0

acara 3 homogenitas data iklim

Posted by andi telaumbanua on Jul 24, 2018 in Praktikum

BAB 2

DASAR TEORI

2.1.  Homogenitas Data Iklim

          Klimatologi pada dasarnya mempelajari peranan unsur-unsur cuaca atau iklim baik skala global, regional maupun lokal atau setempat dalam kegiatan pertanian. Batasan secara klasik menyatakan bahwa iklim adalah keadaan rata-rata, ekstrim (maksimun dan minimum), frekuensi terjadinya nilai tertentu dari unsur cuaca ataupun frekuensi dari tipe iklim.

Iklim mengkaji dan membahas tentang pola tingkah laku cuaca pada suatu tempat atau wilayah berulang selama waktu periode waktu yang panjang. Sebagai suatu sistem, wilayah iklim cakupannya sangat luas mulai dari skala planiter sampai pada skala lokal atau setempat merupakan kisaran atmosfer secara bersambung. Kajiannya menyangkut berbagai aspek proses pembentukan iklim (Sabaruddin, 2014).

          Mengukur keadaan  cuaca  atau iklim  perlu  adanya homogenitas antar pengukuran dan hasil yang diukur sehingga keakuratan data akan didapat dalam melakukan    pengukuran    dan    error    pun    akan    ditekan    sekecil mungkin. Data iklim/cuaca (temperatur  dan  hujan) sebelum  digunakan  dalam analisis  lebih lanjut,  harus lebih dahulu diuji homogenitasnya  atau konsistensinya karena pencatatan  data   iklim   sering  mengalami  penyimpangan  dan kesalahan (Sudira, 2004).

Menelaah tentang karakteristik iklim antar wilayah, kajiannya ditekankan pada rata-rata dari unsur-unsur iklim yang menjadi ciri dari suatu wilayah. Cuaca pada dasarnya merupakan kondisi atmosfer yang dinamis yang kapan saja bisa mengalami perubahan. Dalam pengamatan data iklim, perlu diperhatikan tentang macam dan kondisi alat, cara pencatatan, waktu pengamatan, dan tata letak atau layout alat-alat yang digunakan, sehingga dapat mewakili kondisi fisik lingkungan (Guslim, 2009).

       Setelah  data  didapatkan,  data  iklim  tidak  dapat  langsung   digunakan dalam  analisis  lebih  lanjut  karena   data  iklim  harus   diuji  terlebih  dahulu homogenitasnya atau konsistentensinya agar didapatkan data yang konsisten dan tidak diragukan lagi kebenarannya. Dalam  pencatatan  data  iklim  sering  terjadi  peyimpangan – penyimpangan yang  akan  menyebabkan  data  yang didapat tidak  konsisten dan memiliki banyak kecacatan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

  1. Kerusakan alat,     maksudnya     kerusakan     alat     pencatat     data

iklim     yang merupakan  kerusakan  atau  perubahan  beberapa  fungsi

alat  karena  perubahan  alami,  seperti  karatan  dan  sebagainya.

Kerusakan – kerusakan ini sering tidak terdeteksi sehingga data yang

dihasilkan mengalami penyimpangan.

  1. Kesalahankarena  perubahan  letak  peralatan,  maksudnya  adalah

kesalahan yang dapat menyebabkan perubahan fungsi ruang terhadap

data pengamatan.

  1. Kesalahankarena  keteledoran  pengamat,  maksudnya  adalah

kesalahan  yang terjadi  karena  pengamat  mengalami  kesulitan  untuk

melakukan  pencatatan data seperti karena  hujan  lebat, gempa  bumi

dan sebagainya.

  1. Datayang  hilang  atau  rusak,  maksudnya  adalah  data  yang  telah

diperolah   mengalami  kerusakan  sehingga   tidak  dapat  digunakan

karena beberapa hal penting dalam data tersebut menghilang.

  1. Perubahan keadaan    lingkungan    yang    mendadak,    maksudnya

adalah perubahan alam secara alami dan tidak dapat di prediksi bahkan

ekstrim sehingga data yang didapat tidak sesuai perkiraan

(Rustiadi dkk., 2009).

2.2. Uji Homogenitas Data iklim

       Tahap awal dalam kajian perubahan iklim adalah penyiapan data yang seringkali menjadi permasalahan utama. Beberapa permasalahan tersebut adalah periode data runtun waktu unsur iklim yang dikaji terlalu pendek, adanya missing data, data tidak homogen dan lain sebagainya. Ketidakhomogenan series data tersebut bisa disebabkan dengan adanya pergantian lokasi stasiun, pergantian alat ataupun pergantian pengamat.

Oleh karena itu dalam penyiapan data kajian perubahan iklim harus dilakukan pengujian homogenitas series data unsur iklim seperti curah hujan, temperatur, kelembaban dan unsur iklim lainnya. Penyebab ketidakhomogenan dari faktor non klimat (pemindahan instrumen, pergantian pengamat, pergantian waktu pengamatan, tren memanas/mendingin secara perlahan misalnya karena dampak perkotaan dan perubahab tata guna lahan (Hidayat, 2013).

            Sebuah catatan data iklim dikatakan homogen apabila tidak adanya variasi yang disebabkan oleh variasi non cuaca dan iklim. Homogenitas data seyogyanya meliputi : jenis perbandingan uji homogenitas runtun data curah hujan sebagai pra-pemrosesan kajian perubahan iklim parameter; periode pengamatan data; basis skala waktu (bulanan, mingguan, tahunan, dsb); jenis uji yang dipakai dalam uji homogenitas serta penjelasannya; jumlah series data yang homogen pada suatu stasiun; jumlah kasus, panjangnya periode dan variasi tahunan kasus tidak homogen; ukuran penyimpangan dan faktor koreksi yang digunakan untuk memperbaiki ketidakhomogenan series tersebut.Penyebab ketidakhomogenan dari faktor non klimat (pemindahan instrumen, pergantian pengamat, pergantian waktu pengamatan, tren memanas/mendingin secara perlahan misalnya karena dampak perkotaan dan perubahab tata guna lahan) (Zaidiyah dan Sutikno, 2013).

            Metode uji homogenitas yang sering digunakan yaitu: metode Run test dan RAPS ( Resclaled adjusted partical sums).

  1. Metode Run Test

Pengujian data temperatur/suhu yang homogen dilakukan dengan uji Run Test Rerata temperatur tahunan dihitung kemudian dibandingkan dengan rerata temperatur secarakeseluruhan selama tahun pengamatan. Apabila rerata tahunan lebih besar dari pada rerata keseluruhan maka diberi tanda (+) dan sebaliknya diberi tanda (-). Jumlah pasangan tanda (+) dan (-) dihitung dan diberi tanda (U). Data temperatur sudah homogen bila nilai (U) perhitungan mengikuti nilai (U) seperti pada tabel berikut.

Tabel 2.1 Nilai U untuk data        homogen
Jumlah data Range U
12 5 – 8
14 5 – 10
16 6 – 11
18 7 – 12
20 8 – 13
22 9 – 14
24 9– 16
26 10 – 17
28 11 – 18
30 12 – 19
32 13 – 20
34 14 – 21
36 15 – 22
38 16 – 23
40 16 – 25
50 22 – 30
(Putu, 2014).

  1. Metode Buishand (RAPS)

Homogenitas data hujan dapat dilakukan dengan metode Buishand atau RAPS (Rescaled Adjusted Partical Sums).

Sk ** = Sk * /Dy : K = 0,1,2,3,…n

Sk * = S (Yi – Y): K = 1,2,3,…n

Dy = S (Yi – Y)2/n

Nilai statistik Q =

Nilai statistik R =

Apabila nilai Q/Ön atau R/Ön hitung lebih kecil dari pada nilai Q/Ön atau R/Ön tabel dibawah ini maka datanya homogen.

Tabel 2.1 Hubungan n dan Q
n Q/√n
90% 95% 99%
10 1,05 1,14 1,29
20 1,1 1,22 1,42
30 1,12 1,24 1,46
40 1,13 1,26 1,5
50 1,14 1,27 1,52
100 1,17 1,29 1,55
   
Tabel 2.3 Hubungan n dan R
n R/√n
90% 95% 99%
10 1,21 1,28 1,38
20 1,34 1,43 1,6
30 1,4 1,5 1,7
40 1,42 1,53 1,74
50 1,44 1,55 1,75
100 1,5 1,62 1,86
     

(Putu, 2014).

 
0

Hasil Analisis data acara 4: analisa curah hujan wilayah

Posted by andi telaumbanua on Jul 24, 2018 in Praktikum

Tabel 4.1 Data Pengamatan

Stasiun Pi
P₁ 50
P₂ 60
P₃ 60
P₄ 75
P₅ 80
P₆ 75
P₇ 90
P₈ 95
P₉ 100
P₁₀ 115
P₁₁ 110
P₁₂ 115
P₁₃ 125

 

Tabel 4.2. Hasil analis data dengan metode aljabar

No Stasiun Pi
1 P₁ 50
2 P₂ 60
3 P₃ 60
4 P₄ 75
5 P₅ 80
6 P₆ 75
7 P₇ 90
8 P₈ 95
9 P₉ 100
10 P₁₀ 115
11 P₁₁ 110
12 P₁₂ 115
13 P₁₃ 125
n 13
ƩPi 1150
P (mm) 88,461538

 

Tabel 4.3. Hasil analis data dengan metode Polygon Thiessen

   
No Stasiun Pi Ai (mm)² Pi Ai
1 P₁ 50 633 31650
2 P₂ 60 1246,5 74790
3 P₃ 60 726,5 43590
4 P₄ 75 2311 173325
5 P₅ 80 1787,5 143000
6 P₆ 75 202 15150
7 P₇ 90 1266 113940
8 P₈ 95 2069,5 196602,5
9 P₉ 100 1604,5 160450
10 P₁₀ 115 1704 195960
11 P₁₁ 110 1633 179630
12 P₁₂ 115 841,5 96772,5
13 P₁₃ 125 824,5 103062,5
ƩAi 16849,5  
ƩPi Ai 1527922,5
P (mm) 90,680584  
     

 

Tabel 4.4. Hasil analis data dengan metode Isohyt

No Stasiun Pi   Ai (mm)²     Ai
1 P₁ 50 – 55 52,5 251 13177,5
2 P₁ dan P₂ 55 –  60 57,5 1052,5 60518,75
3 P₂ dan P₃ 60 – 65 62,5 867,5 54218,75
4  P₃ 65 – 70 67,5 1221 82417,5
70 – 75 72,5 1384,5 100376,25
5 P₄ dan P₆ 75 – 80 77,5 1397,5 108306,25
6 P₅ 80 – 85 82,5 1171 96607,5
7 85 – 90 87,5 1197,5 104781,25
8 P₇ 90 – 95 92,5 1137,5 105218,75
9 P₈ 95 – 100 97,5 1346,5 131283,75
10 P₉ 100 – 105 102,5 1374 140835
11 P₁₁ 105 – 110 107,5 1517,5 163131,25
12 P₁₂ dan  P₁₀ 110 – 115 112,5 1500,5 168806,25
13 P₁₃ 115 – 120 117,5 1318 154865
120 – 125 122,5 476 58310
ƩAi 17212,5  
Ʃ    Ai 1542853,75
P (mm) 89,63565723      
     

 

 
0

Metodologi acara 4: analisa curah hujan wilayah

Posted by andi telaumbanua on Jul 24, 2018 in Praktikum

 

BAB 3

METODOLOGI

3.1. Alat dan Bahan

  1. Alat

Alat yang digunakan pada praktikum ini antara lain: Pulpen, kertas, penggaris, pensil, dan kertas milimeter block sebagai perlengkapan untuk mencatat analisis data dan penjelasan serta mencoba menggambar peta hujan wilayah dengan metode polygon Thiessen dan Isohyt yang disampaikan oleh assisten.

  1. Bahan

Bahan yang digunakan pad apraktikum ini antara lain : Peta data hujan wilayah dan tebel data curah hujan di 13 stasiun.

3.2. Cara Kerja

       Cara kerja yang dilakukan pada praktikum ini yaitu:

  1. Metode Aljabar
  • Semua data curah hujan pada stasiun meteorologi dijumlahkan.
  • Setelah dijumlahkan dibagi dengan jumlah data curah hujan.
  • Diperoleh curah hujan rata – rata wilayah.
  1. Metode Polygon Thiessen
  • Stasiun penakar hujan yang telah tergambar pada peta digambar atau diplot satu garis.
  • Dihubungkan titik penakar hujan terluar.
  • Dihubungkan stasiun terluar dengan stasiun terdekat.
  • Dicari titik tengah dari setiap garis penghubung antar stasiun. Kemudian menarik garis tegak lurus terhadap garis hubung pada titik tengah yang diperoleh.
  • Ditentukan garis polygon yaitu garis yang terbentuk dari langkah sebelumnya yang merupakan perpotongan titik tengah yang tegak lurus antara stasiun satu dengan stasiun yang lain.
  • Diukur luas daerah yang dibatasi oleh kertas polygon dengan garis milimeter block.
  • Dihitung curah hujan wilayah dengan rumus polygon Thiessen.
  1. Metode Isohyt
  • Stasiun penakar hujan yang telah tergambar pada peta dihubungkan masing – masing stasiun dengan garis lurus.
  • Garis antar stasiun diberi titik antar stasiun dengan selisih 5 untuk nilai Pi .
  • Dihubungkan titik yang memiliki ketinggian curah hujan yang sama (nilai Pi yang sama).
  • Diukur luas antara 2 isohyt yang berurutan dengan kertas milimeter block.
  • Dihitung curah hujan wilayah dengan rumus isohyt.

3.3. Cara Analisa Data

Analisis data dilakukan dengan tiga metode yaitu: metode aljabar, polygon Thiessen, dan Isohyt sebagai berikut :

  1. Metode Aljabar
  2. Persiapkan peta curah hujan.
  3. Dihitung jumlah stasiun.
  4. Dijumlahkan curah hujan.
  5. Dihitung curah hujan wilayah dengan rumus ;

                   Keterangan : P = Hujan Wilayah

                                        Pi = Hujan pada stasiun

                                        n = Jumlah stasiun pada suatu DAS

                                        i = 1,2,3,….

  1. Hasilnya dibuat pada tabel;

Tabel 3.1 Hasil analisa metode aljabar

No Stasiun Pi
1
2
n
ƩPi
P (mm)

  1. Metode Polygon Thiessen
  2. Dihitung PiAi setiap stasiun.
  3. Dihitung jumlah PiAseluruhnya.
  4. Dihitung curah hujan wilayah dengan rumus berikut;

                   Keterangan : P = Hujan Wilayah

                                        Pi = Hujan pada stasiun i

                                        Ai = Luas areal Polygon titik i

  1. Hasilnya dibuat pada tabel;

Tabel 3.2 Hasil analisa metode polygon Thiessen

No Stasiun Pi Ai (mm)² Pi Ai
1
2
….
ƩAi  
ƩPi Ai
P (mm)  
     
  1. Metode Isohyt
  2. Dihitung  yaitu hujan rata – rata antara  2 isohyt berurutan.
  3. Dihitung  Ai .
  4. Dihitung jumlah PiAseluruhnya.
  5. Dihitung curah hujan wilayah dengan rumus berikut;

                   Keterangan : P = Hujan Wilayah

                                          = Hujan rata – rata antara  2 isohyt berurutan

                                        Ai = Luas areal antara 2 isohyt

  1. Hasilnya dibuat pada tabel;

Tabel 3.3 Hasil analisa metode Isohyt

No Stasiun Pi   Ai (mm)²     Ai
1
2
….
ƩAi  
Ʃ    Ai
P (mm)      
     

 
0

analisa curah hujan wilayah

Posted by andi telaumbanua on Jul 24, 2018 in Praktikum

BAB 2

DASAR TEORI

Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang mempunyai dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Dalam siklus hidrologi hujan merupakan faktor penting dalam menentukan kapasitas air yang ada di suatu Daerah. Hujan yang turun di suatu daerah akan masuk ke dalam DAS, mengalir ke dalam sungai, dan akhirnya ke laut. Hujan yang terjadi akan berbeda-beda di setiap daerah, tergantung pada ketinggian daerah, iklim, musim, dan faktor-faktor lain yang menyebabkan itu turun. Intensitas dan durasi hujan juga menentukan banyaknya jumlah air yang turun pada daerah tersebut (Prawaka dkk., 2016).

Siklus hidrologi atau disebut juga siklus air adalah proses dimana terjadi gerakan dari air laut ke udara atau atmosfer yang kemudian jatuh dalam bentuk presipitasi ke permukaan aliran tanah dan pada akhirnya mengalir kembali ke lautan. Dengan kata lain bahwa siklus hidrologi terjadi gerakan dari air laut ke atmosfer, dari atmosfer menuju ke tanah dalam bentuk hujan, dan dari tanah mengalir hingga kembali ke tempat asalnya (Soemarto, 1995). Berikut ini proses terjadinya siklus hidrologi yang ditunjukkan seperti pada Gambar 2.1.

 

Gambar 2.1. Siklus Hidrologi (Soemarto, 1995).

Siklus Hidrologi merupakan sirkulasi air yang tidak pernah berhenti seperti membentuk siklus lingkaran dimana siklus tersebut dimulai dari titik awal dan akan kembali ke titik awal namun melalui proses. Air di permukaan tanah dan laut akan menguap ke udara, dan uap air tersebut akan terus naik ke atmosfer yang kemudian mengalami kondensasi atau terjadinya pengumpulan titik-titik air yang membentuk menjadi awan.

Selanjutnya terjadi proses prespitasi yaitu proses jatuhnya air sebagai hujan ke permukaan daratan dan laut. Hujan yang jatuh sebagian akan tertahan di tumbuh-tumbuhan (Intersepsi) dan sisanya mengalir ke permukaan tanah. Sebagian air yang jatuh ke permukaan tanah akan meresap ke dalam tanah atau terjadinya proses infiltrasi dan sebagian lainnya akan mengalir diatas permukaan tanah (surface runoff) mengisi ruang cekungan tanah dan lainnya sehingga pada akhirnya akan mengalir ke laut (Soemarto, 1995).

Daerah Aliran Sungai atau sering disebut DAS merupakan suatu wilayah daratan yang menjadi satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai lainnya, yang berfungsi untuk menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (PP No 37 tentang Pengelolaan DAS, Pasal 1).

Data jumlah curah hujan (CH) rata -rata untuk suatu daerah tangkapan air (catchment area) atau daerah aliran sungai (DAS) merupakan informasi yang sangat diperlukan oleh pakar bidang hidrologi. Dalam bidang pertanian data CH sangat berguna, misalnya untuk pengaturan air irigasi, mengetahui neraca air lahan, mengetahui besarnya aliran permukaan (run off).

Untuk dapat mewakili besarnya. CH di suatu wilayah/daerah diperlukan penakar CH dalam jumlah yang cukup. Semakin banyak penakar dipasang di lapangan diharapkan dapat diketahui besarnya rata – rata CH yang menunjukkan besarnya CH yang terjadi di daerah tersebut. Disamping itu juga diketahui variasi CH di suatu titik pengamatan (Prawaka dkk., 2016).

Data curah hujan sangat penting untuk perencanaan teknik khususnya untuk bangunan air misalnya irigasi, bendungan, drainase perkotaan, pelabuhan, dermaga, dan lain-lain. Karena itu data curah hujan di suatu daerah dicatat terus menerus untuk menghitung perencanaan yang akan dilakukan. Pencatatan data curah hujan yang dilakukan pada suatu DAS dilakukan di beberapa titik stasiun pencatat curah hujan untuk mengetahui sebaran hujan yang turun pada suatu DAS apakah merata atau tidak. Diperlukan data curah hujan bertahun-tahun untuk mendapatkan perhitungan perencanaan yang akurat, semakin banyak data curah hujan yang ada maka semakin akurat perhitungan yang akan dilakukan (Prawaka dkk., 2016).

Data hujan yang diperoleh dari alat penakar merupakan hujan yang terjadi hanya pada satu tempat atau titik saja (point rainfall). Mengingat hhujan sangat bervariasi terhadap tempat (space), maka untuk kawasan yang luas, satu penakar hujan belum dapat menggambarkan hujan di wilayah tersebut. Dalam hal ini diperlukan hujan kawasan yang diperoleh dari harga rata-rata curah hujan di beberapa stasiun penakar hujan yang diperoleh dari harga rata-rata curah hujan beberapa stasiun penakar hujan yang ada di dalam/ atau disekitar kawasan tersebut. Sebaran curah hujan di suatu wilayah bisa dihitung dan diprediksi uuntuk wilayah lain yang tidak memiliki data curah hujan pada periode tertentu menggunakan metode thiessen polygon (Akmal, 2010).

Presipitasi (hujan) merupakan salah satu komponen hidrologi yang paling penting. Hujan adalah peristiwa jatuhnya cairan (air) dari atmosfer ke permukaan bumi. Hujan merupakan salah satu komponen dalam suatu proses dan menjadi faktor pengontrol yang mudah diamati dalam siklus hidrologi pada suatu kawasan (DAS). Peran hujan sangat menentukan proses yang akan terjadi dalam suatu kawasan dalam kerangka satu sistem hidrologi dan mempengaruhi proses yang terjadi didalamnya.

Presipitasi adalah peristiwa jatuhnya cairan (dapat berbentuk cair atau beku) dari atmosphere ke permukaan bumi. Presipitasi cair dapat berupa hujan dan embun dan presipitasi beku dapat berupa salju dan hujan es. Dalam uraian selanjutnya yang dimaksud dengan presipitasi adalah hanya yang berupa hujan (Asdak, 1995).

Faktor-faktor yang mampengaruhi curah hujan suatu wilayah antara lain:

  1. Faktor Lintang

Pengaruh lintang pada curah hujan dapat terjadi karena suhu udara yang terkandung di daerah dengan derajat lintang rendah cukup tinggi sehingga memungkinkan penguapan tinggi juga. Air yang menjadi uap air karena penguapan tinggi kemudian dikondensasikan dan menjadi hujan melalui siklus hidrologi.

  1. Tempat Faktor Tinggi

 Semakin tinggi tempat semakin rendah curah hujan tempat akan menerima, begitu pula sebaliknya. Pengaruh tempat tinggi terhadap curah hujan dapat terjadi karena pada umumnya semakin tinggi suatu tempat semakin rendah suhu udara di tempat tersebut.

  1. Jarak Tempat dari Laut

Laut sebagai sumber penguapan air terbesar di bumi juga mempengaruhi curah hujan. Semakin dekat tempat ke laut semakin besar curah hujan tempat itu, begitu pula sebaliknya.

  1. Arah Angin

Angin adalah media yang membawa awan mencapai tempat tertentu. Jika suatu wilayah jarang dilewati angin, maka akan semakin jarang pula daerah tersebut mendapat cipratan air hujan.

  1. Deretan Pegunungan

Pegunungan yang berbaris di suatu daerah sangat mempengaruhi curah hujan di sekitar daerah tersebut. Deretan gunung adalah batas awan untuk mencapai daerah di belakang gunung (daerah bayangan hujan.

  1. Perbedaan Suhu Daratan dan Lautan

Jika suhu terestrial lebih tinggi dari suhu laut, maka hujan akan lebih sering terjadi di laut, sedangkan jika suhu laut lebih tinggi dari suhu di darat, maka hujan akan lebih sering di darat.

(Pandu, 2016).

Daerah tropis khususnya di Indonesia memiliki beberapa jenis hujan, Setidaknya terdapat 3 jenis hujan, antara lain:

  1.  Hujan Konvektif (Convectional Storms)

Hujan yang disebabkan oleh adanya beda panas yang diterima permukaan tanah dengan panas yang diterima oleh lapisan udara diatas permukaan tanah tersebut. Beda panas umumnya terjadi pada musim kering yang akan mengakibatkan hujan dengan intensitas tinggi sebagai hasil kondensasi massa air basah pada ketinggian diatas 15 km.

  1.  Hujan Frontal (Frontal/Cyclonic Storms)

Tipe hujan yang diakibatkan oleh bergulungnya dua massa udara berbeda suhu dan kelembaban. Massa udara lembab yang hangat dipaksa bergerak ke tempat yang lebih tinggi (suhu lebih rendah dengan kerapatan udara dingin lebih besar).

  1.  Hujan Orografik (Orographic Storms)

Jenis hujan yang umum terjadi di daerah pegunungan yaitu ketika massa udara bergerak ke tempat yang lebih tinggi mengikuti bentang lahan pegunungan sampai saatnya terjadi proses kondensasi. Ketika massa udara melewati daerah bergunung pada daerah dimana angin berhembus (windward side) terjadi hujan orografik.Pada lereng dimana gerakan massa udara tidak atau kurang berarti (leeward side), udara yang turun akan mengalami pemanasan dengan sifat kering. Daerah ini disebut daerah bayangan, hujan yang turun disebut hujan di daerah bayangan (jumlah hujan lebih kecil). Hujan orografik dianggap sebagai pemasok air tanah, danau, bendungan karena berlangsung di hulu DAS.

(Asdak, 1995).

Stasiun penakar hujan hanya memberikan kedalaman hujan di titik dimana stasiun tersebut berada, sehingga hujan pada suatu luasan harus diperkirakan dari titik pengukuran tersebut. Apabila pada suatu daerah terdapat lebih dari satu stasiun pengukuran yang ditempatkan secara terpencar, hujan yang tercatat di masing- masing stasiun tidak sama. Dalam analisis hidrologi sering diperlukan untuk menentukan persebaran curah hujan dengan kawasan, yang dapat dilakukan dengan tiga metode yaitu metode rerata aritmatik, metode poligon thiessen, dan metode isohiet (Triatmodjo, 2008).

  1.  Metode Rerata Aljabar

Merupakan metode yang paling sederhana dalam perhitungan hujan kawasan. Metode di asumsikan bahwa semua penakar hujan mempunyai pengaruh yang setara. Pengukuran yang dilakukan di beberapa stasiun dalam waktu yang bersamaan dijumlahkan dan kemudian dibagi dengan jumlah stasiun. Stasiun hujan yang digunakan dalam hitungan biasanya adalah yang berada di dalam DAS, namun jika ada stasiun di luar DAS yang masih berdekatan juga bisa diperhitungkan. Hujan kawasan diperoleh dari persamaan :

Gambar 2.  Metode rata  – rata aljabar

Di mana P1, P2, P3, P4, …., Pn adalah curah hujan yang tercatat di pos penakar hujan 1, 2, 3, 4,  …., n dan n adalah banyaknya pos penakar hujan.

  1.  Metode Poligon Thiessen

Metode ini dikenal juga sebagai metode rata-rata timbang (weighted mean). Cara ini memberikan proporsi luasan daerah pengaruh pos penakar hujan untuk mengakomodasi ketidakseragaman jarak. Daerah penakar dibentuk dengan menggambarkan garis-garis sumbu tegak lurus terhadap garis penghubung antara dua pos penakar terdekat. Diasumsikan bahwa variasi hujan antara pos yang satu dengan lainnya adalah linier dan bahwa sembarang pos dianggap dapat mewakili kawasan terdekat. Hasil metode poligon Thiessen lebih akurat dibandingkan dengan metode rata-rata aljabar. Cara ini cocok untuk jumlah penakar hujan terbatas dibandingkan luasnya.

Pembentukan poligon Thiessen adalah sebagai berikut:

  1. Stasiun (P) pencatat hujan digambarkan pada peta DAS yang ditinjau, termasuk Stasiun (P)  hujan yang berada di luar DAS yang berdekatan.
  1. Stasiun-stasiun (P) tersebut dihubungkan dengan garis lurus (garis “putus- titik”) sehingga membentuk segitiga-segitiga, yang sebaiknya mempunyai sisi dengan panjang yang diperkirakan sama.
  2. Tarik garis tegak lurus ditengah-tengah garis “putus-titik” pada  tiap garis penghubung sedemikian rupa, sehingga membentuk poligon Thiessen. Semua titik dalam satu poligon akan mempunyai jarak terdekat dengan pos penakar yang ada di dalamnya dibandingkan dengan jarak terhadap pos lainnya. Selanjutnya curah hujan pada pos tersebut dianggap representasi hujan pada kawasan dalam poligon yang bersangkutan.

Gambar 3. Pembagian poligon Thiessen (Suripin, 2004)

  1. Luas areal pada tiap-tiap poligon dapat diukur dengan planimeter atau dengan  cara lainnya  dan  luas  total  DAS  (A)  dapat  diketahui  dengan menjumlahkan semua luasan poligon tersebut.
  2. hujan   rata-rata   DAS   dapat   dihitung   dengan   persamaan   berikut;

Di mana P1, P2, …., Pn adalah curah hujan yang tercatat di pos penakar

hujan 1, 2, …., n. sedangkan A1, A2, …., An adalah luas areal poligon 1, 2,

…., n. serta n adalah banyaknya pos penakar hujan. Dikarenakan data yang ada berupa data debit harian sehingga tidak menggunakan Poligon Thiessen

( Triatmodjo ,  2008).

  1.  Metode Isohiet

Isohiet adalah garis yang menghubungkan tempat-tempat yang mempunyai kedalaman hujan yang sama. Metode ini menggunakan isohiet sebagai garis- garis yang membagi daerah aliran sungai menjadi daerah -daerah yang diwakili oleh stasiun-stasiun yang bersangkutan, yang luasnya dipakai sebagai faktor koreksi dalam perhitungan hujan rata-rata (Triatmodjo, 2008). Pembuatan garis Isohiet dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:

  1. Lokasi stasiun hujan dan kedalaman hujan digambarkan pada daerah yang diobservasi
  2. Dari  nilai  kedalaman  hujan  pada  stasiun  yang  berdampingan  dibuat interpolasi dengan pertambahan nilai yang ditetapkan
  3. Dibuat kurva yang menghubungkan titik-titik interpolasi yang mempunyai kedalaman yang sama. Ketelitian tergantung pada pembuatan garis isohiet dan intervalnya.
  4. Diukur  luas  daerah  antara  dua  isohiet  yang  berurutan  dan  kemudian dikalikan dengan nilai rerata dari nilai kedua garis Isohiet.
  5. Jumlah dari hitungan pada bag. “d” untuk seluruh garis Isohiet dibagi dengan luas daerah yang ditinjau menghasilkan kedalaman hujan rerata daerah tersebut.

Gambar 4. Metode Isohiet

hujan rata-rata DAS dapat dihitung dengan persamaan berikut :

Di mana I1, I2 , …., In adalah garis Isohiet ke 1; 2; 3;…., n; n+1.  Sedangkan  A1, A2, …., An adalah luas areal yang dibatasi oleh garis Isohiet ke 1 dan 2; 2 dan

3 ;…., n dan n+1. serta n adalah banyaknya pos penakar hujan. Selanjutnya menganalisa  frekuensi data (Triadmodjo, 2008).

Menurut Suripin (2004) Pemilihan metode pendekatan hujan rerata untuk Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat ditentukan dengan mempertimbangkan tiga faktor, yaitu sebagai berikut ini:

  1. a. Berdasarkan Jaring – jaring pos penakar hujan daalam DAS

1)  Jika  jumlah  penakar  hujan  cukup,  maka  dapat  digunakan  Metode Isohyet, Poligon Thiessen, atau Rata-rata Aljabar;

2)  Jika jumlah penakar hujan terbatas, maka dapat digunakan Metode

Poligon Thiessen, atau Rata-rata Aljabar;

3)  Namun jika hanya  terdapat satu pos penakar hujan, maka digunakan metode hujan titik.

  1. Berdasarkan Luas DAS
  2. Jika luas DAS [  > 5000 km2 ], maka dipilih Metode Isohyet;
  3. Jika luas  DAS  [  500  – 5000  km2   ],  maka dipilih  Metode Poligon Thiessen;
  4. Jika luas DAS [ < 500 km2 ], maka dipilih Metode Rata-rata Aljabar.
  1. Berdasarkan TopografiDAS
  2. Kawasan topografi yang relatif mendatar/rata, memiliki sifat hujan yang relatif homogen dan tidak terlalu kasar digunakan Metode Rata-rata Aljabar;
  3. Daerah Pegunungan digunakan Metode Poligon Thiessen;
  4. Daerah Perbukitan dan Tidak Beraturan digunakan Metode Isohyet.

 
0

Daftar Pustaka Acara 4 Agroklimat

Posted by andi telaumbanua on Jul 24, 2018 in Praktikum

Daftar Pustaka

Akmal, D. 2010. Perhitungan Curah Hujan wilayah. Dalam eprints  .undip.ac.id/34625/5/2072 _chapter _II.pdf. Diakses pada tanggal Sabtu, 28 April 2018.

Asdak, C., 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.

Balany, F. 2011. Different Ways of Calculating Catchment Reinfall: Case in  Indonesia. Jurnal Teknik Sipil 20(1): 1175 – 1181.

Pandu, K. 2016. Faktor yang Mempengaruhi Curah Hujan. Dalam  http://www.ebiologi.net. Diakses pada tanggal Sabtu, 28 April 2018.

Prawaka, F., Ahmad Z., dan Subuh T. 2016. Analisis Data Curah Hujan yang Hilang Dengan Menggunakan Metode Normal Ratio, Inversed Square Distance, dan Rata-Rata Aljabar (Studi Kasus Curah Hujan Beberapa Stasiun Hujan Daerah Bandar Lampung). Jurnal rekayasa sipil dan desain 4(3): 397 – 398.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Soemarto, C. D. 1995. Hidrologi Teknik. Penerbit Erlangga: Jakarta.

Suripin. 2004. Pelestarian Sumber Daya Tanah Dan Air. ANDI: Yogyakarta.

Triatmodjo, Bambang. 2008. Hidrologi Terapan.  Beta Offset: Yogyakarta.

.

Copyright © 2024 All rights reserved. Theme by Laptop Geek.