Jakarta.Halaman: 123-129.

 
0

Bab 3 Acara 6 Agroklimat

Posted by andi telaumbanua on Jul 24, 2018 in Praktikum

BAB 3

METODOLOGI

3.1. Alat dan Bahan

  1. Alat

Alat yang digunakan pada praktikum ini antara lain: Pulpen, kertas, penggaris, sebagai perlengkapan untuk mencatat analisis data dan penjelasan yang disampaikan oleh assisten serta laptop untuk mengetik, menganalisa dan memplot grafik dari data curah hujan dan indeks iklim SST yang diberi assisten.

  1. Bahan

Bahan yang digunakan pada praktikum ini antara lain : data curah hujan dari pos hujan Maguwoharjo dan indeks iklim SST-Nino 3 dari tahun 2003 hingga 2014, buku panduan praktikum, dan ms.excel.

3.2. Cara Kerja

       Cara kerja yang dilakukan pada praktikum ini yaitu:

  1. Input data CH dan IG kedalam Excel
  2. Membuat grafik CH dan IG Vs waktu

Cara menggabungkan dua grafik

  • Blok semua data yang akan dimasukkan
  • Pilih Insert → charts → 2D columns
  • Setelah keluar grafik klik kanan pada data kedua pilih format data series → secondary index
  • Klik kanan pada data kedua, pilih insert → charts → 2D line

Gambar 3.1 Grafik CH dan IG vs waktu

  1. Mencari nilai korelasi
  • Dibuat tabel tahun, , dan

Tabel 3.1 Nilai Korelasi   dan  tahunan

Tahun IG/n CH rerata
2003 …. ….
2004 ….. ….
…. ….
Koefisien Korelasi ….
  • Diplot grafik dengan → sumbu y dan  → sumbu X

Gambar 3.2 Grafik  vs  tahunan

  • Kemudian ditampilkan persamaannya (trendline)

Gambar 3.2 Grafik  vs  tahunan dengan persamaannya

3.3.  Cara Analisa Data

Analisa data yang dilakukan adalah

  1. Memplot grafik CH dan IG vs waktu, lalu menganalisis hubungan antara CH dengan IG
  2. Mencari Nilai rata-rata CH dan IG setiap tahun dan membuatkannya kedalam tabel seperti pada tabel 3.1
  3. Mencari nilai Korelasi  dan  tahunan  dengan menggunakan Excel.
  4. Mencocokkan nilai korelasi yang diperoleh dengan kriteria berikut;
  • Nilai koefisien korelasi sama dengan -1 menunjukkan berbanding terbalik,

hubungan sangat kuat

  • Nilai koefisien korelasi sama dengan 1 menunjukkan berbanding lurus, hubungan sangat kuat
  • Nilai koefisien korelasi yang menunjukkan angka 0,5 – 1, menujukkan kuatnya hubungan linier dan hubungannya kuat
  • Nilai koefisien < 0,5 hubungan dari variabel data tidak cukup kuat atau tidak ada hubungan
  • p (x,y) = + 1, hubungan antara x dan y sempurna dan positif (mendekati +1), berarti hubungan keduanya sangat kuat dan bersamaan fase atau berbanding lurus.
  • P (x,y) = – 1, hubungan antara x dan y sempurna dan negatif (mendekati -1),  berarti hubungan sangat kuat dan berlawanan fase atau berbanding terbalik.
  • Apabila nilai P (x,y) = + 0,5 atau p (x,y) = – 0,5 ,berarti hubungan antara x dan y dianggap cukup kuat.
  • Apabila nilai P (x,y) <  + 0,5 atau nilai P(x,y) > – 0,5 berarti hubungan antara x dan y dianggap lemah.

Dengan → sumbu y dan  → sumbu X

  1. Memplot grafik dengan → sumbu y dan  → sumbu X di excel
  2. Mencari Nilai R2 dan persamaan garisnya (addtrenline)
  3. Kemudian menyimpulkan apakah terjadi El Nino, berdasarkan hasil  yang diperoleh.

 
0

analisa korelasi indeks iklim global dan curah hujan

Posted by andi telaumbanua on Jul 24, 2018 in Praktikum

BAB 2
DASAR TEORI

Curah hujan merupakan salah satu unsur iklim yang sangat berpengaruh terhadap sektor pertanian. Pola distribusi hujan serta besarnya curah hujan sangat menentukan tipikal aktifitas pertanian. Keteraturan pola dan distribusi curah hujan di suatu wilayah merupakan jaminan berlangsungnya aktifitas pertanian. Namun kondisi ini akan mengalami kekacauan manakala terjadi fenomena iklim ekstrim seperti El Nino, La Nina maupun Dipole Mode (Estiningtyas dkk., 2007).

 El Nino dan La Nina merupakan salah satu fenomena global yang kemunculannya dapat diprakirakan berdasarkan indikasi-indikasi dari beberapa parameter global seperti suhu permukaan laut (SPL). Jumlah penerimaan curah hujan yang turun pada jangka waktu tertentu di suatu wilayah diduga berhubungan dengan perubahan SPL.

Fenomena El Nino Southern Oscillation (ENSO) merupakan salah satu contoh nyata bahwa perubahan SPL berpengaruh terhadap curah hujan. Pada saat terjadi El Nino yang merupakan fase hangat dari ENSO, terjadi kenaikan SPL dari normalnya di bagian tengah dan timur Samudera Pasifik tropik sehingga menyebabkan meningkatnya penerimaan curah hujan di wilayah Peru, Chili dan Ekuador. Sebaliknya di wilayah Indonesia, Papua Nugini dan sebagian Filipina mengalami penurunan penerimaan curah hujan dengan SPL yang mengalami penurunan dari kondisi normalnya (Estiningtyas dkk., 2007).

Perubahan SPL diketahui memiliki pengaruh yang besar terhadap variabilitas curah hujan dan diduga hal ini terkait dengan perubahan pola anomali SPL tersebut baik secara spasial maupun temporal. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ada keterkaitan yang cukup jelas antara fenomena SPL dengan kejadian hujan di suatu wilayah.Variabilitas SPL Nino 3.4 mempengaruhi 50% variasi curah hujan seluruh Indonesia sedangkan variabilitas SPL di Laut India 10-15% (Glantz, 2001).

Keeratan hubungan antara curah hujan dengan indikator iklim global dilihat berdasarkan nilai koefisien keragaman (R`2 ) dan nilai peluangnya. Nilai R2 dikelompokkan atas empat yaitu : 0-25%, 25-50%, 50-75%, dan 75- 100%, dan koefisien keragaman dinyatakan signifikan apabila nilai p < 0,05. Plot antara anomali curah hujan dengan indikator iklim global yang terpilih bertujuan untuk mengetahui slope persamaan secara statistik besar.

Apabila nilai slope lebih besar dari 0, artinya anomali hujan bulanan di wilayah tersebut berkorelasi nyata dengan anomali suhu muka laut. Berdasarkan nilai slope dan plot tersebut diketahui besarnya perubahan curah hujan dengan peningkatan / penurunan indikator iklim global yang terpilih. Apabila hanya SST yang berpengaruh terhadap curah hujan maka pengelompokkan skenario iklim berdasarkan nilai anomali SST sebagai berikut : a) Normal : nilai anomali SST -1 sampai +1o C, b) ElNiño : nilai anomali SST > +1o C, c) La-Niña : nilai anomali SST < -1o C Dampak kejadian iklim ekstrim dianalisis secara deskriptif dengan melihat luas pertanaman padi pada lahan sawah di Indonesia pada tahun-tahun kejadian iklim ekstrim (Yayan dan Laksmi, 2014).

El Nino-Southern Oscillation  (ENSO) merupakan fenomena yang mempengaruhi aktivitas  hidroklimat global di antaranya adalah curah hujan, temperatur dan evaporasi. ENSO merupakan fenomena yang terdiri atas dua fase yaitu fase panas (El Nino) serta fase dingin (La Nina); adapun Southern Oscillation (SO) merupakan jungkat-jungkit perbedaan tekanan atmosfer antara Australia Indonesia dengan Samudera Pasifik bagian Timur. Curah hujan di Indonesia juga dipengaruhi oleh aktivitas ENSO karena terletak pada Inter-Tropical Convergence Zone (ITCZ). Pengaruh ENSO berbeda-beda antarwilayah  bergantung pada lokasi dan topografi (Yayan dan Laksmi, 2014).

Wilayah beriklim monsun di Indonesia merupakan wilayah yang terkena dampak ENSO terbesar karena terkait dengan sirkulasi angin di belahan bumi Utara (Asia) dan angin dari belahan bumi Selatan (Australia).   El nino merupakan fenomena global dari sistem interaksi laut dan atmosfer yang ditandai dengan memanasnya suhu permukaan laut di Pasifik Ekuator (Equatorial Pasific) atau anomali suhu permukaan laut di wilayah perairan tersebut positif atau lebih tinggi dari rata–rata suhu permukaan laut yang seharusnya.

Sedangkan la nina  merupakan kebalikan dari el nino yaitu ditandai dengan mendinginnya suhu permukaan laut di Pasifik Ekuator atau anomali suhu permukaan laut di wilayah perairan tersebut negatif  atau lebih rendah dari rata-rata suhu permukaan laut yang seharusnya. Berdasarkan intensitasnya, el nino dapat dikategorikan sebagai berikut;

  1. a)El nino lemah (Weak El Nino) yaitu jika anomali suhu permukaan laut di Pasifik Ekuator bernilai positif antara (+0,5ºC) sampai dengan (+1,0ºC) dan berlangsung selama 3 bulan berturut-turut atau lebih.
  2. b)El nino sedang (Moderate El Nino) yaitu jika anomali suhu permukaan laut di Pasifik Ekuator bernilai positif  antara (+1,1ºC) sampai dengan (+1,5ºC) dan berlangsung selama 3 bulan berturut-turut atau lebih.
  3. c)El nino kuat (Strong El Nino) yaitu jika anomali suhu permukaan laut di Pasifik Ekuator bernilai positif antara >1,5ºC dan berlangsung selama 3 bulan berturut-turut atau lebih

(Djazim, 2010).

Fenomena el nino umumnya berdampak terhadap curah hujan di sebagian wilayah Indonesia akan berkurang. Berkurangnya curah hujan tersebut sangat tergantung dari intensitas el nino yang sedang berlangsung. Mengingat luasnya wilayah Indonesia dan posisi geografis Indonesia yang merupakan benua maritim, maka tidak seluruh wilayah Indonesia dipengaruhi oleh el nino.

Sebaliknya, fenomena la nina umumnya akan berdampak curah hujan di Indonesia yang pengaruhnya juga tergantung dari intensitas la nina yang sedang berlangsung. Gambar 2.1. pada halaman 4 menunjukkan titik pengukuran untuk memperoleh nilai Oceanic Nino Index (ONI) yang terletak di wilayah Samudera Pasifik pada 1200BB – 1700 BB dan 50 LU – 5LS.

Gambar 2.1 Titik Pengukuran ONI

Indikator untuk menentukan terjadinya  El Nino maupun La Nina adalah SST (Sea SurfaceTemperature), SOI ((Southern Oscillation Index) dan  MEI (Multivariate ENSO Index). Indikator MEI merupakan indikator gabungan antara SOI dan SST sehingga menghasilkan klasifikasi waktu ENSO yang relevan untuk berbagai tempat di dunia. Suatu tahun dinyatakan terjadi El Nino  (La Nina) apabila nilai MEI > 0,5 ( < 0,5) untuk 5 bulan berturut-turut atau lebih antara April tahun (0) sampai Maret tahun berikutnya (+) serta puncak MEI >1 (<  -1). Indikator MEI  jarang digunakan untuk analisis terjadinya ENSO di Indonesia, biasanya menggunakan SST Nino 3.4. Tahun ENSO menurut indikator Nino 3.4 Adalah  tahun El Nino (La Nina) adalah tahun dengan nilai tertinggi > 1+standar deviasi ( < 1-standar deviasi) (Yayan dan Laksmi, 2014).

SOI atau Indeks Osilasi Selatan Seorang ilmuan Inggris, Sir Gilbert Walker, pada tahun 1904 tiba di India dengan maksud mencari metode untuk memperkirakan fluktuasi monsun, kemudian dia mencari titik-titik peramalan pada kawasan samudera India dan Pasifik. Melalui berbagai perilaku parameter atmosfer, Walker menemukan suatu gelombang tekanan udara berperioda panjang antara kawasan IndiaAustralia dengan kawasan Amerika Selatan. Adapun titik pengukurun untuk mendapatkan nilai IOS seperti ditunjukkan dalam gambar 2.2.

Untuk memantau keberadaan Osilasi Selatan ini dicari harga index dari selisih tekanan udara permukaan Tahiti, sebagai wakil dari kawasan Amerika Selatan, dengan Darwin sebagai wakil dari kawasan India-Australia. Setelah dinormalisasikan, indeks ini diplot dari waktu ke waktu, maka terlihatlah wujud Osilasi Selatan itu. Bila harga indeks negatif, berarti tekanan di kawasan Amerika Selatan lebih rendah daripada kawasan India-Australia, dan demikian pula sebaliknya.

Dari osilasi ini bisa di baca ada dua sel tekanan udara, yaitu tinggi dan rendah yang saling berkejaran mengelilingi khatulistiwa bumi Sedangkan untuk memantau El-Nino digunakan indeks  El-Nino yang di plot bersamaan dengan SOI dan didapat hubungan antara keduanya, yaitu jika indeks El-Nino positif, maka SOI negatif, dan demikian pula sebaliknya. Jika periode el nino bertepatan dengan turunnya nilai IOS maka periode tersebut disebut dengan ENSO (el nino southern oscillation). Adapun rumus untuk menentukan SOI adalah

SOI = 10

 Keterangan: SOI = Southern Oscillation Index

         Pdiff = rerata tekanan udara di atas permukaan laut dikawasan Tahiti                        pada bulan x dikuraangi rerata tekanan udara di atas suhu                          permukaan laut di kawasan Darwin pada bulan x

         Pdiffav = rerata jangka panjang Pdiff pada bulan x

         SD [Pdiff] = rerata jangka panjang standar deviasi pdiff pada bulan x

(Ardhitama dkk., 2013).

Gambar 2.2 Titik Pengukuran Indeks OsilasiSelatan

Suhu muka laut (Sea surface Temperature ~ SST) di perairan Indonesia sebagai indeks banyaknya uap air pembentuk awan di atmosfer. Jika suhu muka laut dingin uap air di atmosfer menjadi berkurang, sebaliknya jika suhu muka laut panas uap air di atmosfer banyak.

Pola suhu muka laut di Indonesia secara umum mengikuti gerak tahunan matahari. Suhu muka laut di Samudera Hindia mempunyai rentang perubahan yang cukup lebar yaitu minimum berkisar 26.0° C pada bulan Agustus hingga maksimum berkisar 31.5° C pada bulan Febrauari – Maret. Wilayah perairan lainnya umumnya mempunyai rentang perubahan lebih sempit yaitu berkisar 29.0° C hingga 31.5° C dan waktu terjadinya minimum dan maksimumnya tidak sama disetiap perairan (Ardhitama dkk., 2013).

Hal yang  menarik dari  fenomena  IOD  adalah periodisitasnya yang berosilasi sekitar 15 bulanan yang pada waktuwaktu tertentu  juga muncul antara selang waktu  3-4 tahun. Periodisitas ini penting diketahui agar dapat ditentukan sifat-sifat pengulangan akumulasi curab bujan pada periode tertentu. Indian Ocean Dipole (IOD) adalah laut digabungkan dan fenomena atmosfer di Samudra Hindia khatulistiwa yang mempengaruhi iklim Australia dan negara – negara lain yang mengelilingi cekungan Samudra Hindia (Besar variabilitas SST di Samudera Hindia telah dikaitkan dengan Indian Ocean Dipole (IOD), juga disebut sebagai Samudera Hindia zonal Mode.

 Pola ini mewujud melalui gradien zonal SST tropis, yang pada satu tahap ekstrem di musim gugur boreal menunjukkan cooling off Sumatra dan pemanasan lepas pantai Somalia di sebelah barat, dikombinasikan dengan anomali timuran di sepanjang khatulistiwa. Besarnya curah hujan maksimum sekunder dari Oktober sampai Desember di Afrika Timur angat berkorelasi dengan kejadian IOD positif (Rahman, 2012).

Gejala penyimpangan  iklim  yang  dihasilkan  oleh interaksi  laut  dan  atmosfer  di  Samudera Hindia di sekitar  khatulistiwa  yang  disebut dengan IOD  (Indian Ocean Dipole). Interaksi tersebut  menghasilkan  tekanan  tinggi  di Samudera  Hindia  bagian  Timur  (bagian Selatan  Jawa  dan Barat  Sumatra)  yang menimbulkan  aliran  massa  udara  yang berhembus  ke  Barat.  Hembusan  angin  ini akan mendorong massa air di depannya dan mengangkat  massa  air  dari  bawah  ke permukaan.

Akibatnya, SPL di sekitar pantai Selatan  Jawa  dan  pantai  Barat  Sumatera akan penurunan  yang  cukup drastis, sementara  di  dekat  pantai  timur Afrika tejadi kenaikan suhu permukaan laut Indian  Ocean  Dipole  (IOD)  adalah kondisi interaksi laut-atmosfer yang terjadi di samudera  hindia  tropis.  Selama  fenomena  IOD  positif  (Gambar  2.3),  suhu permukaan laut  secara anomali menghangat  di  Samudera  Hindia  barat, sedangkan di bagian timur lebih dingin dari normalnya.

Gambar 2.3 Skema positif (kiri) dan negatif (kanan) IOD

(Ardhitama dkk., 2013).

            Nilai koefisien korelasi berguna untuk mengetahui hubungan linier antara nilai curah hujan dengan nilai suhu, tekanan udara, kelembaban, kecepatan angin. Kelompok data sampel yang di maksud. Semakin tinggi nilai koefisien korelasi

dengan nilai positif menunjukkan kuatnya hubungan linier dari masing-masing kelompok data sampel,

  • Nilai koefisien korelasi sama dengan -1 menunjukkan berbanding terbalik,

hubungan sangat kuat

  • Nilai koefisien korelasi sama dengan 1 menunjukkan berbanding lurus, hubungan sangat kuat
  • Nilai koefisien korelasi yang menunjukkan angka 0,5 – 1, menujukkan kuatnya hubungan linier dan hubungannya kuat
  • Nilai koefisien < 0,5 hubungan darivariabel data tidak cukup kuat atau tidak ada hubungan

Besarnya nilai koefisien korelasi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

Dimana :

p(x,y) = nilai koefisien korelasi antara variabel

x  = nilai curah hujan rata -rata

y = nilai suhu udara, tekanan udara, kelembaban udara dan kecepatan angin.

Nilai p adalah nilai yang menyatakan kuat tidaknya hubungan antara nilai x dan nilai y,  nilai p ini berada diantara – 1 sampai dengan 1 .

  1. p (x,y) = + 1, hubungan antara x dan y sempurna dan positif (mendekati +1), berarti hubungan keduanya sangat kuat dan bersamaan fase atau berbanding lurus.
  2. P (x,y) = – 1, hubungan antara x dan y sempurna dan negatif (mendekati -1),  berarti hubungan sangat kuat dan berlawanan fase atau berbanding terbalik.
  3. Apabila nilai P (x,y) = + 0,5 atau p (x,y) = – 0,5 ,berarti hubungan antara x dan y dianggap cukup kuat.
  4. Apabila nilai P (x,y) <  + 0,5 atau nilai P(x,y) > – 0,5 berarti hubungan antara x dan y dianggap lemah.

(Fakbri dan Wim, 1996).

Copyright © 2024 All rights reserved. Theme by Laptop Geek.